Dayak News – Palestina bukanlah nama wilayah atau negara yang baru ada abad ke-20. Nama itu diberikan oleh penguasa Rumawi Kaisar Hadrian, tahun 135 Masehi.
Mengapa nama daerah Yudea dan Samaria itu diganti karena setelah pemberontakan Simon bar Kokhba, pemerintah Rumawi waktu itu mau menghapuskan ingatan bangsa Yahudi atas tanah mereka. Nama Palaestina kemudian dipilihnya.
Demikian pula dengan nama kota Yerusalem, diganti juga namanya menjadi Aelia – nama keluarga Kaisar Hadrian. Nama Aelia itu bahkan bertahan hingga kemudian kaum Arab Muslim masuk ke kota itu pada tahun 637 Masehi di bawah Kalifah Umar bin Khattab.
Selain yang dikenal oleh orang Arab, nama Aelia juga disebut dengan istilah khas Muslim, al-Quds (“kota Kudus”).
Selama periode Rumawi Kristen, daerah Palaestina itu dibagi menjadi tiga diosis. Masing-masing Palaestina Prima, Palaestina Secunda, dan Palaestina Salutaris (Tertia). Setiap diosis itu dipimpin seorang bupati dan dalam soal kegerejaan dibawahi seorang Episkop (Uskup).
Setelah kehancuran tahun 135 Masehi, kota Aelia itu dibangun kembali sebagai kota model Rumawi dan mengubur sebagian besar sisa dari bentuk kota pada masa Tuhan Yesus dulu.
Nubuat Tuhan Yesus pada nasib Yerusalem itu tertulis dalam Injil-injil, seperti pada Injil Lukas,
“…Apa yang kamu lihat di situ – akan datang harinya di mana tidak ada satu batupun akan berdiri di atas batu yang lain; semuanya akan diruntuhkan” (Lukas 21:6).
Semua orang Yahudi (Israel) kemudian dilarang bermukim di daerah itu, yang membuat mereka terserak ke seluruh penjuru bumi (diaspora).
Waktu itu bukan hanya penganut agama Yahudi saja terusir, juga ada komunitas Kristen yang induknya memang di Yerusalem. Sisa komunitas itu kemudian berpindah ke tepi Timur Sungai Yordan hingga beberapa abad kemudian.
Pada Konsili (Muktamar) Ekumenis ke-4 di Chalcedon tahun 451 Masehi, marwah dan wibawa kota suci Kristen Yerusalem atau Aelia dikembalikan kepada statusnya semula. Yerusalem menjadi salah satu dari Lima Pusat penting iman Kristen, setelah Roma Italia, ibukota baru Rumawi yaitu Constantinople, Aleksandria, Antiokhia.
Menjelang hari-hari Jumat Agung dan Paskah, yang disebut dalam tradisi Gereja Orthodox sebagai Minggu Sengsara Tuhan Yesus, ada fenomena unik teologis yang terjadi. Fenomena munculnya api suci dari Gereja Makam Yesus (the Holy Sepulchre).
Api suci ini hanya muncul pada Sabtu jelang Minggu Paskah, saat pergantian hari. Seberkas cahaya turun menyambar lilin yang digenggam oleh Patriark Orthodox Yerusalem. Api yang menyalakan lilin itulah yang disebut api suci (the Holy Fire). Mukjizat ini sudah berlangsung ribuan tahun, menurut catatan sudah ada pada tahun 162 Masehi. Seperti yang dicatat oleh Eusebius Caesarea, penulis Sejarah Gereja pada tahun 328 Masehi.
Fenomena api suci ini menjadi atraksi bukan saja bagi umat Kristiani dari berbagai aliran melainkan juga menjadi obyek wisata rohani setiap tahun.
Tahun ini seperti tahun-tahun sebelumnya, malam-malam minggu sengsara ini, menjadi suatu penguatan dan penghiburan kepada warga Palestina dalam ujian menghadapi agresi Israel dan soal Gaza.
Yerusalem dan Palestina bukan hanya wilayah suci dari para penganut agama Yahudi, tetapi itu dimiliki juga oleh umat-umat Kristen dan Muslim sesuai sejarah teologis mereka sendiri.
Kesengsaraan Tuhan Yesus melalui kematianNya di atas salib, merupakan pernyataan kasihNya bagi dunia. Dia menunjukkan bahwa kerelaan menyerahkan diri menjadi teladan umat manusia tidak mengutamakan keakuannya.
Dalam kebangkitan Tuhan Yesus setelah tiga hari, Paskah sesungguhnya merupakan penciptaan kemanusiaan baru. Kemanusiaan yang saling memanusiakan yang lain dan menjadi gambar dan rupa nyata dari sang Kristus itu. (Penulis : Christian Sidenden, Redaktur Senior Dayak News).