15 TAHUN TSUNAMI ACEH (1)

oleh -
oleh

Oleh Asro Kamal Rokan

Ini adalah atikel bapak Asro Kamal Rokan tentang musibah gempa bumi dan tsunami Aceh 26 Desember 2004 dan 26 Desember 2019 genap 15 tahun. Masyarakat daerah Aceh yang menjadi korban bencana alam terdahsyat dalam sejarah tercatat sekitar 200 ribu jiwa, puluhan ribu unit rumah warga hancur dan rusak. Banyak fasilitas umum yang harus diganti karena tidak dapat digunakan lagi.


Kami bersama istri dan seorang anak Muhammad Iqbal selamat dalam musibah tersebut. Dua buah hati kami, Maulida yang saat itu duduk di bangku kelas III SMP 1 Banda Aceh barumur 15 tahun dan Try Maulidin (kami sapa Bule karena rambutnya pirang) duduk di kelas IV SD 10 Banda Aceh hilang tak ditemukan. Alfaatihan.


Berikut dua tulisan Asro Kamal Rokan. .


PADA 26 Desember, 15 tahun lalu, tsunami melanda Nanggroe Aceh Darussalam. Gelombang air laut dengan ketinggian lebih 20 meter, meratakan kota indah, Banda Aceh. Jumlah korban lebih dari 230 ribu orang.

Tsunami yang dipicu gempa bumi megathrust bawah laut, merupakan gempa bumi terbesar ketiga di dunia dalam 40 tahun, setelah gempa bumi Valdivia, Chili, pada 22 Mei 1960 degan skala 9,4 sampai 9,6 magnitudo; gempa bumi Alaska (27/3/1964) skala 9,2 magnitudo, dan gempa Aceh berkekuatan 9,1 magnitudo.

Gempa dan tsunami dahsyat di Aceh terjadi Ahad pagi, 26 Desember 2004. Sehari setelah bencana itu, Senin (27/12), sebagian besar koran-koran terbitan Jakarta, nyaris tidak memberitakan stunami Aceh. Jika pun ada, hanya berita kecil.

Ini antara lain karena informasi dari wartawan maupun kantor berita nasional serta internasional tidak mendapat akses dari Banda Aceh. Tidak saja hubungan telekomunikasi dan listrik terputus, wartawan dan keluarganya pun mengalami musibah– bahkan banyak yang meninggal.

BACA JUGA :  WASPADA KEKERASAAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DI GUMAS

Sebagai Pemimpin Redaksi Republika, berita kecil yang dimuat salah satu koran di Jakarta, mendorong kami untuk mengikuti perkembangan. Selasa (28/12), arus informasi dari dalam maupun luar negeri, mulai banyak masuk. Televisi juga mulai memberitakan, meski terbatas. Ya Allah, ternyata tsunami yang melanda Aceh dan sejumlah negara yang berdekatan, sangat dahsyat. Banda Aceh telah jadi kota mati, gelap, dan mayat-mayat berserakan.

Tanpa menunggu rapat redaksi, kami mengirim sejumlah wartawan. Timbul problem, pesawat komersial ke Banda Aceh tidak tersedia karena bandara tidak berfungsi. Tidak kehilangan akal, wartawan yang ditugaskan menunggu di bandar udara militer di Halim. Alhamdulillah ada yang berhasil ikut pesawat TNI. Direksi Republika juga mengirim tim kemanusiaan. Bantu sebisa yang dilakukan. Semua harus bergerak. Ada yang mendarat di Medan dan meneruskan perjalanan darat ke Banda Aceh.

Sesuai jadwal, hari itu, Selasa (28/12) saya menulis kolom Resonansi Republika, untuk diterbitkan Rabu (29/12). Berbagai informasi yang masuk ke redaksi tentang tsunami Aceh, saya tulis. Pada Jumat (31/12) saya mendapat info, sejumlah khatib shalat Jumat di beberapa masjid di Jawa dan juga di Bali, membacakan Resonansi tersebut dengan maksud menjelaskan situasi Aceh kepada jamaah shalat Jumat.

Hingga kini, 15 tahun berlalu, tidak sedikit keluarga berharap dapat bertemu dengan sanak keluarganya yang hilang .. Doa tidak pernah putus.
Republika, Resonansi, Rabu, 29 Desember 2004 (bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.