Oleh: DR. Ahyar Wahyudi, S.Kep.Ns., CISHR, FISQua, FIHFAA, FRSPH
Dalam dinamika politik masa kini, ulama sering menjadi sorotan utama, terutama menjelang periode pemilihan umum. Keterlibatan ulama dalam politik praktis bukanlah fenomena baru, namun dampaknya semakin terasa signifikan, mempengaruhi struktur sosial dan politik di Indonesia.
Triple Power dalam Pemerintahan
Dalam sistem pemerintahan Islam, negara ideal sering digambarkan sebagai baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, negara yang damai, sejahtera, dan dirahmati Tuhan. Umara (pemimpin pemerintahan), ulama (pemimpin spiritual), dan umat (warga negara) merupakan tiga pilar utama yang saling berinteraksi dan berperan mencapai tujuan tersebut. Namun, sering terjadi distorsi dalam peran dan fungsi ketiga pilar ini, terutama ketika ulama terlibat dalam politik praktis yang penuh manipulasi.
Dalam perspektif ilmu administrasi, peran umara, ulama, dan umat harus dilihat sebagai komponen yang membentuk tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Ulama seharusnya berfungsi sebagai penyeimbang kekuasaan umara dengan memberikan bimbingan moral dan etika yang murni, bukan terjebak dalam praktik politik yang merusak kredibilitas mereka. Teori administrasi publik menekankan pentingnya integritas dan transparansi dalam pengelolaan pemerintahan, dan ulama memiliki peran kunci dalam memastikan nilai-nilai ini dipegang teguh oleh para pemimpin.
Politik Patron-Klien dan Dekadensi Moral
Dalam politik praktis, keterlibatan ulama sering dikaitkan dengan teori politik patron-klien. Hubungan simbiosis antara umara sebagai pemberi patron dan ulama sebagai klien menciptakan dinamika yang kompleks. Umara mendapatkan legitimasi moral dari ulama, sementara ulama mendapatkan keuntungan materi dan peningkatan pamor. Namun, hubungan ini sering menyebabkan dekadensi moral di kalangan ulama, yang kehilangan independensi dan integritas mereka.
Teori administrasi publik menekankan pentingnya pemisahan antara sektor politik dan sektor administrasi. Keterlibatan ulama dalam politik seringkali mengaburkan batas antara keduanya, yang berpotensi merusak tata kelola pemerintahan yang baik. Sebagai contoh, dalam Pilkada serentak yang akan datang, banyak ulama terlibat dalam kampanye politik, baik secara langsung maupun tidak langsung. Mereka memanfaatkan posisi mereka sebagai pemimpin spiritual untuk mendukung calon tertentu, yang seringkali didasarkan pada keuntungan pribadi daripada kepentingan umat. Praktik ini tidak hanya merusak kredibilitas ulama tetapi juga menciptakan kebingungan di kalangan umat yang seharusnya mendapatkan bimbingan moral yang murni.
Pentingnya Kejujuran dalam Memilih Pemimpin
Sebagai umat yang bijak, kita memiliki tanggung jawab besar dalam memilih pemimpin. Pilkada serentak adalah momen penting di mana suara kita menentukan masa depan daerah dan bangsa. Dalam memilih pemimpin, kita harus berfokus pada integritas, kejujuran, dan kompetensi calon, bukan pada janji-janji manis yang seringkali kosong. Ulama seharusnya berperan aktif dalam mendidik umat untuk memilih dengan bijak, menghindari praktik politik yang manipulatif, dan menolak segala bentuk suap atau tekanan.
Dalam perspektif administrasi publik, pemilihan pemimpin yang jujur dan kompeten adalah langkah awal menuju tata kelola pemerintahan yang baik. Pemimpin yang jujur akan selalu mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi atau kelompok, dan akan bekerja keras untuk mewujudkan keadilan sosial. Sebaliknya, pemimpin yang korup hanya akan merusak tatanan sosial dan memperburuk ketidakadilan yang ada.
Menghindari Bias Gender dalam Pemilihan Pemimpin
Salah satu isu penting dalam politik masa kini adalah bias gender dalam pemilihan pemimpin. Masyarakat seringkali memiliki prasangka terhadap calon pemimpin wanita, meskipun mereka memiliki kualifikasi dan profesionalisme yang tinggi. Ulama, sebagai pembimbing moral, seharusnya berperan dalam mengedukasi umat untuk menghindari bias gender dan memilih pemimpin berdasarkan integritas dan kemampuan, bukan berdasarkan jenis kelamin.
Teori feminisme Islam yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh seperti Amina Wadud dan Asma Barlas menekankan pentingnya kesetaraan gender dalam semua aspek kehidupan, termasuk politik. Mereka berargumentasi bahwa Al-Quran tidak membedakan antara pria dan wanita dalam hal kepemimpinan, asalkan mereka memiliki kualitas dan kapasitas yang diperlukan. Ulama seharusnya mendukung pandangan ini dan mendorong umat untuk memilih pemimpin yang jujur dan kompeten, tanpa memandang gender.
Keterlibatan Ulama dalam Politik
Keterlibatan ulama dalam politik seringkali menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat. Ulama yang seharusnya menjadi penjaga moral dan spiritual malah terjebak dalam permainan politik yang kotor. Ini tidak hanya merusak kredibilitas ulama tetapi juga mengaburkan batas antara agama dan politik, yang seharusnya tetap terpisah untuk menjaga kemurnian ajaran agama.
Salah satu solusi untuk masalah ini adalah dengan mengembalikan ulama ke peran asli mereka sebagai pembimbing spiritual yang independen. Ulama harus menjaga jarak dari politik praktis dan fokus pada tugas utama mereka, yaitu memberikan bimbingan moral kepada umat. Dengan demikian, mereka dapat tetap menjaga integritas dan kredibilitas mereka di mata masyarakat.
Selain itu, penting bagi umat untuk lebih kritis dalam menilai keterlibatan ulama dalam politik. Umat harus memahami bahwa tidak semua ulama yang terlibat dalam politik memiliki niat yang tulus. Banyak dari mereka yang terjebak dalam kepentingan pribadi atau kelompok, yang bisa merugikan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, umat harus memilih ulama yang benar-benar memiliki integritas dan komitmen untuk kebaikan umat, bukan hanya karena popularitas atau retorika politik semata.
Mengedukasi Umat
Ulama memiliki peran penting dalam mengedukasi umat mengenai pentingnya memilih pemimpin yang jujur dan kompeten. Ulama harus menyampaikan pesan-pesan moral yang jelas dan tegas mengenai bahaya politik yang manipulatif dan korup. Mereka harus mendorong umat untuk menilai calon pemimpin berdasarkan rekam jejak, integritas, dan kemampuan mereka, bukan berdasarkan janji-janji kosong atau popularitas semata.
Selain itu, ulama juga harus berperan aktif dalam mengatasi bias gender dalam pemilihan pemimpin. Mereka harus mengedukasi umat mengenai pentingnya kesetaraan gender dan mendorong umat untuk memilih pemimpin wanita yang memiliki kualifikasi dan profesionalisme yang tinggi. Dengan demikian, ulama dapat membantu menciptakan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera, di mana semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk berkontribusi dalam pembangunan negara.
Pemimpin Wanita: Profesional dan Layak Dipilih
Pemimpin wanita seringkali menghadapi tantangan besar dalam dunia politik yang masih didominasi oleh pria. Namun, banyak wanita yang memiliki kualifikasi dan kemampuan yang sama, bahkan lebih baik dari rekan pria mereka. Mereka seringkali memiliki perspektif yang unik dan mampu memberikan solusi yang inovatif untuk masalah-masalah yang dihadapi masyarakat.
Sebagai contoh, banyak negara yang telah berhasil dipimpin oleh wanita yang kompeten dan profesional. Angela Merkel di Jerman, Jacinda Ardern di Selandia Baru, dan Sanna Marin di Finlandia adalah contoh-contoh pemimpin wanita yang telah membawa perubahan positif bagi negara mereka. Mereka menunjukkan bahwa kepemimpinan tidak ditentukan oleh jenis kelamin, tetapi oleh kemampuan, integritas, dan komitmen untuk kebaikan bersama.
Dalam ilmu administrasi, pentingnya representasi yang beragam dalam kepemimpinan diakui sebagai faktor kunci untuk keberhasilan organisasi. Pemimpin wanita membawa perspektif berbeda yang dapat memperkaya pengambilan keputusan dan menciptakan solusi yang lebih komprehensif dan inklusif. Oleh karena itu, mendukung dan memilih pemimpin wanita yang profesional adalah langkah penting untuk mencapai tata kelola pemerintahan yang baik.
Kesimpulan
Keterlibatan ulama dalam politik praktis harus dilakukan dengan hati-hati dan berlandaskan pada prinsip keadilan dan kebenaran. Ulama harus menjaga integritas moral mereka dan menghindari politik praktis yang bisa merusak kredibilitas mereka. Selain itu, umat harus diajak untuk memilih pemimpin yang jujur dan kompeten tanpa bias gender, termasuk memberikan kesempatan yang sama kepada calon pemimpin wanita yang profesional.
Ulama memiliki peran penting sebagai pembimbing moral yang membantu umat untuk membuat keputusan yang bijak dan adil. Dengan menjalankan peran mereka secara profesional dan proporsional, ulama dapat membantu menciptakan masyarakat yang lebih harmonis, adil, dan sejahtera, sesuai dengan cita-cita baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Pemimpin yang jujur dan kompeten, baik pria maupun wanita, akan selalu mengutamakan kepentingan rakyat dan bekerja keras untuk mewujudkan keadilan sosial. Memilih pemimpin seperti ini adalah langkah awal menuju masa depan yang lebih baik bagi kita semua.
Referensi
1. Al-Ghazali, Imam. (2017). Ihya’ Ulum al-Din. Dar al-Kutub al-Ilmiyah
2. Esposito, John L. (2000). Islam and Politics. Syracuse University Press.
3. Hefner, Robert W. (2011). Shari’a Politics: Islamic Law and Society in the Modern World. Indiana University Press.
4. Nasr, Seyyed Hossein. (1987). Islamic Life and Thought. Albany: State University of New York Press.
5. Rahman, Fazlur. (2002). Islam & Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. University of Chicago Press.
6. Wadud, Amina. (1999). Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective. Oxford University Press.
7. Barlas, Asma. (2002). Believing Women in Islam: Unreading Patriarchal Interpretations of the Qur’an. University of Texas Press.