Oleh: DR. H. Ahyar Wahyudi, S.Kep. Ns., M.Kep., CISHR, FISQua, FRSPH, FIHFAA (Alumni UMY Yogyakarta)
Dalam gemerlap peradaban modern yang terus berkembang, gangguan jiwa seperti skizofrenia sering kali tersembunyi di balik bayang-bayang yang tidak terjangkau oleh perhatian publik. Ini adalah gangguan yang menyusup ke dalam kehidupan tanpa suara, menguasai pikiran dan jiwa, dan perlahan-lahan merenggut kemampuan seseorang untuk membedakan mana yang nyata dan mana yang ilusi. Meskipun gangguan ini dapat ditemukan di seluruh dunia, Indonesia, dan lebih khusus lagi Yogyakarta, menjadi saksi dari fenomena yang semakin memprihatinkan ini.
Skizofrenia: Gambaran Umum dan Pemahaman Dasar
Skizofrenia adalah gangguan mental yang ditandai dengan ketidakmampuan seseorang untuk membedakan antara realitas dan delusi, disertai dengan perubahan yang signifikan dalam perilaku, emosi, dan fungsi kognitif. Gejala utama dari skizofrenia meliputi delusi, halusinasi, gangguan berpikir, dan perilaku yang tidak teratur. Gangguan ini sering kali berkembang secara perlahan, dimulai dengan perubahan ringan dalam pola pikir dan perilaku, sebelum akhirnya berkembang menjadi gangguan yang lebih parah dan merusak kehidupan individu yang mengalaminya (American Psychiatric Association, 2013).
Dalam skizofrenia, terjadi ketidakseimbangan neurotransmiter di otak, khususnya dopamin dan glutamat, yang memainkan peran penting dalam mengatur suasana hati, motivasi, dan fungsi kognitif. Ketidakseimbangan ini diyakini menjadi penyebab utama dari gangguan skizofrenia, meskipun faktor-faktor lain seperti genetik, lingkungan, dan stres psikososial juga berperan signifikan dalam perkembangannya (Carlsson et al., 2001).
Yogyakarta: Sebuah Kisah tentang Skizofrenia yang Terpendam
Yogyakarta, dengan segala daya tarik budaya dan keramahannya, secara mengejutkan mencatatkan prevalensi skizofrenia tertinggi di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan RI. Dengan 9,3 persen rumah tangga di DIY yang memiliki anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa psikosis/skizofrenia, angka ini jauh di atas rata-rata nasional dan memicu kekhawatiran yang mendalam (Kemenkes RI, 2024).
Apa yang menyebabkan tingginya prevalensi skizofrenia di Yogyakarta? Pertanyaan ini membawa kita ke dalam eksplorasi lebih dalam tentang faktor-faktor yang mungkin menjadi pemicu di balik fenomena ini. Skizofrenia tidak hanya disebabkan oleh satu faktor tunggal, melainkan merupakan hasil dari interaksi kompleks antara faktor biologis, psikologis, dan sosial.
Faktor Biologis: Genetik dan Ketidakseimbangan Neurotransmiter
Salah satu penjelasan paling dominan dalam etiologi skizofrenia adalah faktor genetik. Individu yang memiliki riwayat keluarga dengan gangguan jiwa lebih rentan untuk mengembangkan skizofrenia. Gen-gen tertentu yang berkaitan dengan regulasi neurotransmiter, seperti dopamin dan glutamat, ditemukan lebih sering pada individu yang menderita skizofrenia, yang menunjukkan bahwa ketidakseimbangan ini mungkin diwariskan (Howes & Murray, 2014).
Selain faktor genetik, ketidakseimbangan neurotransmiter dalam otak juga menjadi pusat perhatian dalam penelitian skizofrenia. Ketidakseimbangan ini tidak hanya mempengaruhi fungsi kognitif, tetapi juga menyebabkan gangguan dalam persepsi dan emosi, yang merupakan ciri khas dari skizofrenia. Kondisi ini diperburuk oleh faktor-faktor seperti stres berat, penggunaan narkoba, dan penyakit lain yang dapat mempengaruhi fungsi otak, seperti kejang atau trauma kepala (Carlsson et al., 2001).
Faktor Sosial dan Psikologis: Tekanan Hidup dan Trauma
Selain faktor biologis, tekanan hidup dan trauma psikososial juga memainkan peran penting dalam memicu skizofrenia. Yogyakarta, sebagai wilayah yang kerap dilanda bencana alam seperti gempa bumi dan letusan gunung berapi, menambah beban psikologis yang besar pada masyarakatnya. Trauma yang diakibatkan oleh kehilangan keluarga, rumah, dan sumber penghidupan dapat memicu gangguan mental, termasuk skizofrenia, terutama pada individu yang sudah memiliki predisposisi genetik terhadap gangguan ini (Nasruddin, 2024).
Tekanan ekonomi juga menjadi faktor yang tidak bisa diabaikan. Sebagian besar penderita skizofrenia di Yogyakarta berasal dari lapisan masyarakat dengan ekonomi bawah, yang membuat mereka lebih rentan terhadap stres kronis akibat kemiskinan, pengangguran, dan kurangnya akses terhadap layanan kesehatan mental yang memadai. Kondisi ini menciptakan lingkaran setan di mana stres meningkatkan risiko gangguan mental, sementara gangguan mental memperburuk kondisi ekonomi dan sosial mereka (World Health Organization, 2024).
Stigma dan Isolasi: Tantangan dalam Penanganan Skizofrenia
Salah satu hambatan terbesar dalam penanganan skizofrenia adalah stigma yang masih melekat kuat di masyarakat. Skizofrenia sering kali disalahartikan sebagai bentuk kegilaan yang tidak bisa disembuhkan, yang membuat penderita dan keluarganya merasa malu dan enggan untuk mencari bantuan. Di Yogyakarta, stigma ini begitu kuat sehingga banyak penderita skizofrenia yang dipasung atau diisolasi oleh keluarga mereka sendiri, sebagai upaya untuk ‘menyembunyikan’ penyakit ini dari pandangan publik (Corrigan, 2024).
Padahal, dengan terapi yang tepat, penderita skizofrenia bisa pulih dan menjalani kehidupan yang produktif dan mandiri. Terapi untuk skizofrenia biasanya melibatkan kombinasi obat-obatan antipsikotik, psikoterapi, dan dukungan sosial yang berkelanjutan. Namun, akses terhadap layanan ini masih sangat terbatas, terutama di daerah-daerah terpencil dan di kalangan masyarakat ekonomi bawah (Kemenkes RI, 2024).
Menuju Solusi: Kolaborasi Antar Sektor dan Edukasi Publik
Mengatasi tingginya prevalensi skizofrenia di Yogyakarta memerlukan pendekatan yang komprehensif dan kolaboratif. Kolaborasi antara sektor kesehatan, sosial, dan pendidikan sangat penting untuk memastikan bahwa penderita skizofrenia mendapatkan perawatan yang mereka butuhkan. Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, dan rumah sakit jiwa harus bekerja sama dalam memberikan layanan yang terintegrasi, yang tidak hanya fokus pada pengobatan, tetapi juga pada rehabilitasi sosial dan dukungan komunitas (Akhmad, 2024).
Edukasi publik juga harus ditingkatkan untuk mengurangi stigma dan meningkatkan pemahaman tentang skizofrenia. Kampanye kesadaran tentang kesehatan mental harus dilakukan secara luas dan menyentuh semua lapisan masyarakat. Ini termasuk mengajarkan masyarakat tentang tanda-tanda awal skizofrenia, pentingnya mencari bantuan medis, dan bagaimana memberikan dukungan yang tepat bagi mereka yang menderita gangguan ini. Dengan meningkatnya kesadaran dan pemahaman, diharapkan stigma terhadap skizofrenia dapat dikurangi, dan lebih banyak orang merasa nyaman untuk mencari bantuan (Corrigan, 2024).
Penutup: Cahaya Harapan di Tengah Kegelapan
Skizofrenia adalah gangguan yang kompleks dan menantang, baik bagi mereka yang mengalaminya maupun bagi masyarakat di sekitarnya. Di Yogyakarta, di balik keindahan dan kedamaian yang selalu menjadi ciri khasnya, tersembunyi kisah-kisah pilu tentang jiwa-jiwa yang terperangkap dalam bayang-bayang ketidakpastian. Namun, di tengah-tengah kegelapan ini, masih ada cahaya harapan. Dengan pendekatan yang tepat, dukungan yang memadai, dan empati dari kita semua, mereka yang menderita skizofrenia dapat menemukan jalan kembali menuju kehidupan yang bermakna dan produktif.
Referensi
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5). American Psychiatric Publishing.
Akhmad, A. (2024). Kolaborasi Antar Sektor dalam Penanganan Skizofrenia di Yogyakarta. Kemenkes RI.
Carlsson, A., Hansson, L. O., Waters, N., & Carlsson, M. L. (2001). A glutamatergic deficiency model of schizophrenia. British Journal of Psychiatry, 178(40), 2-6.
Corrigan, P. W. (2024). The Stigma of Mental Illness: Empowering Strategies for Individuals and Communities. Oxford University Press.
Howes, O. D., & Murray, R. M. (2014). Schizophrenia: An integrated sociodevelopmental-cognitive model. Lancet Psychiatry, 1(3), 237-245.
Kemenkes RI. (2024). Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Nasruddin, M. (2024). Stigma dan Mitos dalam Penanganan Gangguan Jiwa di Indonesia. Pustaka Pelajar.
World Health Organization. (2024). Mental Health Atlas 2024. World Health Organization.