Oleh. dr. Friedrich M Rumintjap, SpOG (K), MARS, FISQua, FRSPH, FIHFAA
Pendahuluan
Setiap tahun, tanggal 17 September diperingati sebagai World Patient Safety Day (WPSD), sebuah inisiatif global yang dipelopori oleh World Health Organization (WHO) dengan tujuan meningkatkan kesadaran akan keselamatan pasien. Tahun 2024, tema yang diangkat adalah “Improving Diagnosis for Patient Safety”, dengan slogan “Get it right, make it safe!”. Fokus pada pentingnya diagnosis yang akurat dan tepat waktu menjadi pusat perhatian, mengingat diagnosis merupakan langkah kritis dalam jalur perawatan pasien. Dari perspektif Lembaga Akreditasi Fasilitas Kesehatan Indonesia (LAFKI), peningkatan kualitas diagnosis sangat berpengaruh pada keselamatan pasien dan merupakan salah satu indikator kunci dalam penilaian akreditasi fasilitas kesehatan.
Mengapa kesalahan dalam diagnosis sering terjadi dan bagaimana kita dapat memperbaikinya? Bagaimana integrasi konsep systems thinking serta penerapan teknologi dalam diagnosis dapat mencegah kesalahan? Melalui kajian ini, LAFKI memberikan analisis kritis tentang peran diagnosis dalam keselamatan pasien dan menyajikan solusi praktis untuk meningkatkan kualitas diagnosis di seluruh fasilitas kesehatan.
Diagnosis Sebagai Proses Kompleks: Pendekatan Sistemik dan Teoritis
Diagnosis merupakan proses yang tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan sistem layanan kesehatan. Menurut pendekatan systems thinking yang dipopulerkan oleh Senge (1990), diagnosis adalah bagian dari sistem yang lebih besar, di mana setiap tahapannya saling berkaitan dan mempengaruhi hasil akhir. Dalam hal ini, setiap komponen dalam rantai diagnosis, mulai dari pengambilan riwayat medis hingga penyampaian hasil kepada pasien, harus bekerja dengan harmonis. Kegagalan dalam satu komponen dapat memicu efek domino yang berujung pada kesalahan diagnosis.
Lebih lanjut, konsep Swiss Cheese Model yang diperkenalkan oleh Reason (2000) sangat relevan dalam analisis ini. Model ini mengasumsikan bahwa kesalahan terjadi karena serangkaian kegagalan pada berbagai lapisan pertahanan yang ada dalam sistem. Dalam diagnosis, lapisan-lapisan ini mencakup komunikasi antara dokter, perawat, laboratorium, dan pasien; ketersediaan peralatan diagnostik yang memadai; serta kapasitas tenaga medis dalam mengelola beban kerja. Ketika “lubang” dalam setiap lapisan ini sejajar, maka kesalahan dapat terjadi dan berdampak pada keselamatan pasien. Oleh karena itu, memperkuat setiap lapisan ini menjadi penting dalam mengurangi kesalahan diagnosis.
Dari perspektif psikologi klinis, Croskerry (2009) menyatakan bahwa faktor kognitif seperti cognitive bias sangat memengaruhi akurasi diagnosis. Bias kognitif, seperti anchoring bias—di mana dokter terlalu cepat menarik kesimpulan berdasarkan informasi awal—atau confirmation bias—di mana dokter hanya mencari bukti yang mendukung diagnosis awalnya—sering kali berperan dalam kesalahan klinis. LAFKI menekankan bahwa pendekatan kognitif harus menjadi bagian integral dalam pelatihan berkelanjutan tenaga medis untuk mengenali dan mengurangi pengaruh bias dalam pengambilan keputusan.
Kesalahan Diagnosis: Akar Permasalahan dan Dampaknya
Kesalahan diagnosis menjadi salah satu masalah serius dalam keselamatan pasien. WHO (2024) mencatat bahwa 16% dari keseluruhan insiden yang dapat dicegah di fasilitas kesehatan disebabkan oleh kesalahan diagnosis. Dalam konteks ini, kesalahan diagnosis dapat terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari keterlambatan diagnosis, kesalahan interpretasi hasil, hingga kurangnya komunikasi yang efektif antara tenaga medis dan pasien.
Salah satu akar permasalahan yang sering diidentifikasi adalah komunikasi yang buruk dalam sistem layanan kesehatan. Menurut teori Human Factors Engineering (HFE) yang dikemukakan oleh Carayon (2006), sistem kerja di fasilitas kesehatan sering kali dirancang tanpa mempertimbangkan bagaimana interaksi manusia dengan alat dan lingkungan kerjanya. Misalnya, alur komunikasi yang rumit atau ketergantungan pada sistem informasi yang tidak intuitif dapat menghambat proses diagnosis. Untuk mengatasi hal ini, LAFKI mendorong adanya desain ulang sistem layanan kesehatan yang lebih berpusat pada pengguna (user-centered design), di mana setiap elemen dalam proses diagnosis dirancang untuk mendukung kebutuhan tenaga medis dan pasien.
Kesalahan diagnosis tidak hanya berdampak pada perawatan pasien secara langsung, tetapi juga menambah beban biaya kesehatan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Singh et al. (2017), kesalahan diagnosis meningkatkan biaya pengobatan hingga 30%, karena pasien sering kali harus menjalani serangkaian tes tambahan atau dirawat lebih lama akibat keterlambatan dalam pengobatan yang tepat. Bagi LAFKI, mengurangi kesalahan diagnosis bukan hanya masalah keselamatan pasien, tetapi juga penting dalam upaya meningkatkan efisiensi dan mutu layanan kesehatan secara keseluruhan.
Integrasi Teknologi dalam Diagnosis: Solusi Masa Depan
Seiring dengan perkembangan teknologi, integrasi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence – AI) dan machine learning dalam proses diagnosis menjadi solusi yang semakin penting. Teknologi ini dapat membantu tenaga medis dalam mengolah data medis yang kompleks, memberikan analisis berbasis bukti, dan mengurangi pengaruh bias kognitif. Menurut Chen et al. (2020), penggunaan AI dalam diagnosis telah terbukti meningkatkan akurasi hingga 25% dalam beberapa penelitian klinis.
Namun, LAFKI menekankan bahwa penerapan teknologi ini harus dilakukan dengan bijaksana. Teknologi tidak dapat sepenuhnya menggantikan peran dokter dalam memberikan diagnosis. Sebaliknya, teknologi harus berperan sebagai alat pendukung yang membantu dokter dalam mengambil keputusan. Dalam hal ini, konsep human-centered AI sangat penting, di mana teknologi dirancang untuk memperkuat peran manusia dalam sistem diagnosis, bukan untuk menggantikannya.
Selain itu, LAFKI juga mendorong pengembangan Clinical Decision Support Systems (CDSS) yang dapat memberikan rekomendasi berdasarkan data terkini dan bukti klinis. Sistem ini dapat menjadi alat penting dalam mengurangi kesalahan diagnosis, terutama di fasilitas kesehatan yang terbatas sumber dayanya. Dalam hal ini, penguatan infrastruktur teknologi kesehatan di seluruh Indonesia menjadi prioritas yang perlu diperhatikan.
Pendekatan Kolaboratif dalam Proses Diagnosis
Diagnosis yang tepat dan akurat membutuhkan kolaborasi dari berbagai pihak. Menurut pendekatan Collaborative Care Model yang diusulkan oleh Unützer et al. (2013), proses diagnosis harus melibatkan kerja sama yang erat antara pasien, keluarga, dokter, perawat, dan tenaga kesehatan lainnya. Komunikasi yang efektif di antara para pemangku kepentingan ini menjadi kunci dalam memastikan bahwa setiap informasi yang relevan diambil dalam keputusan diagnosis.
Dari sudut pandang LAFKI, kolaborasi ini dapat ditingkatkan melalui penerapan Shared Decision Making (SDM), di mana pasien dan keluarganya dilibatkan secara aktif dalam pengambilan keputusan medis. SDM memberikan ruang bagi pasien untuk menyampaikan kekhawatirannya, memahami kondisi medisnya secara lebih baik, dan berperan aktif dalam proses pengobatan. Hal ini terbukti tidak hanya meningkatkan kepuasan pasien, tetapi juga mengurangi kemungkinan kesalahan diagnosis yang disebabkan oleh kurangnya informasi atau misinterpretasi dari pihak pasien.
Kesimpulan
Melalui peringatan World Patient Safety Day 2024, tema “Meningkatkan Diagnosis untuk Keselamatan Pasien” menjadi seruan global untuk meningkatkan kualitas diagnosis dalam layanan kesehatan. Dari perspektif LAFKI, diagnosis yang akurat dan tepat waktu merupakan fondasi utama dalam menciptakan sistem kesehatan yang aman dan bermutu. Analisis kritis yang telah diuraikan menunjukkan bahwa kesalahan dalam diagnosis sering kali bersumber dari masalah sistemik yang memerlukan pendekatan holistik untuk penyelesaiannya.
Dengan mengadopsi teori systems thinking, Swiss Cheese Model, serta memanfaatkan teknologi modern seperti AI dan CDSS, kita dapat meminimalkan risiko kesalahan diagnosis dan meningkatkan keselamatan pasien. Kolaborasi yang lebih baik antara tenaga medis, pasien, dan keluarga, juga menjadi bagian penting dalam menciptakan sistem diagnosis yang lebih akurat dan berpusat pada pasien.
Sebagai lembaga akreditasi, LAFKI akan terus mendorong fasilitas kesehatan di Indonesia untuk mengimplementasikan model-model keselamatan pasien yang berbasis bukti, serta memanfaatkan teknologi sebagai bagian dari solusi strategis dalam meningkatkan diagnosis. Keselamatan pasien adalah prioritas utama, dan diagnosis yang tepat adalah langkah pertama menuju perawatan yang lebih baik dan lebih aman bagi semua. (*)