Oleh: Zacky Antony
HIRUK PIKUK mengenai kewenangan Dewan Pers menerbitkan peraturan-peraturan di bidang pers, terutama terkait peraturan tentang Standar Kompetensi Wartawan (SKW) sebagai dasar pelaksanaan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) akhirnya tuntas. Mahkamah Konstitusi (MK) pada 31 Agustus 2022 telah memutus menolak permohonan uji materi (judicial review) terhadap UU No 40 tahun 1999 Tentang Pers. Objek permohonan adalah pasal 15 ayat 2 dan 5.
Konstitusionalitas UU Pers berarti clear. Karena putusan MK bersifat final dan mengikat (binding). Karena pintu hukum sudah tertutup. Maka, kalaupun masih ada yang tidak setuju dengan UU ini, maka upaya mengubahnya lewat pintu politik melalui lembaga yang membuatnya yaitu DPR.
UU Pers yang lahir 23 September 1999 adalah kado istimewa reformasi yang diperjuangkan mahasiswa. Dibilang istimewa, karena UU Pers berbeda dengan UU lain. Lazimnya setiap UU pasti diikuti PP (Peraturan Pemerintah) sebagai peraturan pelaksana yang bersifat lebih detail dan teknis. Tapi UU Pers tanpa PP. Sebagai cerminan bahwa pemerintah tidak ikut campur urusan pers seperti zaman Orba. Sebaliknya, urusan pers ditangani oleh masyarakat pers sendiri.
Kita bersyukur ternyata kado istimewa reformasi itu masih terjaga. Hakim-hakim MK melihat pers nasional dalam bingkai yang lebih luas yakni Indonesia sebagai Negara hukum dan demokrasi. Objek-objek yang dipersoalkan seperti uji kompetensi dan verifikasi adalah soal implementasi (konkret), bukan perkara konstitusionalitas.
Putusan MK ini melegakan. Bukan hanya bagi Dewan Pers, tapi juga bagi para konstituen Dewan Pers seperti PWI, AJI, IJTI, SPS, PRSSNI, PFI, AMSI, SMSI dan JMSI. Maklum, butuh waktu satu tahun lebih bagi MK untuk menerbitkan putusan. Uji materi diajukan pada 12 Agustus 2021. Diputus MK pada 31 Agustus 2022.
Rentang waktu setahun itu, dunia pers nasional diwarnai hiruk-pikuk, khususnya di daerah-daerah. Pengalaman saya pribadi, misalnya, sempat ditanya seorang pejabat di Bengkulu, “Uji kompetensi wartawan itu masih ada tidak?.”. “Dewan Pers Independen itu apalagi?.” Saat itu, ramai di berbagai grup WA mengenai muncul Dewan Pers tandingan bernama Dewan Pers Indonesia (DPI). Dideklarasikan juga LSP (Lembaga Sertifikasi Pers) versi BNSP. Berbekal legalitas BNSP itu, LSP mengadakan UKW tandingan tanpa melibatkan Dewan Pers. Modul dan penguji UKW berbeda dengan UKW yang diselenggarakan lembaga uji versi Dewan Pers seperti PWI, AJI atau IJTI.
MAKNA PUTUSAN MK
Apa makna putusan MK ini bagi pers nasional? Putusan MK atas uji materi UU Pers setidaknya mengandung dua makna penting bagi landasan hukum kemerdekaan pers Indonesia. Pertama, putusan itu bermakna UU Pers tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini berarti, putusan MK memperkuat posisi UU Pers yang menjadikan pers Indonesia bebas seperti sekarang. Putusan itu menepis semua tafsir atas UU Pers. Apakah itu tafsir UU Pers liberal, tafsir kebablasan, tafsir ketinggalan zaman dll.
Kedua, putusan MK memberi makna bahwa produk Dewan Pers (sejak periode pertama awal Reformasi sampai sekarang), tidak melawan hukum. Termasuk produk Dewan Pers dalam bentuk menerbitkan peraturan-peraturan di bidang pers. Seperti diketahui, Peraturan Dewan Pers yang paling banyak disorot adalah mengenai uji kompetensi wartawan dan verifikasi media. Dengan adanya putusan MK tersebut, maka dua peratuan tersebut, UKW dan verifikasi media, tidak bertentangan dengan hukum.
Peraturan Dewan Pers tentang Standar Kompetensi Wartawan dan verifikasi media justru untuk melindungi kemerdekaan pers, meningkatkan kualitas wartawan dan menjaga harkat dan martabat pers. UJi kompetensi wartawan dan verifikasi media adalah wujud upaya Dewan Pers meningkatkan kualitas kehidupan pers nasional.
Anda bayangkan bagaimana kalau orang-orang yang belum berkompeten (tidak bisa menulis), tiba-tiba muncul menjadi wartawan. Bagaimana hasil karya wartawan yang tidak memahami kode etik. Maka ada istilah, hantam kromo. Bertebaranlah berita-berita tanpa konfirmasi, tanpa check and recheck. Pemberitaan yang menghakimi. Serta pelanggaran-pelanggaran kode etik lainnya yang saat ini marak terjadi.
Putusan MK ini selaras juga dengan putusan PN Jakpus dan PT DKI Jakarta tahun 2019. Yaitu menolak gugatan yang diajukan dua organisasi pers yaitu SPRI dan PPWI. Objek gugatan juga mengenai kewenangan Dewan Pers. Mentok di peradilan umum, membuat pihak yang pihak-pihak anti Dewan Pers mengalihkan gugatan ke MK dalam bentuk permohonan judicial review UU Pers.
SELARAS KONSTITUSI
Substansi putusan MK pada intinya menyatakan pasal 15 ayat 2 dan 5 tidak bertentangan dengan UUD 1945. Justru pasal-pasal dalam UU Pers bersesuaian dengan konstitusi. Tidak ada yang kontradiktif. Dewan Pers menerbitkan peraturan-peraturan di bidang pers tanpa ada campur tangan pemerintah. Campur tangan penguasa inilah yang menjadi momok selama orde baru.
Pasal 15 ayat 2 UU Pers berbunyi, Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut: (a) melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain; (b) melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers; (c) menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik; (d) memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers; (e) mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat dan pemerintah; (f) memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi wartawan; (g) serta mendata perusahaan pers.
Sedangkan pasal 15 ayat (5) berbunyi, “Keanggotaan Dewan Pers sebagaimana dimaksud ayat 3 ditetapkan dengan Keputusan Presiden.” Pasal 15 ayat (5) ini di-judicial review karena ada pula Dewan Pers versi lain yang keanggotaannya entah ditetapkan oleh siapa.
STANDAR KOMPETENSI
Ketentuan pasal 15 ayat (2) khususnya butir f menjadi dasar bagi Dewan Pers kemudian memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam membuat kebijakan-kebijakan di bidang pers. Lahir Piagam Palembang tahun 2010 yang menghasilkan kesepakatan perlunya standar kompetensi wartawan dan verifikasi media. Setelah disepakati organisasi-organisasi pers, Dewan Pers menerbitkan peraturan-peraturan di bidang pers.
Terbitlah antara lain Peraturan Dewan Pers No 1 Tahun 2010 Tentang Standar Kompetensi Wartawan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Dewan Pers Nomor 4 tahun 2017 tentang Standar Kompetensi Wartawan. Peraturan inilah yang menjadi dasar pelaksanaan UKW. Peraturan tentang UKW ini juga bukan dibuat oleh Dewan Pers, tapi merupakan kesepakatan para organisasi pers, organisasi perusahaan pers dan organisasi wartawan pada pertemuan hari Selasa 26 Januari 2010 di Jakarta.
Selain mengatur standar seorang wartawan, Dewan Pers juga mengatur standar perusahaan yang mempekerjakan wartawan. Terbitlah Peraturan Dewan Pers No 4 tahun 2008 Tentang Standar Perusahaan Pers. Setelah lahir Piagam Palembang tahun 2010, peraturan itu diubah dengan Peraturan Dewan Pers No 3 tahun 2019 Tentang Standar Perusahaan Pers yang menjadi dasar pelaksanaan verifikasi media.
Sebelum lahir kesepakatan dalam Piagam Palembang 2010, organisasi-organisasi pers juga pernah membuat kesepakatan lain. Itu terjadi pada hari Selasa tanggal 14 Maret 2006. Kesepakatan yang dicapai adalah mengenai kode etik jurnalistik. Seperti diketahui, masing-masing organisasi wartawan punya kode etik masing-masing. Anggota PWI misalnya, punya kode etik PWI. Begitu pula organisasi wartawan yang lain. Sehingga dipandang perlu ada kesepakatan bersama mengenai norma-norma etika dan moral menyangkut kode etik profesi wartawan. Terbitlah Peraturan Dewan Pers Nomor 6 tahun 2008 Tentang Pengesahan Surat keputusan Dewan Pers Nomor: 03/SK-DP/III/2006 Tentang Kode Etik Jurnalistik. Inilah kode etik yang berlaku sampai sekarang.
Jadi, Dewan Pers tidak membuat kode etik. Tapi Dewan Pers memfasilitasi organisasi-organisasi pers untuk membuat kesepakatan kode etik sebagaimana amanat pasal 15 ayat (2) UU Pers.
VERIFIKASI MEDIA
Kebijakan tentang verifikasi media diatur dalam Peraturan Dewan Pers No 3 tahun 2019 tentang Standar Perusahaan Pers. Aturan tentang verifikasi ini tercantum pada Bab VIII pasal 22 tentang verifikasi data. Pada ayat (1) berbunyi, “Dewan Pers melakukan pendataan perusahaan pers melalui verifikasi administrasi dan faktual serta konten media.” Lalu ayat (2) verifikasi dapat dilakukan pihak-pihak lain yang ditunjuk oleh Dewan Pers.
Peraturan Dewan Pers No 3 tahun 2019 juga memuat standar-standar lain sebuah perusahaan pers. Seperti, berbadan hukum PT dan atau badan hukum lain yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan (pasal 5), mendapat pengesahan dari Kemenkumham (pasal 6), mengumumkan nama, alamat, kontak redaksi dan penanggungjawab secara terbuka (pasal 7). Penanggungjawab redaksi wajib atau pemimpin redaksi wajib memiliki kompetensi wartawan utama (pasal 8), memiliki modal minimal Rp 50 juta (pasal 12), gaji wartawan sekurang-kurangnya setara UMP minimal 13 kali dalam setahun (pasal 14), PHK terhadap wartawan/karyawan mengikuti UU Ketenagakerjaan (pasal 19) dan perusahaan pers wajib menyediakan asuransi kesehatan dan asuransi ketenagakerjaan (pasal 20).
Peraturan tentang verifikasi ini telah melalui dua kali perubahan. Pertama kali, verifikasi media diatur dalam Peraturan Dewan Pers No 04 tahun 2008 Tentang Standar Perusahaan Pers. Pada peraturan awal ini, media cetak diverifikasi oleh organisasi perusahaan pers. Sedangkan verifikasi media penyiaran (televise dan radio) dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Peraturan Dewan Pers No 4/2008 ini, belum mengatur verifikasi terhadap media siber.
Seiring perkembangan zaman, media siber mengalami pertumbuhan sangat pesat. Sehingga pada tahun 2017 dilakukan revisi atas Peraturan Dewan Pers No 4 tahun2008. Revisi dilakukan terhadap pasal 17 yang sebelumnya mengatur verifikasi dilakukan oleh organisasi pers dan KPI, diubah bahwa verifikasi dilakukan oleh Dewan Pers. Perubahan itu dituangkan dalam Peraturan Dewan Pers No 01 tahun 2017 tentang Perubahan Pasal 17 Peraturan Dewan Pers No 04 tahun 2008. Peraturan tentang Standar Perusahaan Pers kemudian diperbaharui lagi melalui Peraturan Dewan Pers No 03 Tahun2019 Tentang Standar Perusahaan Pers.
Sekali lagi, kita bersyukur kado reformasi itu masih terjaga. Aamin.
Penulis adalah wartawan senior yang juga Ketua Dewan Kehormatan PWI Provinsi Bengkulu