Oleh : Dr. H. Ahyar Wahyudi, S.Kep. Ns., M.Kep., CISHR, FISQua, FRSPH, FIHFAA
Dayak News – Ada sebuah cerita yang selalu abadi—kisah tentang anak manusia yang menemukan jati dirinya di hutan belantara. Kita mengenal Mowgli dari The Jungle Book, anak kecil yang tumbuh bersama serigala, beruang, dan harimau di tengah lebatnya hutan India. Mowgli mengingatkan kita bahwa hutan bukan sekadar tempat, melainkan rumah yang hidup, penuh makna, dan menjaga keseimbangan dunia. Namun, di balik kisah indah ini, kita dihadapkan pada kenyataan pahit: pemerintah berniat membuka 20 juta hektare hutan cadangan untuk “ketahanan pangan, energi, dan air.” Narasi ini, meski terdengar megah, menyembunyikan risiko besar terhadap lingkungan dan generasi mendatang.
Hutan: Rumah Kehidupan yang Terancam
Hutan adalah penopang utama keberlanjutan ekosistem. Dalam The Jungle Book, Mowgli belajar bahwa hutan tidak hanya memberikan perlindungan, tetapi juga mengajarkan nilai-nilai keberanian, kebersamaan, dan keseimbangan. Di dunia nyata, teori Ecosystem Services menegaskan bahwa hutan adalah penyedia oksigen, pengatur siklus air, dan benteng melawan perubahan iklim. Dengan membuka 20 juta hektare hutan, kita mengorbankan lebih dari sekadar pohon; kita melemahkan fungsi alam yang menopang kehidupan.
Tanpa akar-akar pohon yang menjaga kestabilan tanah dan siklus air, banjir dan kekeringan akan menjadi ancaman nyata. Teori Forest Hydrology membuktikan bahwa hutan adalah kunci untuk mengelola air secara alami. Seperti dalam cerita Mowgli, hutan adalah penjaga rahasia bumi yang paling berharga—dan kita tidak bisa kehilangan penjaga itu.
Antara Padi Gogo dan Keseimbangan Ekosistem
Rencana pemerintah untuk menanam padi gogo dan aren secara masif di lahan hutan cadangan menunjukkan obsesi pada hasil instan. Pemerintah memproyeksikan produksi beras hingga 3,5 juta ton per tahun dan penggantian 26 juta kiloliter bahan bakar fosil dengan bioetanol dari aren. Tetapi, apakah mimpi ini dapat bertahan lama? Seperti konflik antara Mowgli dan Shere Khan, monokultur ini mengundang risiko besar—ekosistem yang rapuh, rentan terhadap hama, dan tak mampu bertahan dari perubahan iklim.
Teori Ecological Resilience mengajarkan bahwa sistem monokultur, seperti padi gogo dalam skala besar, mudah hancur saat terguncang oleh gangguan kecil sekalipun. Sebaliknya, pendekatan agroforestri yang mengintegrasikan tanaman pangan dengan pepohonan lokal adalah solusi yang lebih bijak dan tangguh. Kita tidak membutuhkan mesin-mesin besar untuk membuka hutan; kita membutuhkan strategi cerdas untuk memanfaatkan lahan tanpa menghancurkan ekosistem.
Generasi Muda: Pewaris atau Perusak?
Dalam narasi The Jungle Book, Mowgli adalah representasi dari generasi muda yang belajar dari alam untuk menjadi pemimpin yang bijak. Generasi muda Indonesia hari ini juga menghadapi dilema besar: apakah mereka akan menjadi pewaris yang menjaga alam atau perusak yang menghancurkannya?
Sebagai bangsa, kita harus mengajarkan generasi muda bahwa melestarikan hutan adalah bagian dari identitas dan tanggung jawab kita. Environmental Justice menekankan bahwa keputusan seperti pembukaan hutan cadangan harus mempertimbangkan dampaknya pada masyarakat adat yang telah menjaga kawasan tersebut selama berabad-abad. Kita tidak bisa merampas rumah mereka dan menyebutnya “pembangunan.”
Reforestasi: Menjadi Avatar bagi Bumi
Dalam film Avatar, Jake Sully akhirnya memilih berdiri bersama masyarakat Na’vi untuk melindungi Pandora dari kolonialisasi yang serakah. Pilihan ini adalah simbol keberanian untuk melawan kehancuran demi melindungi kehidupan. Kita pun memiliki pilihan serupa. Alih-alih membuka hutan cadangan, reforestasi adalah jawaban bagi masa depan kita.
Teori Forest Landscape Restoration menunjukkan bahwa menghidupkan kembali hutan yang terdegradasi memberikan manfaat ekonomi dan ekologi yang jauh lebih besar dibandingkan membuka hutan baru. Kita bisa menciptakan lapangan kerja dalam konservasi, membangun ekowisata yang berkelanjutan, dan memastikan bahwa pohon-pohon tetap berdiri untuk generasi mendatang.
Pesan dari Hutan
Mungkin kita perlu mendengar suara Baloo, beruang yang menjadi sahabat Mowgli, ketika dia berkata, “The bare necessities of life will come to you.” Kehidupan tidak membutuhkan kerakusan; ia membutuhkan keseimbangan. Hutan telah memberikan segalanya kepada kita—air, udara, tanah yang subur, dan perlindungan dari badai perubahan iklim. Jika kita terus mengeksploitasinya, kita hanya akan mempercepat kehancuran.
Hutan bukanlah tempat kosong yang menunggu dibuka; ia adalah rumah, tempat tinggal, dan jantung yang berdetak untuk dunia. Jika kita belajar dari Mowgli, kita akan tahu bahwa tugas kita adalah menjaga, bukan merusak. Karena pada akhirnya, seperti yang diajarkan hutan, keseimbangan adalah kunci untuk segala hal.
Pilihlah reforestasi, bukan deforestasi. Jadilah seperti Mowgli atau Avatar, penjaga alam yang melindungi kehidupan, bukan penguasa yang merusaknya. Karena tanpa hutan, siapa yang akan menjaga kita?