Oleh : Andy Irawan S. Pd (Guru SMAN 1 Kumai โ Kalteng)
Dayak News โ Dalam hiruk-pikuk dunia digital, sebuah tagar kembali menguasai ruang wacana: #๐๐ป๐ฑ๐ผ๐ป๐ฒ๐๐ถ๐ฎ๐๐ฒ๐น๐ฎ๐ฝ. Simbol Garuda Hitam dengan latar gelap merepresentasikan protes sosial yang tak bisa diremehkan. Ini bukan sekadar tren sesaat, melainkan gejala struktural yang menandakan ketidakselarasan antara narasi resmi dan pengalaman sehari-hari masyarakat. Namun, di tengah kritik ini, survei menunjukkan tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintah mencapai 80 persen. Sebuah pertentangan yang memicu pertanyaan lebih dalam: apakah kepuasan itu nyata, atau sekadar angka statistik?
Sosiologi digital menunjukkan bahwa kepuasan publik dalam survei sering kali tidak mencerminkan kondisi riil. Zeynep Tufekci (2017) dalam ๐๐ค๐๐ก๐ก๐๐ ๐๐๐ ๐๐๐๐ ๐บ๐๐ menyoroti bagaimana media sosial menjadi arena bagi ekspresi ketidakpuasan yang tidak selalu terakomodasi dalam metode pengukuran konvensional. Lebih jauh, algoritma platform digital berperan dalam membentuk wacana, bukan hanya merefleksikan opini publik. Dengan kata lain, tingkat kepuasan tinggi yang terekam dalam survei bisa lebih mencerminkan efektivitas strategi komunikasi pemerintah daripada kenyataan di lapangan.
Gerakan #๐๐ป๐ฑ๐ผ๐ป๐ฒ๐๐ถ๐ฎ๐๐ฒ๐น๐ฎ๐ฝ kini tidak hanya bergaung di ruang digital, tetapi telah bertransformasi menjadi aksi nyata di jalanan. Demonstrasi di beberapa daerah yang dilakukan oleh mahasiswa menunjukkan bahwa gerakan ini bukan sekadar tren viral, melainkan ekspresi konkret dari ketidakpuasan yang terakumulasi. Shoshana Zuboff (2019) dalam ๐๐ฉ๐ฆ ๐๐จ๐ฆ ๐ฐ๐ง ๐๐ถ๐ณ๐ท๐ฆ๐ช๐ญ๐ญ๐ข๐ฏ๐ค๐ฆ ๐๐ข๐ฑ๐ช๐ต๐ข๐ญ๐ช๐ด๐ฎ menjelaskan bagaimana negara dan korporasi digital dapat mengendalikan persepsi publik melalui kontrol informasi. Dalam konteks Indonesia, kita menyaksikan bagaimana wacana negara didukung oleh mesin propaganda yang sistematis, mulai dari buzzer hingga media arus utama yang terkooptasi. Dalam lanskap semacam ini, kritik seperti #๐๐ป๐ฑ๐ผ๐ป๐ฒ๐๐ถ๐ฎ๐๐ฒ๐น๐ฎ๐ฝ bukan sekadar ekspresi kekecewaan, melainkan perlawanan terhadap hegemoni naratif yang semakin canggih.
Lebih dari itu, munculnya simbol Garuda Hitam menandai upaya membangun kontra-narasi berbasis simbolik yang efektif dalam menyampaikan ketidakpuasan. Ini sejalan dengan konsep โdatafied resistanceโ dari Tressie McMillan Cottom (2020), di mana perlawanan tidak lagi berbasis aksi fisik semata, tetapi juga pada perebutan ruang digital yang dikendalikan algoritma. Tagar ini tidak sekadar menjadi keluhan viral, tetapi juga bentuk โhacktivismโ yang mencoba menembus kontrol opini publik.
Namun, gerakan protes digital dan fisik juga menghadapi tantangan besar. Ethan Zuckerman (2020) dalam ๐๐๐ ๐ก๐๐ข๐ ๐ก menegaskan bahwa tanpa strategi berkelanjutan dan infrastruktur gerakan yang solid, mobilisasi ini berisiko kehilangan daya dorong sebelum mencapai perubahan nyata. Jika #๐๐ป๐ฑ๐ผ๐ป๐ฒ๐๐ถ๐ฎ๐๐ฒ๐น๐ฎ๐ฝ hanya berfungsi sebagai pelampiasan sesaat tanpa elaborasi lebih lanjut, maka ia bisa saja meredup sebelum benar-benar membawa dampak.
Kegelapan yang disuarakan oleh para aktivis dan mahasiswa bukan sekadar metafora pesimisme, tetapi sinyal bahwa ada realitas sosial yang terus-menerus ditutupi oleh narasi resmi. Dalam demokrasi digital, terang dan gelap bukan hanya persoalan persepsi, tetapi juga medan pertarungan antara yang menguasai informasi dan yang mencoba mendobraknya. Demonstrasi mahasiswa yang mengusung #๐๐ป๐ฑ๐ผ๐ป๐ฒ๐๐ถ๐ฎ๐๐ฒ๐น๐ฎ๐ฝ menunjukkan bahwa ini bukan sekadar keluhan daring, tetapi sebuah dorongan nyata untuk perubahan. Kini pertanyaannya: apakah gerakan ini akan terus menyala, atau redup dalam dominasi wacana pemerintah. (*)