Posyandu: Antara Harapan dan Keterbatasan dalam Melayani yang Terpinggirkan

oleh -
oleh
Posyandu: Antara Harapan dan Keterbatasan dalam Melayani yang Terpinggirkan 1
DR. H. Ahyar Wahyudi, S.Kep. Ns., M.Kep., CISHR, FISQua, FRSPH, FIHFAA.

Oleh: DR. H. Ahyar Wahyudi, S.Kep. Ns., M.Kep., CISHR, FISQua, FRSPH, FIHFAA (Reviewer Jurnal PRAJA Observer: Jurnal Penelitian Administrasi Publik)

Dayak News – Di bawah bayang-bayang rimbunnya pohon kehidupan, Posyandu berdiri seperti tempat bernaung di tengah teriknya kenyataan. Lembaga kecil yang tak pernah terlalu besar ini, yang dulu hanya mengurusi timbangan dan imunisasi bayi, kini merentangkan sayapnya untuk memeluk lebih banyak kelompok: dari kesehatan hingga perumahan, dari pendidikan hingga ketertiban. Posyandu kini bukan lagi sekadar ruang untuk anak dan ibu, tapi telah menjelma menjadi arena pelayanan terpadu bagi masyarakat, merangkul mereka yang paling sering terabaikan. Namun, selayaknya pohon tua yang akarnya tak bisa menyusuri tanah keras, Posyandu pun berhadapan dengan kenyataan keras yang tak selalu sesuai dengan harapan.

Sebagai sebuah lembaga, Posyandu membawa cita-cita besar. Peranannya telah diperluas menjadi penyedia layanan dalam enam bidang sesuai Standar Pelayanan Minimal (SPM), yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Pemerintah berharap bahwa Posyandu menjadi solusi atas tantangan kesehatan, pendidikan, sosial, pekerjaan umum, perumahan, dan ketertiban​. Namun, apakah lembaga sederhana ini siap mengemban peran besar tersebut? Konsep administrasi modern yang mengandalkan efisiensi dan efektivitas tidak selalu sejalan dengan keterbatasan Posyandu yang bersifat voluntarisme dan berbasis komunitas.

Ironi pertama yang muncul adalah kenyataan bahwa perluasan peran ini justru menyisakan kekosongan yang tak mudah diisi. Menurut penelitian di Puskesmas Batang Beruh, rendahnya kunjungan lansia ke Posyandu disebabkan oleh berbagai faktor, dari jarak, sarana yang terbatas, hingga minimnya dukungan keluarga (Berutu, 2010). Di sisi lain, penelitian di Posyandu Damai Sejahtera STIKES Al-Ma’arif Baturaja menunjukkan rendahnya partisipasi balita, di mana ibu yang memiliki pekerjaan atau dengan pengetahuan yang rendah jarang membawa anak mereka ke Posyandu (Camelia, 2021). Realitas ini berhadapan langsung dengan konsep administrasi pelayanan yang bertumpu pada Service Quality Gap Model—di mana ada celah antara harapan pengguna dan kemampuan penyedia layanan. Dengan keterbatasan yang ada, bisakah Posyandu memenuhi tuntutan yang semakin tinggi?

BACA JUGA :  Amuntai: Jejak Romantisme di Tanah Borneo

Di balik peran besar Posyandu, ada tuntutan besar pula pada kemampuan para kader, yang menjadi pelaksana lapangan utama. Padahal, menurut teori Human Capital dari Becker (1993), peningkatan kapasitas tenaga kerja membutuhkan investasi dalam pelatihan dan insentif. Ironisnya, banyak kader Posyandu yang masih berjuang tanpa dukungan yang cukup untuk menjalankan tugas yang semakin berat. Pada akhirnya, beban berat ini justru menghambat efektivitas layanan dan menimbulkan ketidakpuasan masyarakat yang merasa tidak mendapatkan pelayanan optimal. Namun, tanpa kader yang memadai, Posyandu hanya menjadi bangunan kosong yang berdiri tanpa mampu memberi manfaat nyata.

Di sinilah konsep administrasi yang mengutamakan Capacity Building atau pembangunan kapasitas menjadi krusial. Pembangunan kapasitas bukan hanya dalam bentuk pelatihan teknis, tetapi juga dukungan emosional dan sosial bagi para kader, yang sering kali bekerja tanpa pamrih. Tapi apakah ini cukup? Teori Collaborative Governance dari Donahue dan Zeckhauser (2011) menyoroti bahwa kolaborasi lintas sektor adalah kunci dalam menghadapi masalah yang kompleks. Namun, kolaborasi ini hanya bisa berjalan jika ada koordinasi dan dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat​. Dengan kata lain, tanpa sinergi yang terstruktur, Posyandu akan terus bergulat sendirian melawan keterbatasan.

Lebih dalam lagi, kita dihadapkan pada persoalan etis: di satu sisi, Posyandu harus menjalankan fungsi pelayanan yang merata, tetapi di sisi lain, mereka terjebak dalam birokrasi dan regulasi ketat yang seringkali justru menghambat fleksibilitas. Kebijakan yang ditetapkan pemerintah, meskipun bertujuan baik, tidak selalu selaras dengan kemampuan lokal Posyandu untuk menjalankannya. Misalnya, peraturan tentang SPM menuntut pelayanan kesehatan yang lengkap, tetapi tanpa adanya fasilitas dan tenaga medis yang memadai, tuntutan ini hanya menjadi beban yang sulit terpenuhi.

Masalah ini semakin diperumit dengan rendahnya pemahaman masyarakat tentang manfaat Posyandu. Seperti yang terlihat dalam penelitian di Posyandu Damai Sejahtera, banyak ibu yang enggan membawa anak mereka ke Posyandu karena kurangnya informasi tentang manfaat yang bisa mereka peroleh (Camelia, 2021)​. Ini menunjukkan adanya kesenjangan komunikasi yang berlawanan dengan teori Stakeholder Engagement dari Freeman (1984), yang menyatakan bahwa semua pihak yang terkena dampak harus dilibatkan secara aktif dalam proses pelayanan. Jika masyarakat sendiri tidak memahami fungsi Posyandu, bagaimana mereka bisa berpartisipasi secara optimal?

BACA JUGA :  Pelantikan Angkatan 3 FIHFAA Tahun 2024: Menyemai Dedikasi untuk Mutu dan Keselamatan Pasien

Namun, bukan hanya masyarakat yang harus disalahkan. Sikap enggan ini juga merupakan refleksi dari kelemahan pemerintah dalam memfasilitasi dan mendukung program secara menyeluruh. Kurangnya sosialisasi dan kampanye pendidikan menjadi bukti bahwa kebijakan belum sepenuhnya berpihak pada kebutuhan nyata masyarakat. Posyandu di banyak tempat masih beroperasi dengan fasilitas seadanya, tanpa dukungan yang mencukupi dari pemerintah setempat, yang seolah melemparkan tanggung jawab sepenuhnya kepada masyarakat.

Selain itu, muncul pula masalah ekonomi dan aksesibilitas. Bagi sebagian masyarakat, terutama lansia yang hidup di pedesaan atau daerah terpencil, mengunjungi Posyandu adalah tantangan tersendiri. Faktor jarak dan biaya transportasi menjadi hambatan yang tidak bisa dianggap sepele. Konsep Access to Healthcare dari teori administrasi kesehatan menekankan bahwa layanan kesehatan harus dapat diakses dengan mudah oleh semua lapisan masyarakat, terutama mereka yang berada di wilayah terpinggirkan. Namun, tanpa dukungan infrastruktur yang memadai, aksesibilitas ini hanya akan menjadi ilusi.

Pada sisi lain, sikap keluarga terhadap Posyandu juga memainkan peran besar. Penelitian menunjukkan bahwa dukungan keluarga sangat berpengaruh terhadap partisipasi lansia di Posyandu​. Konsep dukungan sosial dalam administrasi kesehatan menunjukkan bahwa keluarga dapat menjadi faktor pendorong yang kuat bagi lansia untuk berpartisipasi dalam program kesehatan. Namun, ketika keluarga tidak memberikan dorongan atau bahkan mengabaikan pentingnya layanan Posyandu, maka lansia akan merasa bahwa program tersebut tidak membawa manfaat nyata bagi mereka.

Dalam menghadapi segala keterbatasan ini, muncul pertanyaan besar: adakah solusi yang benar-benar dapat memperkuat Posyandu sebagai lembaga pelayanan terpadu? Di sinilah konsep administrasi yang adaptif dan inovatif harus dijadikan pegangan. Pertama, pemerintah harus memperkuat dukungan infrastruktur bagi Posyandu. Tidak cukup hanya memperluas peran Posyandu dalam enam bidang pelayanan; mereka juga harus dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang memadai. Tanpa fasilitas yang cukup, Posyandu hanya akan menjadi sekadar tempat berteduh tanpa bisa memberikan manfaat yang nyata.

BACA JUGA :  Optimalisasi Tata Kelola Sampah di Kota Medan Melalui Penerapan Model Hepta Helix, Prinsip 7 R's dan Integrasi Ekonomi Sirkular: Kontribusi Perguruan Tinggi dalam Mendukung Zero Waste, SDG's dan Ekonomi Hijau

Kedua, sosialisasi dan edukasi yang lebih intensif perlu dilakukan, baik kepada masyarakat maupun keluarga. Melalui kampanye yang terstruktur dan berkelanjutan, masyarakat akan lebih memahami manfaat dan pentingnya Posyandu sebagai tempat layanan kesehatan dan sosial. Selain itu, pelatihan berkala bagi para kader Posyandu juga harus menjadi prioritas. Kader sebagai ujung tombak pelayanan tidak hanya membutuhkan pengetahuan teknis, tetapi juga motivasi dan dukungan emosional yang berkelanjutan.

Kolaborasi lintas sektor juga menjadi solusi potensial dalam menghadapi kompleksitas peran Posyandu. Collaborative Governance mengajarkan bahwa sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta adalah kunci dalam mengatasi keterbatasan sumber daya. Pemerintah dapat mengajak sektor swasta untuk turut berpartisipasi dalam menyediakan fasilitas kesehatan dan memberikan pelatihan bagi kader. Dengan adanya dukungan yang lebih komprehensif, Posyandu dapat menjalankan perannya dengan lebih baik, tanpa terbebani oleh keterbatasan yang ada.

Di tengah segala keterbatasan, Posyandu tetap menjadi harapan bagi banyak orang. Bagaikan pohon besar yang terus tumbuh meski diterpa badai, Posyandu hadir untuk melayani mereka yang membutuhkan, mengulurkan tangan bagi mereka yang tak mampu menjangkau layanan kesehatan di tempat lain. Namun, agar harapan ini tidak menjadi bayang-bayang kosong, dukungan nyata dan kolaborasi yang sinergis harus menjadi langkah awal menuju perbaikan.

Posyandu mungkin tidak sempurna, namun di bawah naungan pohon besar ini, tersimpan keinginan besar untuk memberikan manfaat yang nyata. Dengan dorongan yang tepat, baik dari segi fasilitas, pelatihan, maupun dukungan masyarakat, Posyandu akan terus tumbuh, merangkul setiap individu yang datang dengan harapan dan keyakinan. Dalam balutan harapan yang tak lekang waktu, Posyandu akan terus berdiri teguh, menjadi pelindung bagi mereka yang tak memiliki pelindung, menjadi pelita bagi mereka yang mencari terang. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.