Oleh: Dr. H. Ahyar Wahyudi, S.Kep.Ns., M.Kep., CISHR, FISQua, FRSPH, FIHFAA (Reviewer Jurnal PRAJA Observer: Jurnal Penelitian Administrasi Publik)
Di bawah langit biru yang menyelimuti lereng-lereng Merapi dan Merbabu, desa-desa kecil terhampar dalam keheningan yang membingungkan. Di sini, jauh dari gemerlap kota, kehidupan berdenyut pelan, seolah terlupakan oleh gemuruh kemajuan yang menggema di tempat lain. Pertengahan Juli 2024, ketika Indonesia bersiap merayakan kemerdekaan yang ke-79, sebuah perayaan yang seharusnya menjadi simbol kebebasan dan kebanggaan bagi semua anak bangsa, saya teringat akan kisah-kisah yang terpendam di sela-sela dua gunung ini, diceritakan oleh seorang sahabat, seorang psikolog dari Surabaya, yang mengunjungi daerah ini.
Kemerdekaan yang dirayakan dengan gegap gempita di Ibu Kota Nusantara dan Jakarta, dengan anggaran yang membengkak dan sorak sorai yang tak berkesudahan, terasa begitu kontras dengan kehidupan para lansia yang tinggal di desa-desa ini. Apakah mereka, yang hidup dalam keterbatasan dan kesepian, benar-benar merasakan arti dari kemerdekaan itu sendiri? Ataukah perayaan ini hanya sekadar simbol kosong bagi mereka, sebuah ilusi yang jauh dari kenyataan hidup sehari-hari?
Kehidupan yang Terperangkap dalam Derita
Di desa ini, seorang lelaki tua, yang kita sebut saja sebagai Pak A, berusia 72 tahun, tidak lagi dapat berjalan tegak. Ia pernah terjatuh, dan sejak itu, kakinya tidak lagi mampu menopang tubuhnya. Meski tidak ada luka fisik yang terlihat, nyeri yang menggerogoti tulang-tulangnya membuat setiap langkah menjadi siksaan. Ia pernah dibawa ke fasilitas kesehatan setempat, tetapi di sana, yang ia temui hanyalah kekecewaan. Tidak ada obat yang diberikan, tidak ada suntikan yang meredakan rasa sakitnya. Ketidakmampuan untuk membeli obat membuatnya terjebak dalam lingkaran penderitaan yang tak berkesudahan. Kini, satu-satunya alat bantu yang dimilikinya adalah sepasang kruk bekas, pemberian anaknya. Setiap kali ia mencoba berdiri, rasa sakit itu seolah menegaskan bahwa ia tak lagi merdeka, tak lagi berkuasa atas tubuhnya sendiri.
Kehidupan Pak A adalah cerminan dari teori Disengagement, yang menyatakan bahwa seiring bertambahnya usia, individu secara perlahan melepaskan peran sosial mereka. Namun, bagi Pak A, melepaskan peran sosial bukanlah pilihan, melainkan keterpaksaan. Kemerdekaan yang dirayakan di ibu kota menjadi ironi pahit bagi mereka yang kehilangan kendali atas tubuh dan kehidupan mereka sendiri. Di mana letak kemerdekaan ketika rasa sakit menjadi teman sehari-hari, dan pilihan-pilihan hidup semakin terbatas?
Kesepian yang Menghancurkan Harapan
Tidak jauh dari rumah Pak A, hidup seorang ibu tua, sebut saja Bu X, yang kesehariannya dihantui oleh kesepian. Anak-anaknya telah pergi, meninggalkannya sendiri di rumah yang dulu penuh dengan canda tawa. Kini, rumah itu hanya diisi oleh derit pintu dan suara angin yang menyapu halaman. Setiap hari, Bu X menanti kedatangan anak-anaknya, meski dalam hati ia tahu, harapan itu semakin hari semakin pudar. Ia sering kali mencoba mengunjungi anak-anaknya, tetapi tanpa biaya, perjalanan itu menjadi mustahil. Kehidupan Bu X menggambarkan apa yang disebut Role Theory dalam studi penuaan, di mana peran yang hilang membuat individu kehilangan identitas dan makna hidup. Dalam kasus Bu X, kesepian yang ia rasakan adalah bentuk lain dari kehilangan kemerdekaan, sebuah keterasingan yang perlahan membunuh semangat hidupnya.
Saat bangsa ini merayakan kemerdekaan, Bu X hanya bisa merenung dalam kesendiriannya, bertanya-tanya apakah arti kemerdekaan bagi dirinya. Ironi ini semakin terasa ketika kita mempertimbangkan bahwa kemerdekaan seharusnya membawa kebebasan, termasuk kebebasan dari kesepian dan keterasingan. Namun, bagi Bu X, kemerdekaan justru menjadi mimpi yang tak tergapai, sebuah konsep yang tidak pernah benar-benar ia rasakan.
Ketakutan yang Menjadi Bayangan Kehidupan
Di ujung desa, hidup seorang ibu berusia 84 tahun, sebut saja Bu Y, yang buta setelah menjalani operasi ginjal. Di tengah kegelapan yang melingkupi dunianya, ia hidup dengan ketakutan yang terus-menerus. Anaknya, yang menderita skizofrenia, sering kali menjadi ancaman bagi dirinya dan orang-orang di sekitarnya. Setiap hari, Bu Y harus berjaga-jaga, menanti dengan cemas apakah hari ini akan berlalu dengan damai, ataukah akan ada ledakan emosi dari anaknya yang tak terduga.
Ketakutan ini adalah cerminan dari kondisi yang digambarkan dalam teori stres dan adaptasi. Bu Y tidak hanya harus beradaptasi dengan kondisi fisiknya yang semakin rapuh, tetapi juga dengan tekanan psikologis yang terus menghantamnya. Dalam situasi ini, kemerdekaan menjadi sesuatu yang absurd, sebuah konsep yang tidak pernah bisa ia rasakan dalam kehidupan sehari-harinya. Ketika bangsa ini merayakan kebebasan dari penjajahan, Bu Y terus hidup dalam penjajahan ketakutan, sebuah penjara yang tak terlihat tetapi sangat nyata.
Bergantung pada Belas Kasih Orang Lain
Lalu ada Bu W, seorang wanita yang sebatang kara sejak kecil. Ibunya meninggal ketika ia masih sangat muda, dan sejak itu, hidupnya terjebak dalam kemiskinan dan ketergantungan. Kelainan pada kakinya membuatnya tidak mampu berbuat banyak, dan ia hanya bisa hidup dengan bantuan dari tetangga yang juga hidup dalam keterbatasan. Setiap hari, ia menunggu seseorang datang untuk memberinya makanan atau sekadar menawarkan kata-kata penghiburan.
Fungsi adaptifnya yang terganggu membuat Bu W semakin tergantung pada orang lain. Ia tidak lagi memiliki kendali atas hidupnya sendiri, dan setiap hari yang ia lalui adalah cerminan dari keterasingan yang semakin dalam. Ketika kemerdekaan dirayakan dengan gemuruh di ibu kota, Bu W hanya bisa bertanya dalam hati, apakah ia benar-benar bebas? Ataukah ia hanya hidup dalam ilusi kemerdekaan, terjebak dalam lingkaran ketergantungan yang tak berujung?
Semangat yang Masih Tersisa
Di desa ini juga hidup seorang ibu berusia 102 tahun, sebut saja Bu A, yang buta sejak kecil. Meski hidup dalam keterbatasan yang luar biasa, semangat hidupnya masih menyala. Namun, di balik semangat itu, tersembunyi rasa sakit yang mendalam, rasa tidak memiliki apa-apa dan menjadi beban bagi orang lain. Setiap hari, Bu A berjuang untuk tetap merasa berguna, meski ia tahu bahwa hidupnya kini sepenuhnya tergantung pada kebaikan orang lain.
Semangat Bu A adalah gambaran dari teori optimisme dan resiliensi dalam penuaan, di mana individu berusaha mempertahankan harapan meski di tengah keterbatasan. Namun, apakah semangat ini cukup untuk menghadapi kenyataan hidup yang keras? Apakah kemerdekaan hanya tentang kebebasan fisik, ataukah juga tentang kebebasan untuk hidup dengan martabat dan tanpa rasa menjadi beban bagi orang lain?
Stigma yang Menghancurkan Martabat
Di desa ini, juga hidup seorang ibu, sebut saja Bu F, yang mengalami masalah di tenggorokannya, membuatnya sulit untuk berbicara jelas. Akibatnya, masyarakat sekitar menganggapnya gila, dan stigma ini menghancurkan martabatnya. Setiap kali ia mencoba berbicara, ia diabaikan atau bahkan diolok-olok. Pengucilan yang ia alami adalah bentuk lain dari perampasan kemerdekaan, di mana hak-hak dasarnya sebagai manusia diabaikan hanya karena kelainan yang tidak dapat ia kendalikan.
Stigma sosial ini adalah refleksi dari kegagalan kita sebagai masyarakat untuk memahami dan menerima perbedaan. Dalam teori labeling, stigma adalah label negatif yang dilekatkan pada individu, yang pada akhirnya membatasi kesempatan mereka untuk hidup normal. Bu F adalah korban dari labeling ini, dan kemerdekaan yang dirayakan oleh bangsa ini terasa sangat jauh dari jangkauannya.
Ironi Kemerdekaan yang Tak Terasa
Ketika kita melihat lebih dekat kehidupan para lansia di desa ini, kita tidak bisa tidak merasa prihatin. Ironi dari perayaan kemerdekaan yang megah adalah bahwa masih ada begitu banyak orang yang belum benar-benar merdeka dalam arti yang sesungguhnya. Bagi mereka yang tinggal di sela-sela dua gunung ini, Merapi dan Merbabu, kemerdekaan bukanlah tentang kebebasan dari penjajahan fisik, tetapi tentang kebebasan dari rasa sakit, ketakutan, kesepian, dan stigma.
Dalam perayaan kemerdekaan yang ke-79 ini, bangsa kita dihadapkan pada tantangan besar. Apakah kita benar-benar telah merdeka jika masih ada begitu banyak di antara kita yang hidup dalam keterbatasan yang ekstrem? Apakah kemerdekaan ini hanya milik mereka yang tinggal di kota-kota besar, ataukah seharusnya menjadi hak setiap warga negara, tanpa terkecuali?
Merenungkan Makna Kemerdekaan Sejati
Ketika suara-suara merdu lagu kebangsaan berkumandang di udara, dan bendera merah putih dikibarkan dengan bangga di Ibu Kota Nusantara dan Jakarta, mari kita merenung sejenak. Apakah kita telah benar-benar memenuhi janji kemerdekaan yang diucapkan pada 17 Agustus 1945? Apakah kita telah memastikan bahwa setiap warga negara, tanpa terkecuali, merasakan kebebasan yang sama?
Di sela-sela dua gunung yang menjulang tinggi, Merapi dan Merbabu, hidup mereka yang terpinggirkan, yang terjebak dalam derita yang tak pernah kita bayangkan. Kemerdekaan yang mereka impikan bukanlah tentang kebebasan dari penjajah asing, tetapi tentang kebebasan dari keterbatasan yang mengekang, dari rasa sakit yang terus menghantui, dan dari stigma yang menghancurkan martabat.
Seperti pepatah bijak yang sering kita dengar, “Kemerdekaan sejati adalah ketika kita semua bebas dari ketakutan, kelaparan, dan penderitaan.” Mari kita pastikan bahwa kemerdekaan ini tidak hanya menjadi milik segelintir orang, tetapi menjadi hak setiap warga negara, tanpa terkecuali. Karena di balik setiap pelita yang masih menyala, ada harapan yang harus kita jaga, ada kehidupan yang harus kita hargai.
Kemerdekaan bukanlah tujuan akhir, tetapi perjalanan yang harus terus kita perjuangkan. Dan selama masih ada yang tertinggal dalam kegelapan, tugas kita belum selesai. Mari kita bekerja bersama, untuk memastikan bahwa kemerdekaan ini benar-benar dirasakan oleh semua, termasuk mereka yang hidup di antara dua gunung, dalam keheningan yang menyesakkan, tetapi penuh dengan harapan yang tak pernah padam. Karena kemerdekaan yang sejati bukanlah tentang kemegahan perayaan, tetapi tentang kebebasan yang dirasakan dalam hati setiap manusia. (*)