Oleh : Christian Sidenden, Redaktur Senior Dayak News
Politik luar negeri RI sedang berada di posisi kritis. Masihkah Indonesia dikategorikan sebagai pihak non-blok, saat ini?
Pada akhir tahun lalu, dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) negara-negara BRICS di Kazan, Rusia, negara kita mengajukan resmi untuk bergabung. Maka lamaran itu tentunya sangat didukung oleh Tiongkok dan Rusia, melihat strategisnya posisi Indonesia, jika ikut serta, bagi blok ekonomi non-Barat itu.
Tetapi, harap diingat. Dengan masuknya Indonesia ke BRICS (beranggotakan Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan), maka kini posisi Indonesia semakin “condong ke Timur-Selatan”.
Presiden Prabowo, telah sering menyampaikan dalam pidato-pidatonya, bahwa posisi kepentingan nasional RI di kancah internasional, sedapat mungkin tidak mempersulit negara dalam membina hubungan kerjasama dengan semua pihak. Indonesia, dikatakan beliau, harus tetap menjadi non-blok meskipun “ada di semua blok” itu.
Melalui BRICS ini pula, terbuka kemungkinan Indonesia akan menerima berbagai stimulus bantuan lunak untuk membangun berbagai infrastruktur penting. Antara lain pelabuhan-pelabuhan samudera bertaraf internasional. Bukan tidak mustahil, salah satu pelabuhan itu akan bisa menyaingi Singapura.
Bukan cerita omong kosong, pelabuhan Singapura, yang kini menambah luasan pelabuhannya, saat ini saja, sudah jadi tujuan bongkar muat 900-an ribu kapal peti kemas dan tanker per tahun. Karena itu, Singapura menjadi raksasa ekonomi Asia dengan ukuran negara mini seperti itu.
Pelabuhan Singapura sangat diback-up oleh Amerika Serikat dengan bantuan modal, dalam perluasan kapasitas. Hal ini yang menjadi pemikiran dari dua negara BRICS, Tiongkok dan Rusia, bagaimana bisa menyaingi Singapura dalam penyediaan infrastruktur tol laut itu. Maka di sinilah peran strategis Indonesia dilihat keduanya itu, bisa ditingkatkan potensinya menjadi pesaing bagi negara satelit AS itu.
Kapal-kapal peti kemas dan tanker itu melewati Selat Malaka, yang mana Indonesia juga menjadi wilayah yang dilaluinya. Jika saja Tiongkok dan Rusia membantu Indonesia, untuk membangun sebuah pelabuhan di pesisir selat wilayah Indonesia, maka pelabuhan itu yang akan digunakan oleh Tiongkok dan Rusia untuk jadi persinggahan. Tentunya, pembangunan pelabuhan internasional ini bertahap dibangunnya. Dengan menggunakan skim dana kredit non-dolar AS. Maka terdapat dua keuntungan didapat Tiongkok dan Rusia. Pertama, menghindari penggunaan uang dolar dan kedua, mengangkat derajat ekonomi sesama anggota BRICS, yaitu Indonesia.
Itu skenario pertama. Tapi masih ada lagi tantangan Tiongkok pada Indonesia. Yaitu soal wilayah Laut Natuna Utara. Kedua negara, telah sepakat untuk melakukan kerjasama pembangunan kawasan laut bertumpukan zona ekonomi eksklusif (ZEE) itu. Tiongkok jelas tidak mau bersitegang dengan Indonesia, yang tidak pernah jadi musuhnya itu. Usia hubungan diplomatik antara Tiongkok dan Indonesia sudah nyaris 75 tahun. Maka, sangat ironis jika gara-gara sengketa kepemilikan laut ZEE antara keduanya, terus bergesekan menjurus konflik militer. Maka dari itu, tawaran kerjasama pengembangan wilayah bertumpukan ZEE ini akan jauh lebih berguna bagi kedua bangsa itu.
Tiongkok yang kaya raya, tentu akan memberikan bantuan skim dana lunak bagi Indonesia, untuk membangun Kepulauan Natuna menjadi pintu gerbang samudera bagi Indonesia. Dengan begitu Indonesia akan memiliki dua kawasan strategis sekaligus yang akan menjadi pilihan kapal-kapal mancanegara bongkar sauh di wilayah Indonesia. Satu di tepi Selat Malaka (Kuala Tanjung Batubara) dan yang lain di Pulau Natuna. Dengan tujuan akhir, tentunya, bermaksud membatasi dominasi Singapura sebagai pengumpul benefit terbesar pelabuhan lintas benua, sejak 50 tahun terakhir.
Maka apa yang sering diucapkan Presiden Prabowo, “satu musuh terlalu banyak, seribu kawan terlalu sedikit” akan memasuki tahap ujian. Strategi memilih kawan dan partner dalam kancah global demi kepentingan nasional Indonesia akan sangat menentukan pada tahun-tahun awal rezim Prabowo-Gibran dengan Kabinet Merah Putih ini. Tetapi jika terdapat kekeliruan sedikit saja, dalam memilih dan lobbying maka hal ini akan memukul Indonesia tidak kurang hebatnya juga.(*)