Seharusnya Kita Mementingkan Produk Legislasi Daerah

oleh -
oleh
Seharusnya Kita Mementingkan Produk Legislasi Daerah 1

Oleh : Christian Sidenden (Redaktur Senior Dayak News)

Dayak News – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 telah dikeluarkan dua hari lalu. Putusan ini menyangkut syarat ambang batas perolehan suara minimal dari partai-partai politik (parpol) guna mengusung calon kepala daerah. Terutama sekali putusan ini memberi kesempatan besar terhadap parpol yang tidak memiliki keterwakilan legislatif dapat saja tetap bisa mencalonkan bakal calon untuk setiap tingkat pemilu kepala daerah. Putusan MK ini atas permohonan dua parpol masing-masing dari Partai Buruh dan dari Partai Gelora.

Seperti yang menjadi kerap, putusan dari lembaga peradilan konstitusi ini, tidak segera juga bisa dilakukan. Meskipun konstitusi pasal 24c UUD 1945 menyebut putusan itu sebagai final dan mengikat – untuk dilaksanakan oleh semua pihak.

Segera setelah itu, putusan Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 ini akan ditafsirkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui perubahan atas Undang-undang.

Putusan MK itu menyatakan Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Bunyi pasal 40 ayat (3) UU nomor 10/2016 itu adalah Dalam hal partai politik atau gabungan partai politik mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25 persen (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketentuan itu hanya berlaku untuk partai politik yang memperoleh kursi di DPRD. Perhatikan tekanan pada kata-kata “hanya berlaku untuk partai politik yang memperoleh kursi di DPRD,” ini yang dipandang MK bertentangan dengan konstitusi. Oleh karena tidak memberi kesempatan parpol-parpol non parlemen untuk bisa ikut mengusung balon pilkada semua level daerah.

BACA JUGA :  Konferensi Internasional ISQua ke-40: Health for People and Planet: Building Bridges to a Sustainable Future

MK pun memberi hukum baru atas bunyi pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) sebagaimana dalam putusan yaitu misalnya saja ketentuan Pasal 40 ayat (2) itu menetapkan 4 (empat) syarat ambang batas. Pertama, provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap (DPT) sampai dengan 2 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 10 persen di provinsi tersebut.

Kedua, provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada DPT lebih dari lebih dari 2 juta jiwa sampai 6 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 8,5 persen di provinsi tersebut. Dan seterusnya.

Dengan demikian para pemohon yaitu dua parpol itu masih bisa dimungkinkan melalui mekanisme gabungan untuk bisa mengusung balon pasangan kepala dan wakil kepala daerah di daerah-daerah.

Hal mana seperti didalilkan oleh para pemohon perolehan jumlah kursi di DPRD itu dikarenakan berlakunya mekanisme/metode tertentu untuk menghitung konversi perolehan suara menjadi kursi di DPRD (baik tingkat Provinsi, Kabupaten, dan Kota), hal ini tidak selalu mutlak berhubungan dengan legitimasi suara rakyat diterima untuk sebagian oleh Majelis Hakim MK.

Sementara ini, di DPR sedang diagendakan perubahan atas UU nomor 10/2016 itu juga. Tentunya putusan MK ini akan masuk dalam pembahasan panitia kerja (panja) dari Rancangan Undang-undang (RUU) perbaikan atas produk hukum yang sudah dibatalkan oleh putusan MK tersebut. Dari pemerintah telah diperintahkan Presiden menteri-menteri, yaitu Menteri Dalam Negeri dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk membahas hal itu bersama mitra DPR. Hasilnya, apapun, dikatakan oleh Menkumham Supratman Andi Agtas, akan tetap diikuti oleh pemerintah sebab usulan perubahan UU itu adalah datang dari pihak DPR. Pemerintah akan mengikuti saja.

BACA JUGA :  Pilpres 2024 Antara Memilih "Jokowi" dan Jokowi lagi

Komentar masyarakat dan para politisi atas terbitnya tinjauan MK ini beragam. Begitu pula suhu politik naik di kelompok kritis kelas menengah seperti dari pemuda mahasiswa. Sebab beberapa waktu lalu MK disorot publik atas menafsirkan ambang batas usia dari calon kontestan Pemilu Presiden Wakil Presiden.

Hal ini tergantung dari sudut mana orang melihat usia itu sebagai syarat. Tetapi MK memutuskan bahwa setiap calon yang pernah menjabat jabatan politis yang dipilih oleh rakyat dapat saja dicalonkan untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Tidak peduli usianya disyaratkan ambang batas minimal 30 atau 40 tahun.

Perlu dilihat juga jumlah penduduk Indonesia kini antara 21 sampai 45 tahun itu sudah lebih dari 50 persen dari 280 juta populasi. Hal yang disebut sebagai bonus demografi. Itu artinya akan membuka peluang kaum muda akan semakin banyak yang mungkin mengisi wakil-wakil rakyat dan kepala-kepala daerah.

Membicarakan soal keterwakilan dan ketidakterwakilan rakyat dalam sistem parlemen negeri kita ini bisa ditafsirkan dengan banyak cara. Sebab jumlah kursi di setiap lembaga legislatif tiap daerah (provinsi, kabupaten dan

daerah itu. Belum lagi jika kita mempertimbangkan dinamika masyarakat di tiap daerah itu tidak sama. Hal yang juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan kondisi sosial ekonomi masyarakatnya. Hal ini juga pada gilirannya akan tercermin pada kualitas dari balon-balon kontestan di Pilkada yang diusung oleh parpol-parpol itu.

Ini tentu tidak mempertimbangkan masalah apakah itu parpol-parpol parlemen atau non-parlemen yang mengusung. Memberikan banyak pilihan bagi warga masyarakat di suatu daerah juga akan setidaknya menurunkan jumlah suara elektoral dari balon pasangan kepala daerah yang terpilih.

Misalnya, hanya dikatakan menang tipis dari empat atau lima kontestan lainnya, apakah itu suara keterpilihan artinya? Bisa jadi justru suara perolehan gabungan para kontestan yang kalah satu putaran, akan otomatis lebih tinggi akumulatif dari suara kontestan yang menang. Apa ini tidak bermasalah secara demokrasi perwakilan? Hal ini pun akan tergantung dari sisi mana kita melihatnya. Demokrasi itu adalah kemenangan suara rakyat mayoritas, bukan suara menang akibat dihitung secara matematis atau kalkulator. Supaya orientasi pikir dan nalar kita bekerja.

BACA JUGA :  TRIK DAPATKAN BANYAK SUBSCRIBER YOUTUBE

Itulah sebabnya mengapa memang jauh lebih baik mempertebal arti pemilu legislatif sebagai wujud keterwakilan aspirasi masyarakat pemilih ketimbang otak-atik aturan pilkada yang hanya memilih figur-figur tertentu dan toh akan sulit dimintai pemenuhan janji politik pada rakyat setelah terpilih.Justru mengapa bukan DPRD atau legislasi-nya yang harus diperkuat saat ini, sebab pemerintah yang dikepalai oleh Gubernur, Bupati dan Walikota itu toh akan menjalankan Peraturan Daerah (Perda) atau produk legislasi daerah, baik itu anggaran maupun aturan.Sejauh produk hukumnya baik dan mewadahi kehendak rakyat terbanyak maka itulah hasil demokrasi perwakilan yang baik dan yang berkeadilan. Sedangkan keterpilihan pasangan kepala daerah itu hanya pelaksana dari pemerintahan yang berkala setiap lima tahun. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.