Oleh: DR. H. Ahyar Wahyudi, S.Kep. Ns., M.Kep., CISHR, FISQua, FRSPH, FIHFAA (Reviewer Jurnal PRAJA Observer: Jurnal Penelitian Administrasi Publik)
Di setiap lembar sejarah kepemimpinan, terdapat sosok-sosok agung yang mampu menerangi zaman dengan keteladanan mereka. Mereka adalah pemimpin yang tidak sekadar memegang tampuk kekuasaan, tetapi mampu memimpin dengan hati, menyinari jalan hidup rakyatnya dengan sifat-sifat luhur. Hari ini, di tengah hiruk-pikuk Pilkada yang melibatkan jutaan pemilih, kita kembali merenungi esensi dari seorang pemimpin. Adakah sosok yang masih meneladani nilai-nilai besar seperti siddiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan), dan fathanah (cerdas), sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan Umar bin Khattab RA?
Pemilihan pemimpin bukan sekadar serangkaian acara politik, ia adalah penentuan arah masa depan sebuah bangsa, daerah, bahkan individu. Namun, kerap kali kita terjebak dalam gemerlap janji-janji politik dan pesona sementara yang mengaburkan nilai-nilai fundamental kepemimpinan yang seharusnya menjadi pondasi dari setiap sosok yang berani berdiri di hadapan rakyat untuk dipilih. Pemimpin sejati bukanlah mereka yang paling lantang bersuara, melainkan mereka yang memiliki sifat-sifat yang tak tergoyahkan oleh godaan duniawi.
Siddiq: Kejujuran yang Tak Tergoyahkan
Siddiq, kejujuran yang mendasari seluruh tindakan seorang pemimpin. Nabi Muhammad SAW dikenal sebagai Al-Amin, artinya yang dapat dipercaya. Sejak masa mudanya, beliau telah dijuluki demikian karena ketulusannya dalam berkata dan bertindak. Tidak ada tipu muslihat, tidak ada kepura-puraan dalam diri Rasulullah. Kejujuran adalah landasan utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, karena tanpa kejujuran, seluruh fondasi kepemimpinan akan runtuh. Kita membutuhkan pemimpin yang siap berdiri di atas kejujuran, yang tidak akan menyembunyikan kebenaran dari rakyatnya, meskipun itu menyakitkan.
Sebagaimana Umar bin Khattab, yang dikenal dengan kejujurannya yang tanpa kompromi. Umar tak segan untuk mengakui kesalahan dan memperbaikinya di hadapan rakyatnya. Sebuah kisah yang sering dikisahkan adalah saat Umar menjadi khalifah, ia berjalan di malam hari untuk memeriksa keadaan rakyatnya. Ketika ia menemukan seorang ibu yang merebus batu karena tak mampu memberi makan anak-anaknya, Umar tidak hanya mendengarkan keluhan ibu tersebut, tetapi langsung mengambil gandum dari baitulmal dan memanggulnya sendiri untuk diberikan kepada sang ibu. Umar menunjukkan bahwa seorang pemimpin sejati tidak boleh duduk nyaman di atas takhta tanpa memahami derita rakyatnya.
Namun, di manakah kejujuran itu kini? Apakah para calon pemimpin yang berlomba-lomba meraih kursi kekuasaan masih mengedepankan kejujuran sebagai prinsip utama? Atau justru mereka tergoda oleh kilau kekuasaan yang membuat janji-janji mereka sekadar angin lalu?
Amanah: Tanggung Jawab yang Berat dan Mulia
Selain siddiq, seorang pemimpin harus memiliki amanah, sifat dapat dipercaya. Amanah berarti kepercayaan yang diberikan oleh Allah kepada seorang pemimpin untuk menuntun rakyatnya ke jalan yang benar. Nabi Muhammad SAW memegang amanah ini dengan sangat kuat. Beliau tidak pernah menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk kepentingan pribadinya. Setiap kebijakan, setiap keputusan yang diambil, selalu dilandasi oleh keinginan untuk menyelamatkan umatnya, untuk memastikan bahwa umatnya dapat menjalani kehidupan dengan baik, di dunia maupun di akhirat.
Demikian pula, Umar bin Khattab, seorang pemimpin yang sangat memahami arti amanah. Beliau tidak pernah merasa bahwa jabatan sebagai khalifah adalah hak istimewa yang bisa digunakan untuk keuntungan pribadi. Umar menganggap jabatan tersebut sebagai tanggung jawab yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah dan rakyatnya. Dalam setiap tindakan, Umar menunjukkan bahwa ia adalah seorang pemimpin yang siap mengorbankan kepentingan pribadinya demi kebaikan rakyatnya. Ketika ada konflik kepentingan antara rakyatnya dan dirinya sendiri, Umar selalu mendahulukan rakyat.
Amanah bukanlah beban yang ringan. Ia adalah tanggung jawab yang besar, yang menuntut keteguhan hati dan kesediaan untuk mengorbankan kepentingan pribadi demi kepentingan umum. Apakah kita masih melihat sosok pemimpin dengan amanah sebesar itu di tengah gemuruh Pilkada? Atau apakah amanah telah tergantikan oleh kepentingan politik jangka pendek dan ambisi pribadi?
Tabligh: Menyampaikan Kebenaran dengan Keberanian
Tabligh adalah kemampuan untuk menyampaikan kebenaran, untuk berbicara dengan jujur dan terbuka kepada rakyat. Seorang pemimpin yang memiliki sifat tabligh adalah mereka yang tidak akan menyembunyikan sesuatu dari rakyatnya, yang akan berbicara dengan tegas dan jelas, menyampaikan kabar baik maupun buruk, tanpa ada rasa takut atau keraguan. Nabi Muhammad SAW, dalam tugasnya sebagai Rasul, selalu menyampaikan wahyu Allah dengan sepenuh hati. Tidak ada yang disembunyikan, tidak ada yang ditunda-tunda. Setiap wahyu yang diterima, langsung disampaikan kepada umatnya, meskipun terkadang wahyu tersebut membawa kabar yang berat atau sulit diterima oleh masyarakat.
Dalam konteks kepemimpinan, tabligh adalah sikap terbuka dan transparan yang sangat dibutuhkan. Rakyat berhak mengetahui apa yang sedang terjadi, apa yang direncanakan oleh pemimpinnya, dan bagaimana mereka akan menghadapi tantangan-tantangan yang ada. Umar bin Khattab RA juga dikenal dengan kejujurannya dalam menyampaikan kebenaran kepada rakyatnya. Ia tidak pernah menutupi masalah atau berpura-pura bahwa segala sesuatu baik-baik saja ketika sebenarnya ada krisis yang perlu dihadapi. Umar selalu berbicara dengan rakyatnya secara terbuka, memberikan mereka pemahaman yang jelas tentang situasi yang mereka hadapi, serta langkah-langkah yang akan diambil untuk mengatasinya.
Dalam Pilkada ini, kita harus mencari pemimpin yang memiliki keberanian untuk menyampaikan kebenaran, yang tidak akan menyembunyikan sesuatu dari rakyatnya, yang akan terbuka dalam setiap kebijakan yang diambil. Apakah kita masih melihat sosok seperti itu di antara para calon pemimpin saat ini? Atau justru kita sering kali disuguhi janji-janji yang terdengar manis namun jauh dari kenyataan?
Fathanah: Kecerdasan yang Dilandasi Kebijaksanaan
Dan yang terakhir, fathanah. Sifat ini mengacu pada kecerdasan seorang pemimpin, bukan hanya kecerdasan intelektual, tetapi juga kecerdasan emosional dan spiritual. Fathanah bukanlah sekadar kemampuan untuk berpikir cepat atau menyusun strategi politik yang cerdas, tetapi juga kemampuan untuk memahami rakyat, untuk merasakan apa yang mereka butuhkan, dan untuk merespon dengan bijak terhadap setiap masalah yang dihadapi.
Nabi Muhammad SAW adalah contoh sempurna dari seorang pemimpin yang memiliki kecerdasan holistik. Beliau tidak hanya cerdas dalam hal strategi dan kepemimpinan, tetapi juga memiliki pemahaman mendalam tentang hati manusia. Rasulullah dapat merasakan kebutuhan umatnya, memahami penderitaan mereka, dan menawarkan solusi yang tepat dengan penuh kasih sayang. Umar bin Khattab juga menunjukkan kecerdasan ini dalam setiap kebijakannya. Ketika memimpin, Umar tidak hanya berfokus pada masalah-masalah besar, tetapi juga memperhatikan detail kecil yang mempengaruhi kehidupan rakyatnya sehari-hari.
Fathanah adalah kemampuan untuk melihat jauh ke depan, untuk merencanakan masa depan yang lebih baik bagi rakyat. Di sinilah kecerdasan seorang pemimpin diuji: apakah mereka mampu berpikir jauh ke depan? Apakah mereka memiliki visi yang jelas tentang masa depan daerah yang mereka pimpin? Atau apakah mereka hanya terjebak dalam taktik politik jangka pendek yang hanya menguntungkan mereka secara pribadi?
Masih Adakah Sosok Pemimpin Siddiq, Amanah, Tabligh, Fathanah di Era Kini?
Setiap kali kita mendengar janji-janji kampanye, setiap kali kita melihat wajah-wajah calon pemimpin terpampang di spanduk-spanduk, kita harus bertanya kepada diri sendiri: Apakah pemimpin ini memiliki sifat-sifat yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan Umar bin Khattab? Apakah mereka jujur dalam kata-kata mereka? Apakah mereka dapat dipercaya untuk memegang amanah? Apakah mereka berani menyampaikan kebenaran, dan apakah mereka memiliki kecerdasan yang bijaksana dalam memimpin?
Pilkada bukanlah sekadar ajang politik. Ia adalah kesempatan besar bagi kita untuk memilih pemimpin yang akan menentukan nasib kita dan generasi mendatang. Oleh karena itu, mari kita mencari sosok pemimpin yang benar-benar mencerminkan nilai-nilai luhur yang telah ditanamkan oleh para pemimpin besar dalam sejarah kita. Sebagaimana Umar bin Khattab, yang memimpin dengan hati, dengan kejujuran, tanggung jawab, keberanian, dan kecerdasan. Di manakah sosok seperti itu di antara kita hari ini? Adakah pemimpin yang mampu berdiri tegak di atas fondasi nilai-nilai luhur seperti yang dicontohkan oleh para pemimpin besar dalam sejarah, atau apakah mereka telah tergilas oleh gelombang kepentingan politik dan kekuasaan sementara?
Di zaman ini, kita dihadapkan pada tantangan besar. Kehidupan politik sering kali dibumbui dengan intrik, manipulasi, dan janji-janji manis yang hanya menjadi alibi untuk meraih simpati rakyat. Pemimpin yang sejati tidak diukur dari seberapa banyak janji yang mereka buat, tetapi dari seberapa kuat mereka memegang teguh prinsip dan amanah yang mereka emban. Sejarah telah mengajarkan kita bahwa pemimpin yang besar bukanlah mereka yang hanya pandai berbicara, tetapi mereka yang jujur, dapat dipercaya, berani menyampaikan kebenaran, dan cerdas dalam memecahkan masalah.
Refleksi di Tengah Riuhnya Pilkada
Pilkada ini seharusnya menjadi momen bagi kita semua untuk merenungkan dengan mendalam siapa sosok pemimpin yang akan kita pilih. Setiap suara yang kita berikan adalah amanah, amanah dari rakyat untuk memberikan kekuasaan kepada sosok yang benar-benar layak memegangnya. Pilihan kita bukan sekadar tentang siapa yang populer, tetapi tentang siapa yang akan mampu mengemban tugas berat ini dengan penuh kejujuran, tanggung jawab, keterbukaan, dan kebijaksanaan.
Di tengah pesta demokrasi yang berlangsung, sangat mudah bagi kita untuk terjebak dalam euforia, terpikat oleh janji-janji yang tampaknya memikat. Namun, kita harus kembali mengingat sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dan Umar bin Khattab RA. Pemimpin yang siddiq, amanah, tabligh, dan fathanah tidak akan mudah goyah oleh godaan kekuasaan, karena mereka memahami bahwa jabatan bukanlah hak istimewa, melainkan sebuah tanggung jawab besar yang akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah dan rakyat.
Menyongsong Masa Depan dengan Harapan
Setiap generasi memiliki tantangannya sendiri, begitu pula dengan pemimpin-pemimpin yang lahir dari Pilkada ini. Mereka dihadapkan pada situasi yang tidak mudah—pandemi yang belum sepenuhnya berakhir, masalah ekonomi, dan kebutuhan masyarakat yang terus berkembang. Di sinilah diperlukan kepemimpinan yang tidak hanya tangguh, tetapi juga bijaksana, yang mampu memimpin dengan integritas dan cinta kepada rakyatnya, bukan dengan ambisi pribadi.
Kita membutuhkan sosok yang tidak hanya memikirkan keberhasilan jangka pendek, tetapi juga masa depan yang lebih baik bagi semua. Kita membutuhkan pemimpin yang berani membuat keputusan yang tidak selalu populer, namun diperlukan demi kebaikan bersama. Dan yang paling penting, kita membutuhkan pemimpin yang benar-benar mencintai rakyatnya, yang siap berkorban demi kesejahteraan mereka, sebagaimana Umar bin Khattab yang tidak pernah meninggalkan rakyatnya tanpa perhatian dan tindakan nyata.
Pilkada: Sebuah Harapan, Bukan Sekadar Acara Politik
Pada akhirnya, Pilkada bukan hanya tentang memilih pemimpin untuk lima tahun ke depan, tetapi tentang memilih harapan. Harapan bahwa kita masih bisa memiliki pemimpin yang jujur, dapat dipercaya, berani menyampaikan kebenaran, dan cerdas dalam menjalankan tugasnya. Harapan bahwa kita masih bisa memiliki pemimpin yang memikirkan kesejahteraan rakyatnya, bukan hanya kesejahteraannya sendiri.
Maka dari itu, sebagai masyarakat yang berhak memilih, mari kita gunakan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya. Mari kita renungkan dengan hati yang tenang dan pikiran yang jernih, apakah calon pemimpin yang kita pilih benar-benar memiliki sifat-sifat siddiq, amanah, tabligh, dan fathanah yang telah diwariskan oleh para pemimpin besar terdahulu? Apakah mereka siap mengorbankan kenyamanan pribadi demi kebaikan rakyat? Apakah mereka siap memimpin dengan kejujuran, tanggung jawab, keberanian, dan kebijaksanaan?
Di tengah gemerlap politik Pilkada, mari kita tetap berpijak pada nilai-nilai fundamental ini. Karena pada akhirnya, bukanlah janji-janji besar yang akan membuat seorang pemimpin menjadi besar, melainkan tindakan nyata yang dilandasi oleh kejujuran, tanggung jawab, keberanian, dan kecerdasan dalam memimpin. (*)