Aturan Pemilihan Rektor UPI Dinilai Cacat, SA Desak Revisi Pasal Kontroversial

oleh -
oleh
Aturan Pemilihan Rektor UPI Dinilai Cacat, SA Desak Revisi Pasal Kontroversial 1

Bandung (Dayak News) – Sembilan anggota Senat Akademik (SA) mendesak Majelis Wali Amanat (MWA) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) segera mengubah peraturan pemilihan rektor UPI periode 2025-2030. Alasannya, pada Peraturan MWA Nomor 1/2025 tentang Pemilihan Rektor UPI terdapat pasal yang berpotensi menciptakan konspirasi, bertentangan dengan nilai demokrasi, dan melanggar Statuta UPI.

“Pada awalnya kami sudah skeptis dan bahkan putus harapan bahwa pemilihan Rektor UPI akan berlangsung demokratis, berkeadilan, dan transparan. Soalnya, praktik sebelumnya dalam pemilihan anggota MWA UPI yang menggunakan metode one person nine vote di mana satu anggota SA memilih sembilan orang anggota MWA jelas menunjukkan fakta adanya konspirasi dan sangat antidemokrasi. Ini menciptakan hegemoni dan tirani mayoritas,” ungkap Elly Malihah, anggota SA UPI mewakili delapan anggota SA lainnya.

Harapan kemudian muncul saat Ketua MWA UPI Nanan Soekarna mencanangkan tagline values for value, full commitment, no conspiracy pada saat pengumuman perdana pemilihan rektor UPI. Elly memberikan apresiasi dan mendukung tekad Ketua MWA untuk mengimplementasikan slogan tersebut. Sembilan anggota SA yang nyaris putus asa tersebut lantas bersurat kepada Ketua MWA untuk meminta audiensi.

Setelah menunggu lebih dari setengah bulan, pertemuan dua organ universitas ini terjadi 15 April 2025. Pertemuan berlangsung di University Center UPI, dihadiri sembilan anggota SA yang berkirim surat dan seluruh anggota MWA UPI.

“Pada saat pertemuan kami menyampaikan bahwa pada Peraturan MWA Nomor 1/2025 terdapat pasal yang berpotensi menciptakan konspirasi, bertentangan dengan nilai demokrasi, dan melanggar Statuta UPI. Pasal 17 mengatur bahwa penyaringan bakal calon rektor dari banyak bakal calon menjadi tiga calon menggunakan pemungutan suara one person three vote. Metode ini akan menggiring permufakatan konspiratif untuk meloloskan tiga calon kartel dan mengenyampingkan calon pontesial di luar kartel tersebut,” tegas Elly.

BACA JUGA :  Hassanudin Resmi Jadi Pj Gubernur Sumatera Utara

Di samping itu, sambung Elly, pasal itu juga mengebiri suara Menteri (yang membidangi pendidikan tingggi) dari seharusnya 35 persen menjadi hanya satu suara. Padahal, pemilihan rektor adalah serangkaian kegiatan yang terdiri atas penjaringan, penyaringan, dan pemilihan rektor.

“Dengan demikian, hak istimewa 35 persen suara yang dimiliki pemerintah dan diwakili menteri seharusnya berlaku pada semua tahap tersebut. Karena itu, kami melihat peraturan MWA yang mengatur bahwa suara Menteri sama dengan anggota MWA lainnya cacat hukum,” ungkap Elly.

“Berdasarkan fakta tersebut, kami menuntut revisi Pasal 17 Peraturan MWA Nomor 1/2025 menjadi one person one vote dan Menteri memiliki 35 persen suara. Jika tidak ada perubahan, maka tagline ‘values for value, full commitment, no conspiracy’ hanyalah slogan kosong belaka. Tanpa perubahan pasal 17, peraturan MWA berpotensi delik hukum yang akan mengganggu proses penetapan rektor,” tambah guru besar Sosiologi Pendidikan tersebut.

Pendapat senada juga datang dari Nugara, guru besar bidang ilmu manajemen UPI. Menurutnya, demokrasi yang sehat bertumpu pada prinsip fundamental one man, one vote, di mana satu orang memiliki satu suara. Prinsip ini merupakan fondasi keadilan dan kesetaraan dalam pengambilan keputusan, khususnya di lingkungan institusi akademik seperti UPI.

“Praktik one man three vote pada pemilihan rektor UPI membuka ruang konspirasi kekuasaan. Kelompok mayoritas menyatukan kekuatan hanya dalam satu figur yang diberi banyak suara, sehingga hasil voting sudah bisa dikunci sebelum musyawarah benar-benar terjadi. Ini jelas mereduksi suara kelompok lain dan merupakan bentuk pengkhianatan terhadap nilai demokrasi,” tegas Nugraha.

Akibat dari praktik ini, sambung Nugraha, keputusan strategis di UPI -mulai dari pemilihan rektor, perencanaan anggaran, hingga proses pengawasan- menjadi sangat rentan dikuasai oleh kepentingan kelompok tertentu. Padahal, civitas akademika yang seharusnya memiliki hak representasi yang setara menjadi terpinggirkan.

BACA JUGA :  Kondisi Kondusif: Industri Manufaktur Indonesia Terus Berkembang Meski Ekonomi Global Melambat

“Jika satu orang bisa memiliki tiga atau sembilan suara, lalu di mana letak keadilan representatif bagi civitas akademika lainnya?” Karena itu, kami menyerukan reformasi sistem pemungutan suara di UPI, khususnya dalam penetapan anggota SA di tingkat fakultas, pemilihan anggota MWA oleh SA, dan dan pemilihan calon rektor oleh MWA,” tegas Nugraha. (Ist)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.