Oleh : Christian Sidenden (Redaktur Senior Dayak News)
Dayak News – Proses mempertanyakan hasil rekapitulasi penghitungan suara oleh KPUD Kalteng, khususnya pada Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub) Kalteng itu merupakan bagian yang integral dari adab berdemokrasi.
Telah terjadi bahwa dalam hasil rekapitulasi KPUD beberapa hari lalu, dinyatakan Paslon nomor 3 Agustiar Sabran – Edy Pratowo, diputuskan sebagai pemenang Pilgub, dengan raihan suara sah sebesar 484.754 pemilih.
Hasil itu mengungguli ketiga Paslon lainnya, yang bertarung, yaitu nomor 2 Nadalsyah – Supian Hadi (468.925 pemilih), nomor 1 Willy Yoseph – Habib Ismail (279.426 pemilih), dan nomor 4 Abdul Razak – Sri Suwanto (67.385 pemilih).
Setelah pembacaan rekapitulasi itu, ketua saksi dari Paslon Nadalsyah – Supian Hadi menyatakan protes atas hasil itu. Dikatakannya bahwa terdapat “kehilangan suara” sebesar 13.000 suara. Dengan dasar itu, tim Paslon nomor 2 ini akan mengajukan gugatan sengketa penghitungan suara ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Menjadi pertanyaan juga, dari beberapa media pemberitaan di daerah ini, muncul perbedaan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang dirilis jauh-jauh hari, dan yang muncul sesudah rekapitulasi. Media yang sebelumnya menyebut DPT pada angka 1.960.053 jiwa. Sedangkan media yang belakangan menyebutkan pada angka 1.972.485 jiwa. Terdapat selisih 12.432 antara kedua data tersebut.
Jika kedua angka itu dibandingkan, antara pernyataan tim saksi Nadalsyah – Supian Hadi bahwa “suara kami menyusut sebesar 13.000” dan selisih data laporan DPT sesuai yang diterbitkan media-media itu, nampaknya cukup dekat.
Jika hal itu dijadikan bahan materil untuk gugatan ke MK, yang hari ini Rabu (11/12), akan jadi hari terakhir pendaftaran gugatan, tentu adalah bahan yang baik dan perlu ditelusuri oleh MK.
Mengapa ada rilis data DPT sebegitu jauh selisihnya? Sedangkan jumlah selisih itupun mendekati dugaan yang disinyalir oleh tim saksi Paslon nomor 2. Inilah sebenarnya yang harus diupayakan klarifikasi dan entah apa yang akan diputus melalui sidang MK ke depan.
Pilkada yang bermutu itu adalah juga menyangkut konsistensi dan akurasi pendataan pemilih sebenarnya. Sekalipun, bisa saja sebelum mengajukan gugatan itu ke MK, ada upaya “politis lain” yang mengurungkan niat itu. Kita tidak tahu, seandainya itu tidak jadi digugat, terjadi pembicaraan di luar gedung MK? Tetapi setidaknya, dari situ kita bisa mengetahui bahwa transparansi dan akuntabilitas dari Pilkada ini terkubur “dalam negosiasi” tergopoh-gopoh. (*)