Palangka Raya (Dayak News) – PP GMKI dan DPP GAMKI sebagai organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan Kristen di Indonesia, kembali lagi melakukan Webinar Pemimpin Inspiratif melalui aplikasi zoom meeting, Jumat (18/3), sore.
Webinar Pemimpin Inspiratif kali ini menghadirkan Jaksa Agung RI, Prof. DR Sanatiar Burhanuddin SH, MH dan Ketua Komisi Kejaksaan Nasional, DR Barita LH Simanjuntak MH. Meskipun Barita tidak dapat hadir menyampaikan materinya akibat sedang dirawat karena sakit. Kegiatan ini dipandu tandem oleh Ketua Umum PP GMKI Jefri Gultom dan Sekretaris Umum DPP GAMKI Sahat MP Sinurat. Sambutan dibuka oleh pembina seri Webinar Pemimpin Inspiratif GMKI-GAMKI Maruarar Sirait. Tema Webinar kali ini mengangkat persoalan Mewujudkan Keadilan Substantif dalam Pemberantasan Tindak Pidana Mega Korupsi dan Penerapan Restorative Justice.
Jaksa Agung Burhanuddin dalam pemaparannya tentang beberapa hal penting upaya dari institusi penegakan hukum yang dipimpinnya, sejak Nopember 2019, dipilih oleh Presiden RI Jokowi untuk membenahi dan meningkatkan capaian Kejaksaan Agung RI di bidang hukum.
Dijelaskan Jaksa Agung, bahwa antara lain capaian yang sudah dilakukan sejak 20 Juli 2020. Penanganan kasus korupsi mencapai 2.772 kasus di seluruh wilayah hukum RI. Jumlah uang negara yang ditangani dari tindak pidana korupsi mencapai Rp35,6 triliun. Sedangkan penanganan kasus-kasus pidana melalui Restorative Justice mencapai 821 perkara. Istilah Restorative Justice atau Keadilan Restoratif ini adalah penanganan kasus-kasus pidana yang dipertimbangkan oleh Kejaksaan dapat diselesaikan di luar pengadilan dengan pertimbangan aspek-aspek budaya, logis dan menghemat pembiayaan penyidikan perkara melalui musyawarah dan mufakat pada pihak-pihak berperkara, baik dari pelaku, korban dan pihak-pihak terkait.
Kejaksaan Agung juga dikatakan Burhanuddin telah berhasil menyelamatkan aset negara dalam kurun waktu yang sama berupa perampasan senilai Rp496,46 miliar. Begitu pula dalam penanganan anggaran proyek pembangunan, institusi yang dipimpinnya berhasil menyelamatkan dari tindak pidana korupsi senilai pagu Rp289,7 triliun.
Dalam penanganan kasus-kasus perdata dan tata usaha negara (TUN) uang negara yang berhasil diselamatkan adalah Rp362,1 triliun. Begitu pula dalam pengejaran buronan pelaku pidana korupsi berhasil ditangkap 294 terdakwa.
Burhanuddin memaparkan bahwa penanganan tindak pidana korupsi sebagai jenis kejahatan luar biasa membutuhkan strategi penanganan yang juga melihat faktor-faktor perkembangan modus korupsi yang semakin canggih dan melibatkan aktor-aktor pelaku yang semakin banyak. Indeks Perilaku Korupsi menurut Transparansi Internasional menempatkan Indonesia dengan nilai 37 dan berada pada urutan 102 dari 180 negara di dunia. Dalam negara-negara yang tergabung di G-20 maka indeks persepsi korupsi Indonesia hanya lebih baik dari Rusia (30) dan Meksiko (31).
Keadilan Restoratif yang sedang gencar dilakukan oleh Kejaksaan Agung berdasarkan aturan Peraturan Jaksa Agung RI nomor 15/2020, diakui Burhanuddin masih belum kuat secara dasar hukum. Harapannya ke depan agar Keadilan Restoratif itu dapat dimasukkan pula dalam materi revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sehingga lebih kuat nantinya.
Bayangkan saja, dikatakan oleh Jaksa Agung itu, suatu kasus korupsi senilai kerugian negara Rp30 juta dilakukan di Pulau Nias, sementara Pengadilan Tipikor di ibukota Sumatra Utara, di Medan, berapa ongkos bolak-balik dan akomodasi dari TKP ke kantor persidangan di Medan, sudah lebih dari nilai perkara korupsinya. Hal inilah yang perlu dipikirkan melalui Keadilan Restoratif itu, bahwa penindakan pidana tetap dilakukan tetapi tidak perlu harus selalu dari ruang persidangan. Uang korupsinya tetap dikembalikan dan si pelaku itu juga tetap dikenakan pemidanaan badan (kurungan). Jadi karena pertimbangan logis melihat geografis wilayah kita tentu, dikatakan Burhanuddin, tidak memungkinkan pertimbangan jaksa penyidik untuk melimpahkan setiap kasus pidana korupsi dengan nilai kecil untuk disidangkan di pengadilan Tipikor yang biayanya jauh lebih besar dari nilai pidananya.
Jadi memang penindakan kasus-kasus pidana korupsi itu tidak selalu harus memakai pendekatan pemidanaan pelaku saja, tetapi perlu juga mempertimbangkan kepantasan dan kelayakan. Untuk kasus-kasus korupsi dengan nilai fantastis triliunan rupiah Kejaksaan juga berupaya mengejar aset-aset dari para pelaku sehingga ada efek jera bagi para pelaku dan menjadi contoh bagi calon-calon pelaku di kesempatan lain. (CPS)