Oleh : Christian Sidenden (Redaktur Senior Dayak News)
Dayak News – Kelahiran Baginda Yesus “tidak mungkin” terjadi di bulan Desember (Julian) karena catatan Alkitab berkata, para gembala sedang ada di padang Efrata. Sangat riskan berdingin-dingin membawa kawanan ternak di tengah cuaca yang sangat tidak baik untuk kesehatan begitu.
(Lukas 2:8)
Dan di daerah itu ada gembala-gembala yang tinggal di padang menjaga kawanan ternak mereka pada waktu malam.
Begitu pula himbauan Rasul Paulus, pada Timotius, supaya jangan bepergian pada musim dingin.
(2 Timotius 4:9,21)
Berusahalah untuk segera datang kepadaku… Berusahalah untuk datang sebelum musim dingin.
Itulah bacaan yang tertulis oleh tangan para penulis Rasul-rasul Lukas dan Paulus sendiri. Semua orang yang tahu musim dan cuaca di bulan Desember, tentu tidak akan pergi ke padang rumput membawa kawanan ternak mereka. Bahkan tidak disarankan untuk bepergian.
Meskipun pada akhirnya Gereja menyusun suatu tahun liturgis, di mana setiap perayaan besar Gereja itu sedapatnya tidak berada pada bulan yang sama.
Gereja juga percaya pada 7 (tujuh) misteri Inkarnasi, yaitu memanusianya sang Logos ilahi, yaitu:
1. Kelahiran Yesus.
2. Pembaptisan Yesus.
3. Pemuliaan Yesus.
4. Penderitaan Yesus dan wafat Yesus.
5. Kebangkitan Yesus.
6. Kenaikan Yesus.
7. Kedatangan Yesus kembali.
Enam dari misteri itu sudah terjadi dan hanya tinggal satu misteri ke-7 yang belum (suatu penggambaran dari enam hari periode penciptaan alam semesta).
Mengenai Kelahiran Yesus sendiri tidak ada yang menolak misteri itu, sebagai awal keseluruhan misteri yang lain. Hanya saja, kapan persisnya, di bulan apa Yesus dilahirkan, Gereja sejak masa awal tidak memberikan petunjuk.
Itulah sebabnya, pada masa para rasul dan sedikit waktu sesudahnya, perayaan-perayaan Gereja hanya dipusatkan pada peristiwa-peristiwa Pembaptisan (Ephiphania), Tranfigurasi, dan Paskah. Karena itulah yang memang menjadi titik perhatian gereja mula-mula.
Peristiwa kelahiran Baginda Yesus baru dianggap “spesial” setelah iman Kristen itu berada dalam masa Kekaisaran Rumawi Kristen di Constantinople. Setelah abad ke-4 Masehi. Begitu pula, tradisi Sinterklas (San Niklas), tidak mungkin mendahului teladan Santo Nikolas dari Myra, Episkop pejuang dogma dari Konsili Ekumenis di Nicaea (325). Tidak mungkin ada pernak-pernik Natal tanpa ada orang suci yang namanya Nikolas dari Myra itu. Logisnya begitu.
Tentunya, suasana bulan Desember, di Eropa adalah musim dingin terdingin (dimulai dari awal November hingga akhir Februari). Tidak ada orang yang bekerja beraktivitas pada titik terdingin musim dingin seperti itu. Orang hanya makan, tidur dan memanaskan tubuh di depan perapian sambil minum penghangat badan. Suasana seperti itu, ternyata, perlu dimeriahkan dengan suatu perayaan yang menggembirakan. Lalu terbitlah ide tentang Natal dan Pohon Cemara.
Pohon Cemara adalah pohon yang tidak menggugurkan daunnya, di musim dingin. Pohon Cemara setia menemani manusia melewati musim dinginnya. Itulah sebabnya, mengapa pohon-pohon Cemara identik dengan suasana natal sejak setidaknya, seribu tahun lalu. Pohon-pohon yang mulai dihiasi dengan berbagai asesoris di dalam setiap rumah-rumah orang Kristen.
Meskipun pada akhirnya, tersingkap suatu upaya manusia untuk memaknai Natal itu sebagai kebahagiaan di akhir tahun. Sebab pada musim semi biasanya adalah masuk persiapan dan perayaan Paskah. Awal musim tanam, sekitar bulan April, bagi mereka yang di Eropa sana.
Perayaan-perayaan Gereja itu dalam sepanjang tahun liturgis selalu diupayakan untuk menyenangkan umat. Karena itu tabiat dari orang-orang Eropa, yang harus berdisiplin mengatur waktu dan menghibur diri. Wilayah negeri empat musim itu, juga harus waspada dengan kegagalan panen yang akan berdampak buruk, terjadi bahaya kelaparan. Karena itu, Gereja semakin ke Barat juga harus peka dengan gejala tabiat manusia ini. Setiap perayaan besar Gereja itu sedapat mungkin “tidak membebani suasana hati dan jiwa” umat. Makanya ini menjadi sebab, persiapan dan perayaan Paskah pun itu bukan hari-hari dengan “kemurungan” melainkan sukacita juga.
Sedangkan di Gereja-gereja Timur Orthodox, karena sudah dari awal mula, tradisi yang berkembang meriah itu tetap pada peristiwa Pembaptisan Yesus dan KebangkitanNya dari maut. Perayaan-perayaan itu sangat meriah tentunya.
Sedangkan Natal, dalam perkembangan seperti itu di Barat, yang lalu merembes ke Indonesia, tidak akan pernah didapati di tempat asal iman Kristen itu, yaitu di Timur Tengah. Karena, memang beda iklim beda pula memaknai teologi dan menghayati satu tahun liturgis dari bulan ke bulan.
Sudah dari awal, tradisi para rasul hanya merayakan Ephiphania sebagai yang jatuh setiap 6/7 Januari – yang itu akhirnya berada pada hari 25 Desember Natal dalam kalender inovasi Gregorian (1582). Bukan Natal dan Pohon Cemara terang, melainkan Dibaptisnya Baginda Yesus di sungai Yordan. Suatu nilai teologis, sebagai pernyataan sang Tritunggal Kudus. Saat Yesus keluar dari air dibaptis, suara dari langit terdengar berkata: “inilah Anak yang Kukasihi, kepadaNya lah Aku berkenan”. Lalu tampaklah Roh seperti burung merpati hinggap di atas kepala Yesus.(*)