Oleh : Christian Sidenden (Redaktur Senior Dayak News)
Sekitar tahun 2013, seorang peneliti dari Koninklijke Instituut voor Taal Land en Volkenkunde (KITLV) Belanda datang ke Kota Cantik. Namanya Ward Berenschot.
Ia meneliti perpolitikan pemilu kepala-kepala daerah di daerah provinsi ini. Sejauh mana tercipta hubungan antara pemilihan umum dan dunia bisnis perkebunan dan pertambangan. Ada banyak orang yang ia wawancarai langsung ketika itu. Bahkan juga saya yang menjadi jurnalis.

Berenschot merupakan peneliti yang tergabung dalam madzhab pengamat antropologi politik. Mengamati tingkah laku politik dari elit-elit politik dan pebisnis yang saling terkait dalam kepentingan menguasai semua aset kekuasaan dan ekonomi di daerah. Dunia yang lebih kecil dibagi menjadi otonomi daerah.
Berenschot pun menelurkan sebuah buku hasil penelitiannya itu, bersama rekannya, Edward Aspinall – Democracy for Sale: Pemilu, Klientelisme dan Negara di Indonesia (edisi pertama, Cornell University Press 2019).
Klientelisme dimaksudkan Berenschot ketika meneliti saat itu ialah kedekatan identitas tertentu dari sekelompok elit baik dari segi agama, suku, hubungan keluarga, dan sebagainya yang subur sebagai tradisi Pembeli Demokrasi. Judulnya, sesuai Democracy for Sale.
Hal ini merupakan fenomena yang umum terjadi di Indonesia, secara khusus di Kalteng, pasca Reformasi. Ketika masa Orde Baru (1968-1998) tidak diberi kesempatan Klientelisme itu terjadi. Sentralisasi kekuasaan berpusat pada Jakarta saja.
Dalam sebuah podcast di Semarang, akhir tahun lalu, sebelum Pemilu 2024 ini, Berenschot kembali ditanya oleh host, apakah fenomena Membeli Demokrasi, Oligarki dan Klientelisme masih akan berlangsung? Ia meyakini masih dan akan semakin kuat. Oligarki dan pemilik modal di daerah-daerah akan berupaya menguasai sumber-sumberdaya alam dan manusia untuk memperkuat basis kekuasaan politik melalui pemilu. Itu artinya suara-suara dibeli dengan uang atau pembagian sembako.
Oligarki adalah bentuk pemerintahan di mana kekuasaan politik dan ekonomi dikendalikan oleh sekelompok kecil individu atau golongan elit. Istilah “oligarki” berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu “oligos” yang berarti “sedikit” dan “arkhein” yang berarti “memerintah”. Hanya dikuasai oleh sedikit orang yang disebut elit yang berkuasa. Meskipun nampaknya, kekuasaan itu diperoleh melalui mekanisme pemilu.
Apakah menurut Berenschot melalui buku itu, bahwa praktik politik semacam itu wajar-wajar dan tidak jadi soal bagi rakyat di daerah? Ia mengatakan pada akhirnya, jika fenomena Pembeli dan Jualan Demokrasi ini terus terjadi dari pemilu ke pemilu, maka akan menyuburkan korupsi. Di samping memperlebar jurang antara orang kaya dan orang miskin. Oligarki semakin kokoh. Juga sesungguhnya, katanya lagi partai-partai politik tidak mendidik masyarakat untuk berpolitik yang baik.
Program-program kepala-kepala daerah itu tidak mungkin lagi diawasi dan ditagih janji, tatkala semua transaksi sudah selesai di dalam proses pemilu. Makanya sulit mengontrol anggaran dan program kerja itu dengan hasil pemilu seperti itu.
Menurut si peneliti KITLV itu, demokrasi yang betul itu tidak berdasarkan transaksi ekonomi sesaat berupa uang politik (baik itu mahar politik ataupun uang suara ke pemilih). Ketika hal itu berlangsung, maka kontrol politik masyarakat akan lemah pada elit politik yang mengelola anggaran. Di sini mudah terjadi korupsi karena lemahnya pengawasan masyarakat, yang sudah terbeli waktu pemilu. Begitu pula, partai-partai politik dan DPR hanya menjadi penjaga kepentingan elit-elit yang berkuasa itu. Pokoknya, segalanya dirusak oleh fenomena ini.
Ujungnya, kata Berenschot maka negara itu akan sakit dan perlahan menuju kerusakan yang fatal. Antropologi politik bergerak mengamati dari perilaku politik manusia demi manusia. Tentang motivasi apa yang mendorong seseorang dan sekelompok orang untuk berkuasa. Jika dulu kekuasaan politik dan ekonomi itu di tangan diktator di pusat kekuasaan. Maka sekarang kekuasaan itu sudah terbagi-bagi ke daerah-daerah provinsi dan kabupaten kota.
Ramainya berita mengenai mundurnya calon-calon tim kampanye satu kandidat di Pilkada Kalteng 2024 ini, karena minim dana kampanye, menunjukkan mudahnya masyarakat untuk dibeli. Masyarakat yang hanya mendukung dan memilih calon-calon yang bisa memberinya keuntungan finansial sesaat. Jika tidak, jika si calon tidak memberi sesuatu duluan, untuk apa didukung calon seperti itu. Inilah yang disebut Berenschot Membeli Demokrasi ada yang menjual dan ada yang membeli. Kita sedang dalam sorotan yang dimaksud.