Oleh : Christian Sidenden (Redaktur Senior Dayak News)
Dayak News – Partai-partai politik pada hari-hari belakangan justru semakin tak sesuai dengan maksud Undang-undang (UU) yang mengatur tentangnya. Yang dimaksud adalah UU nomor 2 tahun 2011 sebagai perubahan atas UU nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik.
Pasalnya adalah tentang pengkaderan yang termaktub dalam pasal 29 butir-butir 1, 1a, 2, dan 3 dari UU no. 2/2011 tersebut. Mengenai rekrutmen baik itu anggota-anggota legislatif di tiap tingkatan, kepala-kepala daerah maupun Presiden dan Wakil Presiden.
Tentunya setiap kader yang direkrut untuk menjadi calon-calon legislatif tadinya harus mengisi formulir kesediaan dan pakta integritas dari partai-partai politik yang akan diikutinya. Ketika seseorang anggota dari parpol tertentu itu terpilih nantinya maka orang itu harus menaati kewajiban dan taat aturan dari parpol yang menjadi institusi yang mengutusnya. Meskipun suara keterpilihannya itu datang dari sebagian suara rakyat.
Pada dataran ini, yang saat ini mengemuka adalah justru bertentangan dengan maksud UU Parpol itu. Sebab telah menjadi kebiasaan agaknya, ada kader-kader yang sekalipun sudah terpilih untuk duduk di kursi mewakili konstituennya, justru belakangan hari keluar dari parpol dan untuk berlaga di Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada). Sia-sia jadinya suara orang-orang yang telah memilih seseorang yang mundur dan bahkan keluar dari parpol tertentu untuk ikut berlaga lagi di Pilkada satu daerah.
Bivitri Susanti, seorang pengamat politik dan dosen pada Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Indonesia Jentera, membuktikan bahwa parpol dianggap hanya sebagai kendaraan untuk meraih jabatan publik. Hal yang ditulisnya dalam laporan Kegagalan Partai Politik dalam Membangun Demokrasi.
Sedangkan Mawardin analis dari Charta Politika menyebutkan suatu ulasan Sekolah Partai dan Pendidikan Politik, menyebut sehat dan sakitnya tubuh demokrasi sungguh bergantung pada gizi parpol. Kader politik membutuhkan asupan kompetensi, kapabilitas, dan integritas agar mesin partai bergerak menyempurna sebagai agen demokrasi. Hal inilah yang ditentukan oleh fungsi utama parpol sebagai sarana pendidikan politik, tulis Mawardin.
Mengutip Abernethy dan Coombe (1965), Mawardin menyebut pendidikan dan politik terikat tak terpisahkan. Untuk mencetak kader politik mumpuni, bisa diandalkan, mustahil melalui cara-cara instan. Melainkan harus melalui pendidikan khusus yang berjenjang dan berkelanjutan.
Dari situlah beberapa tahun belakangan sekian parpol di tanah air tercinta itu membuka sekolah-sekolah atau akademi-akademi partai bagi pendidikan politik para kader. Gunanya supaya parpol-parpol itu menyediakan kawah candradimuka bagi penyediaan kader-kader legislatif, pemimpin nasional maupun pemimpin daerah. Yang dilatih di situ apanya, tentunya bekal-bekal kognisi berbagai pengetahuan dasar perpolitikan dan standar etik politisi.
Begitu pula, tidak lama lalu, kita sering mendengar istilah “petugas partai”. Istilah yang diartikan bahwa seseorang yang sedang diutus untuk menjadi pemimpin negara atau daerah itu adalah sekaligus mewakili parpol yang mengusung orang itu tadinya. Tetapi semua ini, akhir-akhir ini jadi mengabur dan tidak ada gunanya.
Kita melihat saat ini, bisa ada figur-figur yang keluar satu parpol lalu masuk parpol lain besoknya. Seakan-akan parpol-parpol itu hanya tidak ubahnya kamar-kamar dalam satu rumah. Dimana kendali parpol dan apa artinya pakta integritas keanggotaan dan kepewakilan orang-orang seperti itu? Tidak jelas lagi.
Maksudnya, di sini, seperti yang dikatakan oleh para ahli dan pengajar di atas, adalah dipertanyakan, untuk apa sebenarnya parpol-parpol itu, jikalau tidak ada ketaatan dalam berorganisasi dan mengikuti aturan main, tata tertib beranggota? Maka tentu saja, jikalau itu ditujukan untuk meraih suatu jabatan publik, yang menggiurkan seperti menjadi kepala-kepala daerah, maka disinyalir orang-orang itu tidak bisa dipegang integritas dan etik-nya. Masyarakat calon pemilih harus bisa memberikan putusan bagi contoh semacam itu, untuk tidak usah dipilih saja. Inilah pendidikan politik yang pada ujungnya itu melewati keputusan rakyat. (*)