Oleh : DR. H. Ahyar Wahyudi, S.Kep. Ns., M.Kep., CISHR, FISQua, FRSPH, FIHFAA (Reviewer Jurnal PRAJA Observer: Jurnal Penelitian Administrasi Publik)
Di balik angka-angka yang menghiasi laporan keberhasilan Pekan Imunisasi Nasional (PIN) Polio di Kota Banjarbaru, terdapat dinamika administrasi yang bekerja dalam senyap. Sebagai sebuah upaya besar dalam mencegah polio, program ini tidak hanya bertumpu pada keberhasilan teknis semata, melainkan juga pada ketepatan perencanaan, kecermatan pelaksanaan, serta kejelian dalam pengawasan dan evaluasi. Melalui lensa ilmu administrasi, kita dapat melihat bagaimana setiap komponen ini berperan dalam menciptakan sebuah ekosistem kesehatan yang lebih tangguh.
Perencanaan dan Pengorganisasian: Fondasi dari Keberhasilan
Dalam semangat administrasi publik, perencanaan adalah batu pertama yang diletakkan dalam membangun program yang sukses. Gulick dan Urwick (1937) mengajarkan kepada kita bahwa tanpa struktur yang jelas dan pembagian tugas yang tepat, sebuah program akan rapuh dan mudah runtuh oleh tantangan yang datang. PIN Polio di Banjarbaru, dari sisi ini, tampaknya telah memiliki kerangka yang kokoh, dengan pembagian tugas yang tersusun rapi di antara dinas kesehatan, puskesmas, dan berbagai elemen masyarakat.
Namun, sebagaimana alam yang selalu berubah, begitu pula situasi lapangan yang seringkali tidak terduga. Penurunan partisipasi pada putaran kedua program ini menunjukkan bahwa perencanaan yang kuat membutuhkan elemen fleksibilitas—kemampuan untuk beradaptasi dengan kondisi yang tidak sepenuhnya terprediksi. Dalam teori administrasi, fleksibilitas ini adalah kunci yang memungkinkan sebuah program tetap relevan dan efektif di tengah berbagai perubahan yang terjadi.
Pelaksanaan dan Koordinasi: Simfoni yang Harus Sempurna
Pelaksanaan program vaksinasi tidak bisa hanya bergantung pada satu entitas; ia adalah simfoni yang dimainkan oleh berbagai pihak. Fayol (1916) menekankan bahwa koordinasi adalah harmoni dalam administrasi, di mana semua bagian bekerja bersama untuk mencapai tujuan yang sama. Di Banjarbaru, pelaksanaan PIN Polio menunjukkan adanya kerja sama yang baik di antara instansi-instansi terkait, tetapi penurunan partisipasi pada putaran kedua mungkin menunjukkan adanya nada sumbang yang perlu diperbaiki.
Sebuah simfoni yang indah bukan hanya tentang teknik, tetapi juga tentang perasaan. Dalam pelaksanaan program ini, mungkin diperlukan sentuhan yang lebih manusiawi—komunikasi yang lebih mendalam dan personal kepada masyarakat, agar mereka merasa menjadi bagian penting dari keberhasilan bersama ini. Tanpa perasaan keterlibatan, simfoni ini mungkin akan kehilangan daya tariknya, dan partisipasi masyarakat bisa jadi hanya sebatas kewajiban, bukan kesadaran.
Pengawasan dan Evaluasi: Mata yang Terbuka Lebar
Di dalam setiap proses administrasi, pengawasan adalah mata yang selalu terbuka, mengamati setiap gerak dan memastikan semuanya berjalan sesuai rencana. Simon (1947), dengan pemikirannya yang mendalam tentang pengambilan keputusan, mengingatkan kita bahwa tanpa pengawasan yang baik, sebuah program akan kehilangan arah dan tujuan. Pengawasan dalam PIN Polio Banjarbaru harus lebih dari sekadar formalitas; ia harus menjadi alat yang dinamis, yang mampu memberikan umpan balik cepat dan akurat.
Namun, jika mata ini hanya melihat tanpa memahami, evaluasi pun akan kehilangan maknanya. Pengawasan yang efektif adalah yang mampu mendeteksi permasalahan seperti penurunan partisipasi dengan cepat dan memberikan rekomendasi untuk perbaikan. Dengan demikian, program ini bisa terus berjalan di jalur yang benar, meski tantangan datang silih berganti.
Rekomendasi Kebijakan: Menguatkan Jiwa dan Raga Program
Dalam mengoptimalkan program PIN Polio, diperlukan kebijakan yang tidak hanya memperkuat struktur, tetapi juga jiwa dari pelaksanaannya. Dalam perspektif ilmu administrasi, responsibilitas dan akuntabilitas menjadi pilar utama yang harus dijaga. Setiap pihak yang terlibat harus memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi, dan hasil dari program ini harus dapat dipertanggungjawabkan dengan jelas kepada masyarakat.
Memperkuat teknologi informasi dalam pengawasan dan pelaporan dapat menjadi salah satu jalan untuk meningkatkan akuntabilitas. Selain itu, kebijakan yang mendorong partisipasi aktif masyarakat, melalui konsultasi dan dialog yang terus-menerus, akan memberikan program ini ruh yang membuatnya hidup dan diterima dengan baik oleh masyarakat.
Penutup
Program PIN Polio di Kota Banjarbaru adalah seperti sebuah pohon besar yang tumbuh di tengah ladang. Akar-akarnya adalah perencanaan yang kuat, batangnya adalah pelaksanaan yang kokoh, dan ranting-rantingnya adalah pengawasan yang teliti. Namun, agar pohon ini tumbuh subur dan memberikan buah yang lebat, ia membutuhkan air—air yang berupa dukungan dan partisipasi dari masyarakat.
Kita semua tahu bahwa tanpa air, bahkan pohon yang paling kuat pun akan layu. Demikian pula, tanpa partisipasi yang tulus dari masyarakat, program ini tidak akan mencapai hasil yang optimal. Sebagaimana kata bijak mengatakan, “Kebijakan yang baik adalah kebijakan yang tumbuh dari tanah tempat ia berdiri.” Maka dari itu, mari kita rawat pohon ini dengan baik, sehingga ia dapat memberikan perlindungan dan manfaat bagi generasi yang akan datang, bukan hanya di Banjarbaru, tetapi di seluruh penjuru negeri.
Referensi
1. Fayol, H. (1916). General and Industrial Management. Pitman Publishing.
2. Goodnow, F. J. (1900). Politics and Administration: A Study in Government. Macmillan.
3. Gulick, L., & Urwick, L. (1937). Papers on the Science of Administration. Columbia University Press.
4. Simon, H. A. (1947). Administrative Behavior: A Study of Decision-Making Processes in Administrative Organizations. Free Press.
5. Dinas Kesehatan Kota Banjarbaru. (2024). Data Capaian Vaksinasi PIN Polio (Edi Sampana).