Hardiknas Dan Krisis Karakter: Peringatan Atau Justru Peringatan!?

oleh -
oleh
Hardiknas Dan Krisis Karakter: Peringatan Atau Justru Peringatan!? 1
Muhamad Ishaac, S.Pd.I

Oleh: Muhamad Ishaac, S.Pd.I. (Guru Pendidikan Agama Islam SMA Negeri 1 Pangkalan Bun, Pakar Pendidikan Karakter)

Dayak News – Setiap tanggal 2 Mei, seluruh penjuru negeri serempak merayakan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) dengan berbagai seremoni dan slogan inspiratif. Lagu-lagu perjuangan menggema, pidato-pidato dibacakan, dan wajah para tokoh pendidikan dipajang kembali sebagai bentuk penghormatan. Namun, di balik semua kemeriahan itu, terselip satu pertanyaan tajam yang perlu kita ajukan bersama: Hardiknas ini sebenarnya sebuah peringatan — dalam arti merayakan — atau justru peringatan — dalam arti sinyal bahaya?

Di tengah gegap gempita selebrasi, gempuran era digital, derasnya informasi, dan kompleksitas kehidupan sosial, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa pendidikan kita sedang mengalami krisis yang tidak ringan. Salah satu yang paling mengkhawatirkan adalah krisis keteladanan. Anak-anak bangsa tidak kekurangan akses belajar, tetapi kekurangan panutan untuk diteladani. Mereka hidup di era serba terbuka, namun justru makin kehilangan arah moral. Dalam situasi ini, pertanyaan yang muncul bukan hanya siapa yang mendidik anak-anak kita, tetapi juga siapa yang menjadi teladan bagi mereka?

Keteladanan yang Memudar di Tengah Arus Deras Informasi dan Disrupsi Digital

Ki Hadjar Dewantara telah menanamkan nilai bahwa pendidikan bukan semata transfer ilmu, tetapi proses pembentukan manusia seutuhnya. Dalam pandangan beliau, pendidik adalah pribadi yang menuntun dengan keteladanan. Sayangnya, dalam iklim kehidupan yang serba cepat, pragmatis, dan kompetitif saat ini, ruang untuk menghadirkan keteladanan makin menyempit.

Krisis keteladanan tidak bisa dilepaskan dari fenomena sosial media yang mendominasi kehidupan remaja dan anak-anak. Platform digital yang semula menjadi sarana ekspresi dan pembelajaran, kini juga menyajikan konten yang mempengaruhi persepsi anak terhadap nilai, norma, dan moralitas. Figur-figur populer di jagat maya dengan mudah menjadi role model, meskipun nilai yang mereka tampilkan tidak selalu sejalan dengan prinsip pendidikan karakter. Budaya instan, glorifikasi gaya hidup konsumtif, serta normalisasi perilaku yang melanggar etika sering kali diserap tanpa filter oleh generasi muda.

BACA JUGA :  Kembali Maju Drs. H. Mukhtarudin : Dari Daerah untuk Indonesia

Namun penting ditekankan: guru tidak pernah kehilangan idealismenya. Mereka tetap menjadi garda terdepan dalam mendidik karakter bangsa dan keteladanan bagi para siswa-siswinya. Jika hari ini keteladanan terasa pudar, bukan karena guru gagal mendidik, tetapi karena guru seringkali dibiarkan berjalan sendiri menghadapi beban besar yang tidak selalu sepadan dengan dukungan yang diterima. Guru dituntut untuk melahirkan generasi unggul, kreatif, berkarakter, dan siap menghadapi abad 21. Tapi pada saat yang sama, mereka masih dibebani pekerjaan administratif yang menyita energi, serta dihadapkan pada sistem yang kadang berubah terlalu cepat tanpa ruang adaptasi yang cukup. Keteladanan guru tidak pernah hilang, hanya saja ruang untuk menampilkannya seringkali terdesak oleh sistem yang belum sepenuhnya memihak pada nilai-nilai kemanusiaan dalam pendidikan.

Sekolah, Rumah, dan Masyarakat: Tanggung Jawab Bersama, Bukan Beban Satu Pihak

Sering kali pendidikan karakter dibebankan sepenuhnya kepada sekolah, seolah-olah guru bisa menyelesaikan segalanya sendiri. Padahal, karakter seorang anak dibentuk dalam jejaring lingkungan yang kompleks: rumah sebagai tempat pertama dan utama, sekolah sebagai wahana pembelajaran formal, serta masyarakat sebagai ruang implementasi nilai-nilai sosial. Ketika rumah kehilangan fungsi dialog, karena orang tua lebih sibuk dengan urusan ekonomi atau perangkat digital, dan masyarakat tidak lagi memberikan contoh yang baik, maka sekolah akan kewalahan. Dalam kondisi demikian, peran guru menjadi sangat berat. Mereka dituntut membentuk karakter murid, padahal nilai-nilai yang ditanamkan bisa dengan mudah terbentur oleh pola asuh yang tidak sejalan atau lingkungan sosial yang permisif.

Apalagi ketika media sosial memperkuat arus budaya populer yang mengabaikan norma sopan santun, meremehkan proses, serta menyuburkan mentalitas sensasional. Anak-anak didorong untuk mencari validasi bukan dari nilai-nilai luhur, tetapi dari jumlah pengikut dan jumlah suka. Dalam realitas ini, guru dan sekolah harus bekerja lebih keras untuk mempertahankan makna pendidikan karakter yang sejati. Oleh karena itu, pendidikan karakter yang efektif hanya mungkin terwujud jika semua pihak terlibat secara nyata dan konsisten. Pemerintah, orang tua, tokoh masyarakat, dan media memiliki peran besar dalam membentuk “ekosistem keteladanan” yang sehat. Guru tidak boleh lagi dibiarkan sendiri.

BACA JUGA :  Apakah Kita Terkecoh Selama ini dengan Jokowi Effect?

Pendidikan Karakter: Bukan Tambahan, Melainkan Nafas dari Pendidikan Itu Sendiri

Pendidikan karakter selama ini sering dimaknai secara sempit, bahkan formalistik. Ia dianggap sebagai mata pelajaran tersendiri, atau kegiatan tambahan di luar pelajaran inti. Padahal, karakter harus hidup dan hadir dalam setiap aspek kehidupan sekolah dan relasi antar warga pendidikan. Menumbuhkan karakter seperti integritas, tanggung jawab, empati, dan cinta tanah air tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat, apalagi hanya melalui ceramah. Ia harus dibangun dalam atmosfer yang konsisten: dalam cara guru berinteraksi dengan siswa, dalam cara sekolah mengambil keputusan, hingga dalam cara masyarakat memberikan penghargaan terhadap nilai-nilai luhur. Guru adalah elemen penting dalam pembentukan karakter tersebut. Namun mereka juga manusia biasa, yang membutuhkan keteladanan dari atasannya, perlindungan dari sistem, dan penghargaan dari masyarakat. Menuntut guru menjadi teladan tanpa memberi ruang untuk mereka tumbuh adalah ketidakadilan yang diam-diam menggerus semangat pengabdian.

Dari Peringatan Menuju Kesadaran Kolektif

Hardiknas 2025 tidak boleh hanya menjadi seremoni tahunan. Ia harus menjadi refleksi bersama, bahwa pendidikan bukan hanya tugas guru dan sekolah, tetapi tanggung jawab seluruh bangsa. Keteladanan bukan hanya dibutuhkan oleh murid, tetapi juga oleh guru, orang tua, pemimpin, dan seluruh masyarakat. Dalam dunia yang penuh distraksi, anak-anak membutuhkan figur yang bisa mereka teladani secara utuh. Sosok yang konsisten antara kata dan perbuatan. Dalam konteks ini, guru tetap menjadi harapan. Tapi harapan itu hanya akan tumbuh jika kita bersama-sama menjaga dan menguatkan guru, bukan menambah beban mereka.

Kita harus bergerak dari logika menyalahkan ke logika memberdayakan. Dari logika instruksi ke logika keteladanan. Dari logika seremoni ke logika transformasi. Karena pada akhirnya, pendidikan yang sejati lahir dari ketulusan, kesabaran, dan kekuatan nilai — tiga hal yang hari ini masih hidup dalam diri para guru di seluruh penjuru negeri. Selamat Hari Pendidikan Nasional 2025! Semoga pendidikan kita semakin memuliakan manusia, menguatkan karakter, dan menghidupkan kembali semangat keteladanan di setiap lini kehidupan. (*)

BACA JUGA :  Transparansi yang Terkoyak: Modus Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa di Indonesia (Perspektif Ilmu Administrasi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.