Program MBG Memang Tak Bisa Sekaligus

oleh -
oleh
Program MBG Memang Tak Bisa Sekaligus 1
foto ilustrasi (ist)

Oleh : Christian Sidenden (Redaktur Senior Dayak News)

Dayak News – Mencermati sikap pesimis dan kritis terhadap program Makan Bergizi Gratis (MBG) dari pemerintah pusat, dapat dipahami.

Penolakan ini, seperti yang dicerminkan melalui demo-demo mahasiswa dan juga termasuk oleh anak-anak didik itu sendiri. Misalnya, di Papua, ada anak-anak didik di bangku SMP yang lebih memilih biaya sekolah gratis ketimbang MBG.

Program MBG Memang Tak Bisa Sekaligus 2
foto ilustrasi (ist)

Seperti yang kita ketahui, biaya pengadaan dan proses penyediaan MBG ini sementara ini jadi persoalan utama. Hal mana disebabkan oleh luasan cakupan se-Indonesia dan jumlah anak didik yang mau disasari oleh program ini.

Bahkan seorang gubernur terpilih, di Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengatakan akan jauh lebih efektif untuk memberi saja ibu dari anak-anak didik itu uang Rp15 ribu untuk menyediakan makanan bergizi itu. Dari pada pemerintah yang mengurusinya, sedangkan kerumitan di lapangan itu muncul, untuk menyediakannya setiap hari sekolah. Dedi melihat dari contoh MBG yang sudah dijalankan simulasinya, di wilayahnya, rentan justru membuat bosan selera anak-anak didik. Katanya, kita harus lebih percaya bahwa ibu-ibu anak-anak ini yang lebih tahu selera anak-anak mereka. Jadi, biarlah kita memberi saja, ujar Dedi, nilai biaya penyediaan MBG itu pada ibu-ibu anak-anak itu.

Belum lagi, jika tinjauan suara dari beberapa pihak lain, yang menyoroti beda kultur dan tingkat pendapatan keluarga, di masing-masing daerah. Tentu tidak mungkin menyamakan antara pola makan anak-anak di daerah Jawa dan anak-anak di daerah Papua sana. Di Jawa itu kultur masyarakat itu sudah relatif lebih maju dan variasi perolehan sumber makanan itu jauh lebih besar, dibanding dengan di Papua. Oleh karenanya, angka kebutuhan gizi anak-anak dari masing-masing daerah itu beda-beda.

BACA JUGA :  Memberi Rasa Aman Personel Polsek Jelai Melaksanakan Pengamanan Sholat Terawih

Sehingga cerminan demo-demo penolakan dan suara kritis ini, memang tidak bisa dikesampingkan oleh pemerintah. Justru itulah bentuk masukan dari bawah, yang harus menjadi bahan pertimbangan dari pemerintah.

Ketika pemerintah pusat, setelah memperoleh bahan pembanding dari negara-negara lain yang pernah melakukan program serupa, dan berhasil. Hal itu tidak berarti cara metode dari negara-negara, seperti di Tiongkok, Jepang, atau Taiwan itu lebih baik dan tinggal mencontohnya. Melainkan harap juga diperhatikan bagaimana kondisi ril di negara-negara tersebut yang berbeda dari negara kita. Tiongkok itu, misalnya, meskipun jenis negara padat penduduk, seperti Indonesia, tetapi kultur budaya mereka itu relatif homogen. Sehingga ini mempermudah pemerintah untuk melakukan program MBG itu. Pola makan dan jenis makanan masyarakat di Tiongkok itu relatif lebih homogen.

Sementara di Indonesia, yang terpisah-pisah oleh pulau-pulau, maka ada perbedaan kultur makan itu. Jika di Indonesia bagian Barat itu memang bahan sumber karbohidrat itu bisa beras, maka di bagian Timur bahan sumber itu bisa dari tepung sagu dan jagung.

Oleh karenanya, lebih baik pemerintah pusat melakukan kaji ulang atas biaya satuan, model dan bentuk MBG ini. Tidak perlu juga terburu-buru harus langsung di seluruh Indonesia dalam satu waktu. Mungkin juga, lebih baik, diambil saja daerah percontohan per 10 provinsi dulu di tahun pertama pemerintahan. Lebih mudah dikontrol dan dilihat kekurangannya dalam proses trial and error. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.