Dayak News – Konflik antara perusahaan besar swasta (PBS) di bidang perkebunan sawit di Kalimantan Tengah, bukan cerita baru. Sejak pertama kali aktifitas pembukaan areal perkebunan di daerah ini, memang ada sederet kasus sudah terjadi konflik-konflik dengan masyarakat setempat.
Pada dasarnya asal muasal konflik yang umum terjadi oleh karena benturan kepentingan aksesibilitas atas lahan yang sudah diserahkan dari negara kepada PBS sebagai Hak Guna Usaha (HGU) untuk jangka waktu 25 tahun dan dapat diperpanjang sesudahnya. Sedangkan bagi masyarakat Kalteng, sebagian besar masih terikat pola hidupnya dengan lahan yang bertumpang-tindih dengan areal HGU dari PBS itu.
Apakah kebijakan perluasan investasi di sektor perkebunan sawit memang tidak dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat setempat? Hal inilah yang sebenarnya perlu untuk dikaji lebih dalam untuk memberikan bahan pertimbangan pada para pengampu kebijakan di daerah ini dalam mengelola dan menemukan solusi penghindaran konflik antara PBS dan masyarakat.
Pada satu sisi, investasi dan sumbangan pertumbuhan ekonomi dari sektor perkebunan sawit secara umum, di daerah ini sangat signifikan.
Menurut data dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalteng, dalam periode dua dekade terakhir (artinya antara tahun-tahun 2000-2020), di Bumi Tambun Bungai telah terjadi sebanyak 345 kali konflik antara masyarakat lokal dan perusahaan terkait pembangunan dan pengelolaan perkebunan kelapa sawit (dikutip dari tulisan Pantau Gambut, berjudul ‘Melihat Lingkaran Konflik Perkebunan Kelapa Sawit di Kalteng,” yang ditulis oleh ketuanya Dimas N. Hartono, tanggal 30 Desember 2020).
Dalam laporan itu WALHI Kalteng menyebutkan bahwa ada tiga karakter utama atas terjadinya konflik antara perusahaan dan masyarakat. Masing-masing, berupa konflik di awal pembangunan lahan atau areal HGU yang tidak mencapai kata sepakat antara kedua pihak. Kemudian, konflik yang terjadi ketika sudah dalam tahap lanjutan pengembangan kemitraan antara perusahaan dan masyarakat di sekitar areal HGU. Kemitraan ini menurut peraturan disebut pola inti-plasma. Karakter terakhir lebih bersifat internal tata kelola koperasi yang ditunjuk mengelola plasma yang tidak profesional sehingga anggota koperasi bermitra dengan perusahaan (sebagai avalis) tidak memperoleh keuntungan yang seharusnya.
Penelitian yang dirilis oleh WALHI Kalteng itu merupakan hasil pengamatan yang terjadi pada random 45 kasus konflik yang terjadi di empat daerah masing-masing Riau, Jambi, Kalbar dan Kalteng pada tahun 2019.
Jika mencermati laporan WALHI Kalteng ini, maka dua karakter yang terakhir di atas, terjadi dalam masa sudah kondusif areal HGU yang dimiliki PBS itu berlaku. Jadi sifat konflik itu jika dipahami berlangsung bukan dalam arti masyarakat di sekitar areal itu tidak suka atau menolak investasi perkebunan sawitnya. Konflik-konflik itu terjadi karena belum tercipta pemahaman bersama antara perusahaan dan masyarakat, terutama dalam cara bermitra yang baik dan sukses.
Melakukan mandat peraturan pemerintah atas kewajiban perusahaan perkebunan untuk menyerahkan minimal 20 persen dari areal HGU untuk plasma masyarakat, adalah harapan yang baik. Begitu pula, masyarakat harus dilatih dan dibina untuk mandiri mengelola hak mereka bermitra dengan perusahaan, melalui koperasi yang sehat dan fungsional sesuai peraturan.
Dalam suatu kunjungan diundang untuk menyaksikan jumpa mediasi antara perusahaan dan masyarakat, di kantor PT. Borneo Ketapang Indah (BKI) yang berkedudukan di Kabupaten Barito Timur, baru-baru ini, saya melihat satu contoh keterbukaan dan semangat mencari jalan damai atas konflik berkarakter dua dan tiga seperti yang dipaparkan WALHI di atas.
Memang betul, dari pengamatan yang saya lihat dalam proses mediasi antara pihak-pihak yang menuntut PBS pemilik HGU, yaitu PT. BKI dan koperasi kemitraan yang sudah ditunjuk, didapati belum ada pemahaman utuh dari masyarakat sekitar areal atas hakikat plasma tersebut. Masalah muncul karena, koperasi tersebut mengalami konflik internal sehingga ada anggota yang mendirikan koperasi baru yang juga menuntut bagi hasil plasma dengan perusahaan. Dari situlah konflik muncul.
Dalam penggalian, saya memperoleh informasi dari pimpinan manajemen BKI, bahwa pihaknya tak bisa mencampuri urusan internal koperasi mitranya. Urusan perusahaan hanya dengan badan hukum koperasi yang sudah ditunjuk dan ditetapkan oleh pemerintah daerah saja.
Begitu pula, dalam pengamatan mekanisme mediasi, didapati bahwa memang ada oknum-oknum tertentu yang menjadi anggota koperasi kemitraan tadinya, lalu keluar, yang tidak memahami mekanisme kemitraan itu. Mereka menggugat agar perusahaan bisa lebih transparan dalam penghitungan bagi hasil plasma. Sedangkan, hal itu bagi perusahaan hanya bisa diberikan kepada pihak koperasi yang sah dan sudah ditunjuk.
Pihak manajemen juga, menjelaskan bahwa komitmen untuk memplasmakan 20 persen dari areal perkebunan untuk masyarakat, harus diperhitungkan sesuai luasan kepemilikan dari lahan-lahan pemilik lahan yang tergabung dalam koperasi bermitra saja. Itupun dilaporkan pada pengurus koperasi untuk selanjutnya dijelaskan dalam mekanisme rapat umum anggota koperasi setiap awal tahun (RAT). Tidak bisa diberikan kepada sembarang pihak lain di luar koperasi ditunjuk.
Hal inilah, yang saya lihat, sebagai suatu sikap keterbukaan atau transparansi yang ditunjukkan oleh pihak BKI kepada semua pihak yang ikut menyaksikan proses mediasi tersebut. Sebab di situ hadir pula wakil-wakil dari pemerintah daerah dan juga Kedamangan Adat setempat. Artinya, BKI mencoba menepis tuduhan selama ini bahwa perusahaan tidak mau terbuka atau menolak berdialog, mencari solusi, atau main kekerasan terhadap aspirasi yang diajukan. Tidak selamanya begitu. Sikap BKI di Bartim ini merupakan satu contoh kasus bagaimana sebuah perusahaan itu dengan sabar dan santun mau berdialog dengan masyarakat di sekitar areal. Dengan sendirinya, hal ini diharapkan untuk menjadi tradisi yang baik untuk diterapkan di daerah-daerah lain pula.
Investasi yang menguntungkan semua pihak, dari sektor perkebunan kelapa sawit sangat diharapkan untuk terus dapat menumbuh-kembangkan sinergi antara investor dan masyarakat yang diuntungkan dengan pergerakan ekonomi akibat adanya investasi itu. Jangan hanya melulu meneropong segi yang negatif atas kehadiran investasi sawit itu saja. Cobalah melihat dari segi positifnya pula. Semoga semua pihak dapat memahaminya lebih baik lagi. (Cris-Wartawan Dayak News)