Oleh : Christian Sidenden (redaktur senior Dayak News)
Dayak News – Jika membaca konteks perpolitikan menjelang Pemilu Presiden (Pilpres), kita tak bisa sekedar melihat yang mengambang di atas permukaan saja. Ini yang saya kira seperti yang muncul dari pengamatan para ahli dan masyarakat ketika Gibran Rakabuming Raka akhirnya mendaftarkan diri bersama Capres Gerindra Prabowo pada hari kemarin Rabu (25/10).
Apakah Gibran itu dipecat dari partai politik dari mana dia berasal sekarang? Tidak juga. Justru ketika dia menghadap ke kantor DPP PDIP beberapa hari lalu, justru masih dianggap sebagai warga PDIP itu. Lihat saja foto ketika Gibran sedang bersama Wakil Ketua PDIP Komarudin Watubun dan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Apa Gibran dimarahin atau diancam diberhentikan dari partai? Tidak juga. Justru kesannya malah Gibran dipersilahkan terus maju.
Membaca politik di Indonesia saat ini tak bisa asal sebut dan menilai dari permukaan belaka. Lihat lebih dalam. Adakah sebuah partai kawakan seperti PDIP itu masih kentara untuk tidak suka dengan Gibran yang jadi cawapres bukan dari partai politik inangnya. Tidak sesederhana itulah menilai.
Saat ini justru PDIP di bawah Ibu Megawati Soekarnoputri sedang memainkan politik menaruh beberapa butir telur tidak di satu keranjang. Jika seandainya pasangan Capres-cawapres Prabowo Gibran ternyata menang itu artinya sayang politik PDIP tidak hilang. Itulah sebabnya Gibran tidak diapa-apakan oleh DPP partai banteng itu. Malah dibiarkan saja.
Justru yang aneh adalah reaksi dari para pengamat amatiran dan sensitif yang terlalu jauh menganggap hal ini sebagai pembangkangan atau pengkhianatan. Bukan, ini malah bagian dari permainan orkestrasi politik khas Indonesia modern guna mengurangi dampak segmentasi dan perpecahan identitas.
