Membangun Kembali Integritas dan Budaya Inklusif dalam Pendidikan Kedokteran: Sebuah Renungan dan Harapan

oleh -
oleh
Membangun Kembali Integritas dan Budaya Inklusif dalam Pendidikan Kedokteran: Sebuah Renungan dan Harapan 1
DR. H. Ahyar Wahyudi, S.Kep. Ns., M.Kep., CISHR, FISQua, FRSPH, FIHFAA.

Oleh: DR. H. Ahyar Wahyudi, S.Kep. Ns., M.Kep., CISHR, FISQua, FRSPH, FIHFAA (Reviewer Jurnal PRAJA Observer: Jurnal Penelitian Administrasi Publik)

Tragedi yang terjadi di Program Studi Anestesi Universitas Diponegoro di RSUP Dr. Kariadi, yang berujung pada penghentian sementara program tersebut, merupakan sebuah pukulan telak bagi kita semua. Ini bukan sekadar berita, melainkan cerminan dari luka yang dalam, tersembunyi di balik dinding-dinding rumah sakit dan ruang-ruang kuliah. Ketika seorang peserta didik memilih untuk mengakhiri hidupnya karena tak sanggup lagi menahan beban yang tak terlihat, kita harus berhenti, merendahkan kepala, dan bertanya: di manakah kita salah langkah? Bagaimana kita bisa mencegah tragedi ini terulang di masa depan? Pertanyaan-pertanyaan ini membawa kita pada sebuah refleksi mendalam tentang peran administrasi dalam menjaga nilai-nilai kemanusiaan dalam pendidikan kedokteran.

Penghentian sementara Program Studi Anestesi di RSUP Dr. Kariadi adalah bukti nyata dari kegagalan sistemik dalam pengawasan dan manajemen. Seperti yang diungkapkan oleh Fuller (2022), perundungan dalam dunia medis sering kali tersembunyi di balik topeng hierarki dan budaya yang keras. Senioritas, yang seharusnya menjadi teladan dan pembimbing, sering kali berubah menjadi alat penindasan, menciptakan siklus kekerasan yang terus berulang dari satu generasi ke generasi berikutnya. Perundungan bukanlah masalah individu semata, melainkan gambaran dari sebuah budaya organisasi yang disfungsional, di mana kekuasaan digunakan untuk menekan dan merendahkan.

Dalam perspektif ilmu administrasi, kegagalan ini dapat dilihat melalui lensa teori pengawasan dan kepemimpinan. Robbins dan Coulter (2018) menekankan bahwa administrasi bukan hanya tentang mengatur dan memantau, tetapi juga tentang memastikan bahwa nilai-nilai kemanusiaan tetap hidup dan diimplementasikan di setiap sudut organisasi. Ketika pengawasan ini tidak berjalan dengan baik, atau bahkan absen sama sekali, maka muncullah ruang bagi perilaku destruktif seperti perundungan untuk tumbuh subur. Pengawasan yang efektif harus mencakup dimensi etika dan kemanusiaan, yang menempatkan kesejahteraan setiap individu sebagai prioritas utama. Namun, dalam kasus ini, jelas bahwa pengawasan yang ada gagal mendeteksi atau menangani masalah perundungan secara tepat waktu.

BACA JUGA :  Sinoatrial Node : Pengawas Jantung dalam Perspektif Metafisika dan Teknologi CCTV dari Waktu Berukuran Makro, Mikro, Nano, Yocto hingga God Partikel

Budaya organisasi yang disfungsional juga menjadi akar masalah dari tragedi ini. Schein (2010) mengajarkan bahwa budaya organisasi adalah cerminan dari nilai-nilai, keyakinan, dan norma yang dipegang oleh seluruh anggotanya. Ketika budaya tersebut lebih mengedepankan kekuasaan dan prestasi daripada kerjasama dan dukungan, maka terciptalah lingkungan di mana individu merasa terisolasi, tidak didengar, dan tidak didukung. Dalam atmosfer semacam ini, perundungan tumbuh subur, mengikis rasa harga diri dan martabat individu, hingga akhirnya memuncak pada keputusan tragis yang menghancurkan masa depan seseorang.

Langkah pertama yang harus diambil dalam jangka pendek adalah memastikan bahwa setiap peserta didik dan staf pengajar memiliki akses ke dukungan yang memadai. Pembentukan unit krisis yang terdiri dari psikolog, konselor, dan profesional hukum harus menjadi prioritas. Unit ini harus berfungsi sebagai tempat yang aman bagi mereka yang mengalami perundungan untuk melaporkan dan mendapatkan bantuan. Keberadaan unit ini harus disosialisasikan secara luas, memastikan bahwa setiap orang tahu bahwa mereka tidak sendiri, dan bahwa ada tempat yang siap membantu mereka dalam menghadapi masalah ini.

Selain itu, pelatihan wajib tentang perundungan harus segera dilaksanakan bagi seluruh staf pengajar dan peserta didik. Edukasi adalah kunci dalam menciptakan kesadaran akan dampak buruk perundungan, serta pentingnya mencegah dan menangani masalah ini sejak dini. Dengan membekali semua pihak dengan pengetahuan yang diperlukan, kita berharap mereka akan lebih proaktif dalam mencegah dan menangani perundungan, menciptakan lingkungan yang lebih aman dan mendukung.

Teknologi juga bisa menjadi sekutu yang kuat dalam upaya ini. Survei anonim yang dilakukan secara berkala dapat memberikan gambaran tentang kondisi mental dan sosial peserta didik, memungkinkan kita untuk mendeteksi masalah sejak awal dan mengambil tindakan preventif. Transparansi dan akuntabilitas adalah dua pilar penting yang harus ditegakkan dengan bantuan teknologi, agar setiap masalah dapat diidentifikasi dan diselesaikan sebelum berkembang menjadi lebih besar.

BACA JUGA :  Dampak Kabut Asap Bagi Masyarakat

Namun, perubahan sejati membutuhkan waktu dan komitmen yang mendalam. Dalam jangka panjang, transformasi budaya organisasi dan peningkatan kapasitas kepemimpinan harus menjadi fokus utama. Transformasi budaya organisasi tidak dapat terjadi dalam semalam. Ini membutuhkan komitmen dari kepemimpinan tertinggi untuk menginternalisasi dan menyebarkan nilai-nilai inklusivitas dan rasa saling menghormati di seluruh institusi. Program transformasi budaya harus dirancang dan dilaksanakan dengan hati-hati, memastikan bahwa setiap anggota organisasi, dari yang paling senior hingga yang paling junior, memahami dan menghidupi nilai-nilai ini dalam setiap tindakan dan keputusan mereka.

Kepemimpinan yang responsif dan empatik adalah kunci untuk menciptakan lingkungan yang bebas dari perundungan. Pelatihan kepemimpinan yang menekankan pada pengembangan keterampilan interpersonal, resolusi konflik, dan dukungan terhadap kesejahteraan mental peserta didik harus menjadi bagian integral dari pengembangan profesional staf pengajar. Kepemimpinan yang baik bukan hanya tentang kemampuan untuk memimpin, tetapi juga tentang kemampuan untuk mendengarkan, memahami, dan bertindak dengan empati. Dengan membangun kapasitas kepemimpinan semacam ini, kita dapat menciptakan lingkungan yang mendukung dan inklusif bagi semua peserta didik.

Sistem pengawasan yang ada juga perlu diperbarui untuk mencakup mekanisme akuntabilitas yang lebih ketat. Komite independen yang bertugas untuk mengevaluasi dan menyelidiki setiap laporan perundungan harus dibentuk, memastikan bahwa setiap tindakan yang diambil berdasarkan laporan tersebut adalah adil dan transparan. Akuntabilitas adalah kunci dalam mencegah perundungan, karena tanpa itu, pelaku perundungan akan merasa bebas untuk melanjutkan perilaku mereka tanpa takut akan konsekuensi.

Selain itu, kerjasama dengan lembaga eksternal yang fokus pada isu-isu kesehatan mental dan perlindungan anak juga bisa menjadi solusi jangka panjang yang efektif. Lembaga-lembaga ini dapat menyediakan sumber daya tambahan, seperti pelatihan, konseling, dan dukungan psikologis bagi peserta didik yang membutuhkannya. Di sini, LAFKI dapat menjadi salah satu alternatif kemitraan yang sangat strategis. Dengan pengalaman dan kompetensinya dalam mengakreditasi fasilitas kesehatan, LAFKI dapat membantu institusi pendidikan kedokteran untuk memenuhi standar tertinggi dalam hal keselamatan, kesejahteraan, dan inklusivitas.

BACA JUGA :  Opini Anak Muda Soal Pilkada Serentak Tahun 2024

Krisis ini mengingatkan kita bahwa pendidikan kedokteran bukan hanya tentang ilmu dan keterampilan, tetapi juga tentang manusia dan kemanusiaan. Seperti sebuah pohon besar yang akarnya menancap dalam di bumi, begitu pula fondasi integritas dan budaya inklusif harus ditanamkan dalam setiap aspek pendidikan kedokteran. Jika akar ini kuat, maka pohon akan tumbuh dengan kokoh, memberikan naungan dan kehidupan bagi banyak orang. Sebaliknya, jika akarnya rapuh, maka pohon itu akan tumbang di tengah badai. Maka, marilah kita menjaga akar-akar ini dengan penuh cinta dan kepedulian, agar generasi berikutnya bisa tumbuh dan berkembang di bawah naungan yang aman dan mendukung. Dan seperti pepatah mengatakan, “Badai pasti berlalu, tetapi pohon yang kuat akan tetap berdiri tegak, menjulang tinggi ke langit, memberikan perlindungan dan kehidupan bagi semua yang berada di bawahnya.” (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.