Antara Keinginan (Diri) dan Ambisi (Politik)

oleh -
oleh
Antara Keinginan (Diri) dan Ambisi (Politik) 1
foto ilustrasi (ist)

Oleh : Christian Sidenden (Redaktur senior di Dayak News)

Dayak News – Semua orang wajar saja ingin seperti ini atau seperti itu, jika ditanyakan cita-citanya. Keinginan itu adalah harapan dan setiap orang memang berhak punya harapan.

Meskipun, keinginan itu harus dipahami juga bukan ambisi. Jika keinginan itu merelakan saja ketika kesempatan, nasib dan peruntungan belum berpihak. Maka keinginan itu tidak terjadi namanya. Beda halnya, ambisi justru mengupayakan agar keinginan itu wajib terjadi dengan usaha yang sistematik disertai perencanaan yang matang.

Dalam literatur dunia politik, Niccolo Machiavelli, penulis dari Venesia abad pertengahan, dulu pernah mengajarkan bahwa keinginan untuk berkuasa itu harus ambisional dan kalau perlu dengan tindakan kejam jika diperlukan. Sebab bagi Machiavelli jauh lebih bernilai ditakuti orang ketimbang dihormati saja. Saya tak tahu apakah para politisi di negara ini pernah membaca bukunya, Sang Penguasa (Il Principe). Supaya tahu beda antara pemimpin sejati dan diktator.

Machiavelli memang hidup menulis pada masa di mana Benua Eropa sedang dilanda perang dan kesadaran nasionalisme menguat. Pada masa itu kepemimpinan memang menjadi titik tolak yang penting dan strategis.

Dalam konteks ketatanegaraan modern, pembatasan masa jabatan merupakan suatu cara untuk mengurangi dampak buruk dari kekuasaan yang berlebihan, baik dari sudut lama maupun pengaruh yang dekstruktif dari monarki absolut dan kediktatoran. Tentunya itu dibatasi melalui mekanisme pemilihan umum (pemilu).

Meskipun sudah dibatasi, tetapi tak selamanya juga semua orang ingin dibatasi. Kekuasaan politik begitu menggoda untuk direngkuh lebih lama. Itu ternyata merupakan kodrat manusia juga yang menyukai untuk berkuasa atas orang lain dan memiliki privilese tertentu dari akibat berkuasa itu.

Saat ini kita sedang akan melakukan pemilu lagi. Suatu kegiatan rutin setiap lima tahun untuk memilih lagi para pemimpin dan wakil-wakil di dewan perwakilan di semua level pemerintahan.

Untuk pemilu presiden tentu menarik untuk dicermati soal periodisasi. Apakah masa jabatan presiden itu sudah cukup dua periode sepanjang dua kali lima tahun, jika memang terpilih kembali, atau masih perlu ditambah. Sebab nyatanya, gagasan menambah durasi atau jumlah periode menjadi tiga kali lima tahun, sempat santer diwacanakan. Bagaimanapun, negara kita masih terus bereksperimen untuk memungkinkan menambah masa kerja dari pemimpin nasional melalui konstitusi. Meskipun pembicaraan dan pembahasannya akan sangat lama prosesnya.

Akhir-akhir ini mengemuka juga soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membolehkan calon presiden dari usia di bawah 40 tahun untuk dicalonkan menjadi calon presiden, asalkan sudah sedang menjabat jabatan politik yang dipilih oleh publik. Jadinya, seolah-olah MK menganut prinsip kesetaraan hak semua orang dan tak mempersoalkan usia sebagai persyaratan. Yang penting sudah pernah dipercaya sebagai pemimpin daerah atau juga wakil rakyat.

Pada titik ini, menarik untuk menelisik lebih jauh, makna kriteria bahwa seseorang yang sudah pernah dipilih atau terpilih menduduki jabatan politik oleh publik atau masyarakat ini. Sebab bicara pernah tidaknya itu, juga berbicara tentang pengalaman yang bagaimana seseorang itu memang bisa dicalonkan. Entah itu berpengalaman baru dua tiga tahun yang pokok itu sudah dianggap berpengalaman.

Jadinya pengalaman itu bukan diukur dari sudut lama berprofesi melainkan sekedar sudah pernah terpilih saja. Hal ini sudah tentu akan menghadirkan polemik nantinya. Seorang dokter gadungan yang pernah bertindak sebagai mantri pernah juga bikin resah karena baru terungkap tak pernah dididik dan disumpah sebagai dokter. Sedangkan ini berkaitan dengan nyawa orang. Sungguh gawat.

BACA JUGA :  Skenario Pencegah Retak di Pilpres 2024

Begitu pula politisi. Kita bertanya dimana ada profesi yang kepadanya digantungi nasib dan kepentingan publik selain dari pemimpin daerah dan wakil-wakil rakyat. Jika politisi seperti ini saja tidak layak atau kurang berpengalaman maka tentu akan turut menyeret nasib rakyat ke arah yang tidak baik. Jangan bermain-main dengan profesi politisi ini. Apalagi untuk menduduki jabatan presiden (dan wakil presiden) lebih lagi.

Mari kita kembali merenungkan lagi istilah petugas partai. Istilah yang terkesan ditujukan pada ibu Megawati Soekarnoputri sebagai Ketum PDIP, sebagai yang sering menyitirnya. Istilah itu memang benar. Petugas partai itu adalah orang-orang yang sudah dikaderkan oleh partai politik guna diutus bagi mengabdi untuk rakyat melalui keterpilihan melalui pemilu. Tanpa adanya partai politik maks tidak ada pendidikan politik dan pengendalian pada sumberdaya manusia untuk profesi politisi. Mari kita renungkan lagi.(*)

 

Simak berita dan artikel lainnya diĀ Google News

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.