Oleh : Christian Sidenden Redaktur Senior Dayak News
Dayak News – Proses mendunia persepakbolaan nasional Indonesia, akan diuji lagi malam nanti, Rabu (10/9) pukul 19.00 WIB. Tim nasional Garuda Senior akan menghadapi tamu tim nasional Australia, dalam Kualifikasi Putaran 3 Zona Asia pra Piala Dunia 2026. Pertandingan ini sangat krusial bagi asa Indonesia untuk bisa berlaga di putaran Final Piala Dunia untuk pertama kalinya.
Pada laga pertama Indonesia sudah menahan imbang Saudi Arabia, 1-1, di Jeddah, minggu lalu. Hasil yang sangat memuaskan karena Saudi itu sangat diunggulkan sebagai langganan tim Asia ke Piala Dunia.
Nampaknya, kebijakan naturalisasi sekian pemain nasional dalam tubuh timnas Indonesia dianggap sebagai langkah tepat. Terjadi perbaikan mendasar dalam skill dan teknik bermain dari pemain-pemain kita sejak setahun terakhir. Hal itu membuktikan satu hal, bahwa pembinaan talenta pesepakbola asal Eropa itu jauh di atas kita Indonesia. Pemain-pemain naturalisasi seperti Jay Idzes, Justine Hubner, dan Nathan Tjo-A-Oen memperlihatkan kualitas permainan kelas Eropa. Begitu pula sentuhan sepakbola modern dari sang manajer pelatih Shin Tae-yong terbukti mujarab dalam membentuk gaya permainan bola mengalir dan cantik dari Indonesia.
Dari berbagai komentar host siaran langsung ketika timnas Indonesia bermain, dalam bahasa Inggris, mengatakan bahwa telah terjadi perubahan besar dari gaya bermain sepakbola Indonesia. Bahkan sudah disebut sebagai timnas Eropa yang bermain di atas rumput Asia. Hal itu memang jelas dan tak bisa dipungkiri. Indonesia sudah bukan lagi kelas Asia Tenggara melainkan sudah setaraf dengan timnas-timnas Saudi (56), Korea Selatan (23) dan Australia (24) yang memiliki rating di bawah peringkat 60 dunia. Sedangkan Indonesia masih sementara di peringkat 133 dunia.
Lalu apakah sasaran prestasi persepakbolaan nasional kita hanya untuk turnamen Piala Dunia 2026 ini saja? Kita melalui Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI), harusnya tidak boleh mengabaikan pembinaan bakat pesepakbola nasional dari dalam negeri. Untuk sasaran jangka pendek kebijakan menerima pemain naturalisasi memang boleh-boleh saja. Meskipun secara menengah dan panjang, sasaran itu harus berkelanjutan. Hal yang harus didukung oleh rutinitas perguliran Liga-liga Domestik mulai dari Liga 3, Liga 2 dan Liga 1. Karena dari situlah stok pemain-pemain nasional harus diambil. Naturalisasi pemain-pemain dari negara luar itu prinsipnya hanya penambah sedangkan yang prioritas itu adalah dari sumberdaya lokal kita.
Pembinaan sepakbola yunior begitu pula, harus dimulai sejak usia dini (7-8 tahun). Sebab sejak usia seperti itu, setiap anak-anak kita harus sudah mengenal teknik penguasaan bola dan menendang dengan benar. Berlanjut pada usia remaja (9-12) mulai diberikan muatan teknik rotasi menyerang dan bertahan. Hingga pada usia-usia matang (13-17) para pemain itu sudah bisa dipasok ke dalam klub-klub profesional.
Sudah tidak zamannya lagi kita membina sepakbola nasional dari rekrutan yang tidak berjenjang. Sebab di Eropa dan Amerika, sekolah-sekolah sepakbola itu ditujukan untuk pembinaan berjenjang. Tidak mungkin menemukan pemain bola dari pinggir jalan secara ajaib.
Tentunya, akhirnya memang dibutuhkan anggaran pembinaan yang tidak kecil. Setiap daerah di Indonesia harus memiliki sekolah-sekolah sepakbola yang khusus. PSSI di setiap level harus memiliki kerangka kerja untuk menyumbangkan sumberdaya pemain secara kontinu. Hanya dengan jalan seperti itu maka persepakbolaan nasional kita akan berkesinambungan dari satu era ke era berikut. Jayalah Sepakbola Indonesia. (*)