Penulis:
1. dr. Dedianto, Sp.A., FRSPH, FISQua, FIHFAA
2. DR. H. Ahyar Wahyudi, S.Kep. Ns, M.Kep., CISHR, FISQua, FRSPH, FIHFAA
Pendahuluan
Penyakit ginjal diabetik (DKD) adalah salah satu kisah pilu dalam drama kesehatan yang sering kali luput dari perhatian kita. Pada halaman-halaman kehidupan anak-anak yang seharusnya penuh dengan canda tawa dan permainan, terselip kisah tentang jarum suntik, mesin dialisis, dan kunjungan rutin ke rumah sakit. Di balik statistik dan data epidemiologi, ada wajah-wajah muda yang harus bergulat dengan penyakit serius ini. Melalui narasi ini, kita akan menelusuri perjalanan mereka dengan pendekatan multidimensi, menggabungkan pandangan epidemiologi, patofisiologi, faktor risiko, diagnosis, serta strategi pencegahan dan pengelolaan DKD, sambil menganalisis secara kritis dari perspektif ilmu administrasi.
Epidemiologi Penyakit Ginjal Diabetik pada Anak-anak
Di seluruh dunia, peningkatan prevalensi diabetes pada anak-anak telah membawa kita pada kenyataan yang pahit: semakin banyak anak yang mengalami komplikasi serius seperti DKD. Menurut Hoogeveen (2022), sekitar 20-50% pasien dengan T1DM dan T2DM pada akhirnya akan mengembangkan DKD . Peningkatan ini bukan hanya sekadar angka, tetapi sebuah seruan bagi sistem kesehatan untuk lebih serius dalam pencegahan dan penanganan diabetes serta komplikasinya pada anak-anak.
Data dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengungkapkan fakta yang mengejutkan bahwa 1 dari 5 anak Indonesia berusia 12-18 tahun berpotensi mengalami kerusakan ginjal, yang ditandai dengan hematuria dan proteinuria dalam urine mereka (detikHealth, 2024). Fenomena ini bukan hanya angka statistik, tetapi cermin dari gaya hidup anak-anak kita yang semakin hari semakin mengkhawatirkan. Mereka hidup di dunia yang penuh dengan makanan cepat saji, minuman manis, dan gaya hidup yang minim aktivitas fisik.
Mekanisme Patofisiologi DKD pada Pasien Pediatrik
Di balik setiap diagnosis DKD pada anak-anak, terdapat cerita tentang bagaimana tubuh mereka berjuang melawan efek merusak dari hiperglikemia kronis dan hiperfiltrasi glomerulus. Pada T1DM, hiperglikemia kronis adalah antagonis utama yang merusak ginjal mereka, sementara pada T2DM, faktor-faktor seperti obesitas, hipertensi, dan dislipidemia ikut memperburuk keadaan (Tonneijck et al., 2017) . Hiperfiltrasi glomerulus, dengan tekanan kapiler intraglomerular yang meningkat, menjadi penanda utama dari kerusakan nefron yang perlahan namun pasti menghancurkan ginjal mereka.
Faktor Risiko dan Diagnosis DKD pada Anak-anak
Faktor risiko DKD pada anak-anak bukan sekadar daftar panjang yang harus dihafal, tetapi potret dari keseharian mereka. Kontrol glikemik yang buruk, hipertensi, obesitas, riwayat keluarga dengan DM atau DKD, serta faktor genetik dan etnisitas adalah beberapa dari banyak wajah dalam kerumunan penyebab DKD. Survei IDAI menemukan bahwa pola makan yang buruk dan kurangnya aktivitas fisik merupakan penyebab utama peningkatan risiko DKD pada anak-anak Indonesia (detikHealth, 2024). Dari perspektif administrasi kesehatan, pengembangan program pencegahan yang terintegrasi dan pemantauan rutin sangat penting untuk mengidentifikasi dan mengelola faktor risiko ini sejak dini.
Diagnosis DKD bukanlah vonis akhir, tetapi awal dari perjuangan baru. Melalui pengukuran albuminuria dan laju filtrasi glomerulus (GFR), kita dapat melihat lebih jelas kondisi ginjal anak-anak ini. Deteksi dini dan diagnosis tepat waktu adalah kunci untuk membuka jalan bagi intervensi yang dapat memperlambat atau bahkan mencegah perkembangan lebih lanjut dari DKD. Sistem kesehatan perlu memastikan ketersediaan sumber daya yang memadai serta sistem rujukan yang efisien untuk memastikan pasien mendapatkan penanganan yang tepat waktu.
Strategi Pencegahan dan Pengelolaan DKD pada Anak-anak
Strategi pencegahan dan pengelolaan DKD pada anak-anak adalah simfoni dari berbagai upaya yang terkoordinasi dengan baik.
Edukasi dan Promosi Kesehatan
Edukasi tentang pentingnya kontrol glikemik dan manajemen faktor risiko lainnya harus menjadi nada dasar dalam program pencegahan DKD. Administrasi kesehatan harus memastikan bahwa informasi ini dapat diakses dengan mudah oleh pasien dan keluarga melalui kampanye kesehatan, pelatihan, dan konseling.
Modifikasi Gaya Hidup
Program modifikasi gaya hidup yang mencakup diet sehat, aktivitas fisik yang teratur, dan pengurangan obesitas harus menjadi alunan yang terus menerus terdengar. Sekolah dan komunitas harus berperan aktif dalam mendukung inisiatif ini dengan menyediakan lingkungan yang kondusif untuk gaya hidup sehat.
Terapi Farmakologis
Penggunaan obat-obatan seperti inhibitor angiotensin-converting enzyme (ACE) dan angiotensin receptor blockers (ARBs) adalah instrumen penting dalam mengurangi progresi DKD. Administrasi kesehatan harus memastikan bahwa obat-obatan ini tersedia dan terjangkau bagi pasien yang memerlukannya.
Kesimpulan
DKD pada pasien pediatrik adalah kisah yang penuh dengan liku-liku dan tantangan. Dari perspektif ilmu administrasi kesehatan, pentingnya pendekatan yang terintegrasi dan berkelanjutan dalam pencegahan dan pengelolaan DKD tidak bisa diabaikan. Melalui edukasi, promosi kesehatan, modifikasi gaya hidup, dan terapi farmakologis yang efektif, kita dapat membantu anak-anak ini menulis bab yang lebih cerah dalam kisah hidup mereka. Studi lebih lanjut dan upaya kolaboratif antar sektor kesehatan, pendidikan, dan komunitas diperlukan untuk mencapai tujuan ini.
Referensi
1. Hoogeveen, E.K. (2022). The Epidemiology of Diabetic Kidney Disease. Kidney Dial, 2, 433-442. https://doi.org/10.3390/kidneydial2030038
2. Tonneijck, L., Muskiet, M.H., Smits, M.M., van Bommel, E.J., Heerspink, H.J., van Raalte, D.H., Joles, J.A. (2017). Glomerular Hyperfiltration in Diabetes: Mechanisms, Clinical Significance, and Treatment. Journal of the American Society of Nephrology, 28(4), 1023-1039. https://doi.org/10.1681/ASN.2016060666
3. Devandra, A.P. (2024). Viral Bocil-bocil ke RSCM Cuci Darah, Survei IDAI: 1 dari 5 Anak Berpotensi Gagal Ginjal. DetikHealth. Diakses dari https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-7454322/viral-bocil-bocil-ke-rscm-cuci-darah-survei-idai-1-dari-5-anak-berpotensi-gagal-ginjal