Oleh : Christian Sidenden (Redaktur Senior Dayak News)
Dayak News – Pada masa-masa demokrasi liberal (1950-1959) itu muncul dewan-dewan revolusioner di daerah-daerah. Ada dewan Gajah, ada dewan Garuda, ada dewan Banteng, dan ada dewan Manguni.
Kalau ditanya, tujuannya apa sih dewan-dewan revolusioner itu? Waktu itu persoalan politik dan pembangunan itu saling berkaitan erat. Mereka di dewan-dewan itu ingin agar politik itu tidak jatuh bangun gegara kabinet-kabinet gonta-ganti sehingga program-program kementerian tak bisa berjalan. Pangkalnya, ya karena di dalam kabinet-kabinet Natsir, Wilopo, hingga Djuanda waktu itu terdiri dari utusan-utusan dari partai-partai politik. Begitu mudah untuk adanya mosi tidak percaya sehingga satu kabinet bisa bubar dalam ukuran satu dua tahun saja.
Makanya dewan-dewan militer di daerah-daerah itu muncul sebagai kritik pada pemerintah pusat supaya ada kestabilan. Hanya saja, ketika kritik-kritik itu tak ditanggapi oleh pihak pusat, maka lalu muncullah Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Diduga kuat karena kurangnya rendezvous (pertemuan) antara pihak-pihak daerah dan pusat, maka terjadi jurang pemahaman.
Maka belajar dari sejarah bangsa dan negara kita dulu, saat ini pun kita harus belajar. Saat ini yang mau transisi dari satu pemerintah lama ke pemerintah baru, perlu rendezvous yang sering dan santai antara para elit politik. Supaya antara pihak-pihak yang sementara ini berbeda pemahaman tentang situasi dan kondisi politik bisa mencari kesepahaman. Misalnya antara Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Pertemuan antara Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto sang Presiden terpilih 2024-2029.
Bangsa dan negara kita ini terkenal sebagai masyarakat yang selalu bermusyawarah dan bermufakat. Karena itulah demokrasi kita berdiri di atas segi-segi tradisional suku-suku bangsa di negeri ini. Memang dalam musyawarah itu tidak dijamin bisa tercapai kata mufakat. Meskipun jauh lebih baik ketemu dan bertemu dari pada tidak sama sekali. Bahkan saling balik punggung semua. Hal itu sungguh bukan teladan yang baik.
Merupakan suatu sikap yang baik dan negarawan jika kedua elit politik nasional, seperti Megawati dan Prabowo itu bertemu muka dan berdiskusi tentang langkah ke depan. Bahwa hasil Pemilu 2024 sudah selesai dan telah terpilih anggota-anggota DPR dan pasangan Presiden-Wakil Presiden. Ini untuk keberlanjutan proses pembangunan juga. Adapun soal masih ada kekecewaan atau hal yang mengganjal, apa itu, marilah itu untuk dibicarakan bersama.
Bagaimanapun kita sudah menjalani proses demokrasi seperti sudah seharusnya sebagai Republik presidensiil. Maka semua pihak diharapkan menerima keterpilihan pemimpin baru melalui mekanisme lima tahunan. Maka jangan lagi hal itu dipersoalkan dicari-cari masalahnya.
Untuk itulah penting sekali rendezvous antara Megawati dan Prabowo dalam beberapa hari ini. Keduanya pernah berpasangan sebagai calon presiden – wakil presiden tahun 2004 dulu. Artinya mereka pernah bersama sebagai sekondan politik, walaupun tak terpilih waktu itu. Dalam politik Indonesia itu ada kalanya satu pihak dekat dan berjauhan dengan pihak lainnya. Tetapi yang tidak wajar jika selalu berjauhan dengan rekayasa politik. Itu tidak mendidik juga.
Tentu pertemuan penting antara elit-elit politik ini bukan untuk membawa PDI-P masuk ke dalam koalisi besar pendukung pemerintah. Sedangkan saat ini koalisi partai pendukung pemerintah sudah ‘gemuk’ maka sangat tidak imbang jika harus disertakan lagi kaum Banteng. Biarlah fraksi PDI-P menjadi penyeimbang di parlemen saja.
Terlepas dari itu semua, tetap kita sangat berharap rendezvous politik di antara para elit politik itu menjadi suatu kebiasaan atau habit dalam tradisi perpolitikan nasional kita. (*)