Oleh: DR. H. Ahyar Wahyudi, S.Kep. Ns, M.Kep., CISHR, FISQua, FRSPH, FIHFAA
Pendahuluan
Dalam panorama akademik yang sarat dengan tradisi dan formalitas, muncul seorang rektor dari universitas ternama yang membuat keputusan mengejutkan: ia meminta agar gelar akademiknya tidak lagi dicantumkan kecuali pada dokumen resmi seperti ijazah dan transkrip nilai. Keputusan ini mencerminkan usaha untuk mengurangi kesakralan gelar akademik, terutama gelar profesor, di lingkungan pendidikan tinggi. Melalui artikel ini, saya akan mencoba menganalisis dan mengkajinya melalui berbagai perspektif teori dan konsep yang relevan.
Sejarah Gelar Profesor
Gelar profesor memiliki sejarah panjang dan kaya, berakar dari tradisi akademik Eropa pada Abad Pertengahan. Istilah “professor” berasal dari bahasa Latin “profiteri,” yang berarti “menyatakan secara terbuka” atau “mengajar secara terbuka.” Pada masa itu, gelar ini diberikan kepada cendekiawan yang diakui memiliki keahlian dan otoritas dalam bidang tertentu serta bertanggung jawab untuk mengajar dan membimbing mahasiswa. Universitas-universitas seperti Bologna dan Paris menjadi tempat lahirnya gelar ini, yang kemudian menyebar ke seluruh dunia.
Gelar profesor berkembang menjadi simbol prestasi akademik tertinggi. Di berbagai negara, gelar ini diberikan sebagai pengakuan atas kontribusi signifikan dalam penelitian dan pengajaran. Profesor dianggap sebagai penjaga pengetahuan dan pemimpin intelektual yang membimbing generasi penerus dalam pencarian ilmu.
Desakralisasi Gelar Akademik
Desakralisasi gelar akademik adalah upaya untuk mengurangi keistimewaan yang berlebihan terhadap gelar akademik guna menciptakan suasana kolegial yang lebih inklusif dan egaliter di perguruan tinggi. Langkah ini dapat dilihat sebagai usaha untuk mengurai hierarki simbolik yang ada, sehingga memungkinkan distribusi kekuasaan yang lebih merata di antara para akademisi (Bourdieu, 1984).
Desakralisasi juga mencerminkan perubahan sosial dan budaya dalam dunia akademik. Pada zaman modern, ada kecenderungan untuk mengurangi hierarki yang kaku dan mendorong kolaborasi yang lebih setara di antara para akademisi. Dengan mengurangi penekanan pada gelar, diharapkan tercipta lingkungan yang lebih terbuka dan inklusif, di mana kontribusi setiap individu dihargai berdasarkan kualitas pekerjaan mereka, bukan semata-mata berdasarkan gelar yang mereka miliki.
Perspektif Etika dan Moral
Tindakan ini dapat dianalisis melalui teori keadilan distributif yang diajukan oleh John Rawls. Prinsip keadilan Rawls menekankan pentingnya distribusi yang adil dari keuntungan dan tanggung jawab dalam masyarakat. Mengurangi penekanan pada gelar akademik bertujuan memastikan penghargaan dan pengakuan diberikan berdasarkan kontribusi nyata dan kemampuan individu, bukan semata-mata berdasarkan gelar formal.
Upaya ini bisa dilihat sebagai langkah untuk menciptakan lingkungan akademik yang lebih adil dan setara. Dengan mengurangi penekanan pada gelar, diharapkan setiap individu dinilai berdasarkan kontribusi mereka yang sebenarnya, bukan sekadar status formal yang mereka miliki. Hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan distributif yang menekankan pentingnya penghargaan yang adil dan setara bagi setiap individu dalam masyarakat.
Dampak Psikologis dan Sosial
Gelar akademik tidak hanya berfungsi sebagai pengakuan atas pencapaian akademik tetapi juga sebagai alat untuk meningkatkan status sosial dan profesional seseorang. Teori identitas sosial (Tajfel & Turner) menunjukkan bahwa gelar akademik dapat menjadi bagian penting dari identitas individu dan kelompok. Keputusan untuk tidak mencantumkan gelar dapat berdampak signifikan terhadap persepsi identitas individu dalam lingkungan akademik.
Gelar akademik memberikan rasa bangga dan identitas bagi individu yang mencapainya. Bagi banyak orang, gelar tersebut adalah hasil dari kerja keras bertahun-tahun dan pengorbanan yang besar. Menghilangkan gelar dari penggunaan sehari-hari dapat mengurangi rasa bangga dan penghargaan terhadap diri sendiri yang diperoleh melalui pencapaian akademik. Selain itu, gelar juga berfungsi sebagai alat pengakuan sosial yang membantu membangun kredibilitas dan kepercayaan di antara rekan kerja dan masyarakat umum.
Pengakuan Kompetensi dan Kredibilitas
Pencantuman gelar akademik, terutama gelar profesor, memiliki peran penting dalam mengkomunikasikan kompetensi dan kredibilitas seseorang di bidang keilmuan tertentu. Gelar ini tidak hanya mencerminkan pencapaian akademik tetapi juga pengakuan atas kontribusi signifikan dalam penelitian dan pengajaran. Mayer, Davis, dan Schoorman dalam teori kepercayaan mereka menyebutkan bahwa kredibilitas adalah salah satu elemen kunci yang membentuk kepercayaan dalam hubungan profesional. Gelar akademik berfungsi sebagai indikator yang membantu membangun kepercayaan antara akademisi dan pemangku kepentingan lainnya.
Kredibilitas adalah aspek penting dalam dunia akademik. Gelar profesor menunjukkan bahwa individu tersebut memiliki pengetahuan mendalam dan keahlian di bidang tertentu. Hal ini membantu membangun kepercayaan di antara rekan kerja, mahasiswa, dan masyarakat umum. Tanpa gelar yang mencerminkan kompetensi ini, sulit bagi seseorang untuk mendapatkan pengakuan dan kepercayaan yang sama.
Kebanggaan dan Penghormatan
Selain aspek profesional, gelar akademik juga memiliki dimensi emosional dan sosial. Bagi banyak individu, pencapaian gelar akademik merupakan sumber kebanggaan pribadi dan penghormatan dari keluarga serta masyarakat. Gelar profesor, misalnya, tidak hanya mewakili tingkat tertinggi dalam hierarki akademik tetapi juga simbol dedikasi dan kerja keras yang diakui secara luas. Permintaan untuk tidak menggunakan gelar dapat dilihat sebagai upaya untuk mengurangi kesakralan yang berlebihan, namun penting mempertimbangkan pengakuan dan penghormatan yang melekat pada gelar tersebut.
Gelar akademik juga merupakan simbol kebanggaan bagi keluarga dan masyarakat. Pencapaian akademik tidak hanya dihargai oleh individu yang mencapainya tetapi juga oleh orang-orang di sekitarnya. Gelar tersebut menjadi sumber kebanggaan dan penghargaan yang mengangkat derajat individu di mata masyarakat. Menghilangkan penggunaan gelar ini dapat mengurangi rasa penghargaan yang dirasakan oleh individu dan komunitas mereka.
Motivasi dan Prestasi Akademik
Penelitian menunjukkan bahwa motif utama yang mendorong siswa mengejar studi pascasarjana adalah prospek pekerjaan, gaji yang lebih baik, pengembangan karir, perkembangan pribadi, dan prestise atau aktualisasi diri. Pencantuman gelar akademik dapat berfungsi sebagai motivator eksternal yang signifikan bagi individu yang mengejar gelar lebih tinggi. Gelar akademik mencerminkan capaian yang diakui dan dihargai oleh masyarakat dan dunia akademik, yang pada gilirannya dapat meningkatkan motivasi individu untuk mencapai lebih banyak.
Gelar akademik memberikan motivasi bagi individu untuk terus belajar dan berkembang. Gelar ini mencerminkan capaian yang diakui dan dihargai oleh masyarakat dan dunia akademik. Tanpa pengakuan ini, sulit bagi individu untuk merasa termotivasi untuk mencapai lebih banyak. Gelar akademik juga berfungsi sebagai alat pengukur kemajuan dan prestasi individu dalam karir akademik mereka.
Faktor Penyebab Keterlambatan Penyelesaian Studi Pascasarjana
Penelitian juga mengidentifikasi berbagai faktor yang menyebabkan keterlambatan penyelesaian studi pascasarjana, termasuk faktor institusional dan personal. Faktor institusional meliputi lingkungan belajar yang tidak mendukung, proses ujian yang rumit, beban kerja supervisor yang berat, kurangnya motivasi supervisor, dan kualifikasi masuk yang rendah. Di sisi lain, faktor personal meliputi latar belakang pendidikan yang lemah, masalah sosial dan finansial, keterampilan komunikasi yang buruk, ketidakmampuan penelitian, komitmen yang rendah, dan cuti studi parsial.
Upaya untuk mendesakralisasi gelar akademik harus mempertimbangkan aspek ini. Pencantuman gelar akademik dapat berfungsi sebagai pengakuan atas kompetensi dan upaya individu dalam menyelesaikan studi mereka, yang pada gilirannya dapat memotivasi mereka untuk menyelesaikan studi tepat waktu. Tanpa pengakuan ini, sulit bagi individu untuk merasa termotivasi dan didorong untuk mencapai tujuan akademik mereka.
Dalam Al-Quran, disebutkan bahwa orang-orang yang berilmu ditinggikan derajatnya. Seperti pusaran air di lautan, usaha menghilangkan penggunaan gelar akademik ini sebaiknya tidak diikuti oleh yang lain. Pusaran air tampak menarik dari kejauhan, namun begitu terperangkap di dalamnya, sulit untuk keluar tanpa terseret oleh arus yang kuat. Demikian pula, menghapus penggunaan gelar akademik mungkin tampak sebagai langkah progresif, namun dapat membawa dampak negatif yang sulit diperbaiki.
Gelar akademik adalah lambang kebanggaan, pencapaian, dan pengakuan yang diperoleh melalui kerja keras dan dedikasi. Ini adalah simbol dari pengetahuan yang mendalam dan keahlian yang diakui secara luas. Menghilangkan penggunaan gelar ini dapat mengurangi rasa penghargaan dan motivasi yang dirasakan oleh individu yang mencapainya.
Penutup
Pada akhirnya, penting untuk menjaga keseimbangan antara kesetaraan dan penghargaan terhadap pencapaian akademik. Gelar akademik bukan sekadar simbol status, tetapi juga pengakuan atas kontribusi nyata yang telah diberikan oleh individu dalam dunia ilmu pengetahuan. Dengan mempertahankan penggunaan gelar akademik, kita menghargai usaha, dedikasi, dan pengetahuan yang telah mereka sumbangkan untuk kemajuan masyarakat.
Gelar profesor, dengan segala kebanggaan dan kehormatannya, adalah lambang puncak dari perjalanan intelektual yang panjang dan penuh perjuangan. Seperti bintang di langit malam yang memberikan arah dan harapan, gelar akademik memberikan cahaya bagi mereka yang mengejarnya, menunjukkan jalan menuju pengetahuan dan kebijaksanaan. Menghargai dan mempertahankan gelar ini adalah cara kita menghormati warisan intelektual dan memotivasi generasi mendatang untuk terus mengejar ilmu dengan semangat yang sama. Demikian.
Referensi
1. Amani, J., Myeya, H., & Mhewa, M. (2022). Understanding the motives for pursuing postgraduate studies and causes of late completion: Supervisors and supervisees’ experiences. SAGE Open, 1-12. https://doi.org/10.1177/21582440221109586
2. Bourdieu, P. (1984). Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste. Harvard University Press.
3. Mayer, R. C., Davis, J. H., & Schoorman, F. D. (1995). An integrative model of organizational trust. Academy of Management Review, 20(3), 709-734.
4. Rawls, J. (1971). A Theory of Justice. Harvard University Press.
5. Tajfel, H., & Turner, J. C. (1986). The social identity theory of intergroup behavior. In S. Worchel & W. G. Austin (Eds.), Psychology of intergroup relations (pp. 7-24). Nelson-Hall.
6. Yukl, G. (2013). Leadership in Organizations (8th ed.). Pearson.
Banyak sekali tulisan abang, produktif abang ini