Palangka Raya (Dayak News)– Situs Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB), menyebutkan bahwa layanan pembuatan Surat Pengakuan Hak Tanah Usaha seperti juga Surat Pernyataan Tanah (SPT) atau Surat Keterangan Tanah (SKT).
Terdapat 9 (sembilan) langkah prosedur pengurusan SPT/SKT di tiap kelurahan dan kecamatan seperti yang dijelaskan oleh contoh situs Kemen PAN-RB https://sippn.menpan.go.id/pelayanan-publik/8108905/kecamatan-kemuning/pencatatan-surat-tanah-surat-pengakuan-hak-sph
Tanah yang belum memiliki sertifikat sangat rentan terhadap konflik. Ini pun menjadi lahan subur bagi mafia tanah untuk melakukan aksinya.
Jika memiliki tanah tanpa sertifikat, maka pemilik harus membuat surat pernyataan kepemilikan supaya terhindar dari potensi konflik.
Berikut ini langkah prosedur pengurusannya:
- Berkas-berkas persyaratan masuk;
- Verifikasi berkas oleh Kasi Pemerintahan;
- Verifikasi lapangan;
Pembuatan Berita Acara Verifikasi lapangan; - Pengetikan Surat Pengakuan Hak Tanah Usaha ;
- Kasi Pemerintahan dan Sekcam meneliti, mengoreksi dan memberikan paraf;
- Pengagendaan surat, pemberian nomor dan cap / stempel;
- Surat Pengakuan Hak dan Surat Pengoperan
- Hak Tanah Usaha selesai dan diserahkan oleh petugas kecamatan kepada pemohon;
- Pengarsipan berkas.
SKT bisa dibilang bukti kepemilikan yang dibuat di bawah tangan. Oleh karena itu, kedudukannya di mata hukum lemah. Namun, masih bisa dijadikan sebagai alat bukti di pengadilan jika suatu waktu ternyata ada konflik atau sengketa. Seperti yang ditulis dalam link berikut https://www.rumah123.com/panduan-properti/tips-properti-90771-contoh-surat-pernyataan-kepemilikan-tanah-id.html.
Ketua LSM Kalteng Watch anti Mafia Tanah, Ir. Men Gumpul Cilan, mengatakan bahwa SKT/SPT sering menjadi obyek bagi Mafia Tanah mengincar lokasi-lokasi strategis di Kota Palangka Raya. Terutama, menurutnya terjadi di kawasan perbatasan antara Kelurahan Kalampangan dan Kelurahan Sabaru di Kecamatan Sabangau.
Persoalan klaim mengklaim dan gugat menggugat obyek tanah di wilayah ini, menurut Men Gumpul dikarenakan Mafia Tanah bermaksud memalsukan dan atau menyerobot lahan-lahan yang sudah diduduki dan dikerjakan oleh orang lain. Sedangkan dulunya sebagian besar wilayah itu adalah hutan saja. Otomatis yang berlaku adalah siapa yang dulu membuka lahan dan mengerjakannya, itulah yang berhak mengurus SKT/SPT seperti yang berlaku.

Men Gumpul yang sedang menjadi kuasa pengurusan klaim kepemilikan dari 74 orang petani/penggarap lahan bekas tanah negara di Kelurahan Sabaru, yaitu Kelompok Tani Lewu Taheta, sedang digugat oleh sekelompok orang yang entah dari mana datang mengklaim 150-an Hektar lahan Kelompok Tani Lewu Taheta itu. Apalagi itu dikatakan Men Gumpul, dilakukan dengan alasan penyelidikan (Lidik) dari aparat penegak hukum. Ia mempertanyakan apanya yang dilidik? Sebab kelompok tani ini mengerjakan lahan yang dulunya, tahun 2018, tidak pernah diduduki orang lain alias masih hutan.
Justru yang dipertanyakan oleh Men Gumpul itu adalah mengapa ada satu dua orang di wilayah itu, bisa memiliki ratusan Hektar lahan atas nama pribadi, isteri, dan keluarganya. Coba itu yang diperiksa oleh aparat penegak hukum, dari mana orang itu bisa memperoleh lahan seluas itu, dari mana riwayatnya, ujar Men Gumpul lagi.
Guna memastikan lahan 150-an hektar milik Kelompok Tani Lewu Taheta itu masuk Kelurahan Sebaru maka telah diinisiasi oleh pihak kantor kelurahan, membentuk Rukun Tetangga (RT) dalam wilayah Rukun Warga (RW) 01 setempat. Karena memang berdasarkan peraturan daerah, lahan mereka masuk Kelurahan Sebaru. (CPS)