Palangka Raya (Dayak News) – Ombudsman RI telah menyelesaikan Kajian Sistemik (Systemic Review) Tata Kelola Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan mengambil sampel di lima provinsi, yakni Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara. Kajian ini dilakukan sebagai upaya pencegahan maladministrasi dalam tata kelola pertambangan nasional.
“Kajian ini memuat temuan, kesimpulan serta saran perbaikan regulasi tata kelola IUP kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Menteri Investasi/ Kepala Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dan Menteri Keuangan,” kata Anggota Ombudsman RI Hery Susanto, pada penyampaian pers rilis di Jakarta, baru-baru ini.
Dijelaskan Hery, kajian sistemik ini selain untuk mencegah maladministrasi, juga bertujuan untuk mencegah terjadinya laporan berulang masyarakat mengenai IUP.
“Permasalahan dalam proses perizinan tata kelola IUP diawali sejak perizinan masih di tingkat kabupaten/kota, kemudian dialihkan kewenangannya ke provinsi pada tahun 2015, lalu pada tahun 2020 kewenanganya ditarik ke pemerintah pusat. Salah satu permasalahan yang muncul adalah tidak clean and clear-nya IUP pada saat proses peralihan kewenangan tersebut,” ungkap Hery.
Dia menambahkan, peralihan kewenangan IUP ke pemerintah pusat telah terjadi berbagai permasalahan dalam hal maladministrasi. Antara lain, penundaan berlarut, diskriminatif dan tidak memberikan pelayanan.
“Pengalihan kewenangan izin usaha pertambangan dari pemerintah daerah kabupaten/kota kepada pemerintah provinsi dan pusat masih ditemukan tidak memenuhi asas profesional, ketelitian dan transparansi,” imbuh Hery.
Ombudsman menemukan bahwa pada proses pencatatan, administrasi dan kearsipan tidak memadai, sehingga sulit mencari dan mengakses data pertambangan di tingkat kabupaten/kota dan provinsi.
Hal itu terjadi karena adanya perbedaan standard pelaksanaan pengalihan kewenangan. Ombudsman juga menemukan adanya kendala teknis pada Online Single Submission (OSS) sebagai sistem perijinan terpadu berbasis elektronik.
Dia melanjutkan, Keputusan Menteri ESDM Nomor 15.K/HK.02/MEM.B/2022 yang mengatur tentang pembatasan laporan dari segi waktu dan masih aktifnya IUP cenderung bersifat diskriminatif.
Kesimpulan hasil kajian pada aspek regulasi, ketentuan pada Kepmen ESDM tersebut pada diktum empat huruf b, membatasi klasifikasi pelapor dengan menentukan batas waktu belum lewat dua tahun sejak pertama kali permohonan perizinan pada saat Izin Usaha Pertambangan masih berlaku sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak didasarkan oleh ketentuan yang tepat dan perlu dilakukan revisi.
“Ombudsman mengacu pada Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman RI yang mengamanatkan laporan masyarakat harus memenuhi persyaratan. Peristiwa, tindakan atau keputusan yang dikeluhkan atau dilaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum lewat 2 (dua) tahun sejak peristiwa, tindakan, atau keputusan yang bersangkutan terjadi. Jadi tidak dibatasi hanya untuk IUP yang masih berlaku,” ujarnya.
Ombudsman memberikan catatan terkait Surat Edaran Nomor 1.E/HK.03/MEM.B/2022 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2022 Tentang Pendelegasian Pemberian Perizinan Berusaha di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara.
“Surat edaran tersebut ditujukan kepada Gubernur, Kepala Dinas yang membidangi urusan energi dan sumber daya mineral serta kepala Dinas PMPTSP untuk memproses perizinan dan mengatur masa transisi. Namun dalam Surat Edaran dimaksud tidak secara jelas mengatur pengawasan, penanganan pengaduan dan permasalah lingkungan terkait dengan pendelegasian izin tersebut,” terang Hery.
Menurutnya, Surat Edaran tersebut hanya ditujukan kepada ketiga pihak di atas, tanpa ditujukan kepada Dinas Lingkungan Hidup, dan tidak ditembuskan kepada Menteri LHK. Hal ini menjadi permasalahan tersendiri dengan memisahkan antara regulasi pertambangan dengan regulasi lingkungan hidup sebagai persyaratannya.
Kedua, agar Kementerian ESDM secara aktif memberikan informasi yang transparan kepada pemohon penerbitan, pencatatan atau perpanjangan izin usaha pertambangan mengenai tindak lanjut laporannya dan hal-hal yang perlu dilengkapi dengan sistem penanganan laporan pertama (first come first served).
Kemudian, Ombudsman RI meminta Menteri Investasi Bersama Menteri ESDM agar melakukan penyempurnaan sistem dan peningkatan keandalan sistem perizinan berusaha Online Single Submission Risk Based Approach (OSS – RBA) terkait izin usaha pertambangan.
Sedangkan kepada Menteri LHK bersama Menteri ESDM diminta mempercepat proses integrasi pengurusan perizinan/ persetujuan lingkungan dengan data izin usaha pertambangan yang terkoneksi dengan OSS RBA.
“Sistem tersebut untuk memudahkan evaluasi dan monitoring terpadu terhadap izin usaha pertambangan dari aspek teknis dan lingkungan,” imbuh Hery.
Kepada Menteri Keuangan untuk berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk meningkatkan transparansi perhitungan target dan realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) SDA Minerba serta perhitungan dan penyaluran Dana Bagi Hasil (DBH) SDA Minerba melalui optimalisasi pelaksanaan kegiatan bedah kertas kerja tentang perhitungan realisasi dengan melibatkan stakeholder termasuk pemerintah daerah. Kedua, agar mempercepat realisasi pembayaran kurang bayar DBH dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
Terkait kesimpulan kajian Ombudsman RI ini, Kepala Perwakilan Ombudsman Kalimantan Tengah (Kalteng) R Biroum Bernardianto akan melakukan tindak lanjut dengan melakukan komparasi antardaerah.
Menurut Biroum, kelima provinsi yang menjadi sampel kajian sistemik tentang perijinan pertambangan itu tentunya memiliki karakteristik tersendiri.
Dia berharap, pihak-pihak terkait usaha pertambangan di Kalteng mencermati hasil kajian tersebut untuk menghindari kemungkinan terjadinya maladministrasi ijin pertambangan di daerah ini. (din)