Oleh : Christian Sidenden (Redaktur Senior Dayak News)
Dayak News – Pemilu di Indonesia, terutama setelah model serentak tahun ini, adalah yang paling rumit di seluruh dunia. Bukan saja, itu berbiaya ratusan triliun tetapi juga memakan waktu dan tenaga.
Presiden Prabowo, kemarin, pada momen perayaan HUT ke-60 Partai Golkar, di Jakarta, menyampaikan usulan agar sistem Pemilu itu diubah lagi. Ia menyebut asas efisiensi sebagai alasan untuk perubahan itu, tentu bersama dengan DPR-RI.
Dalam segmen Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) sendiri, Presiden mengusulkan agar Gubernur-Wakil Gubernur itu cukup dipilih oleh DPRD saja. Sehingga dengan begitu menghemat uang daerah juga. Lebih baik uang itu digunakan untuk membiayai keperluan rakyat.
Jika diperhatikan, apa yang diusulkan Presiden itu ada benarnya. Jika seseorang itu ingin menjadi kepala-kepala daerah provinsi, ya cukup saja sekali jalan dengan menjadi anggota-anggota DPRD saja. Setelah itu melalui mekanisme di dalam parlemen daerah itulah melobbi sesama anggota yang lain untuk dipilih menjadi Gubernur-Wakil Gubernur. Tentu saja ini jauh lebih murah biaya politiknya. Tidak usah pasang baliho dan alat peraga kampanye segala.
Dulu juga, Prof. DR. Ryas Rasyid, pakar ilmu otonomi dan pemerintahan, juga menyebut bahwa otonomi daerah itu harus dititik-beratkan pada daerah-daerah tingkat dua. Maksudnya, asas pemerintahan yang langsung bersentuhan dengan wilayah dan rakyat itu, ada pada level Kabupaten dan Kota. Sehingga, yang perlu Pilkada langsung, dipilih oleh rakyat langsung itu, cukup Bupati-bupati dan Walikota-walikota saja. Tetapi justru ketika dibahas di Komisi II DPR-RI waktu itu (periode 1999-2004) justru ‘nyosor’ semua level pemerintahan, Pilkada langsung.
Demokrasi kita itu bersendikan Pancasila, bukan sistem liberal. Dalam sila keempat, demokrasi itu dijalankan dengan sistem musyawarah untuk mufakat. Sistem itu seharusnya dimaknai pembicaraan di ruang parlemen, termasuk kiranya untuk memilih kepala-kepala daerah provinsi.
Efek dari Pilkada tak langsung ini, tentunya pemerintahan daerah provinsi itu, tidak perlu lagi mengurusi hal-hal teknis (infrastruktur, pendidikan dan kesehatan). Sudah cukup diserahkan semua pada Bupati dan Walikota saja. Oleh karena itu, tidak perlu lagi dinas-dinas teknis di level pemerintahan provinsi. Ini juga mengakibatkan penghematan anggaran lagi.
Bukankah satuan wilayah yang memang memiliki batas-batas itu adalah ruang wilayah kabupaten dan kota? Begitu pula warga-warga kabupaten dan kota itu yang disebut di dalam lembar Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Usulan Presiden itu memang baik, dan perlu disikapi oleh DPR-RI bersama DPD-RI untuk membahas rumusan perubahannya dalam perundang-undangan.
Sayang sekali uang yang dihambur-hamburkan itu, setiap Pilkada lima tahun, tetapi tidak juga menghasilkan pemimpin-pemimpin daerah yang kompeten dan mampu membangun daerah. Karena hanya yang banyak duitnya yang bisa jadi. Karena yang menang, bisa saja membeli suara pemilihnya. Ini mudaratnya Pilkada langsung di level provinsi itu.