Pangkalan Bun (Dayak News) — Di tengah arus modernisasi dan perubahan gaya hidup masyarakat, prosesi adat dalam acara perkawinan masih menunjukkan eksistensinya sebagai bagian penting dari identitas budaya. Hal ini tergambar jelas dalam prosesi pernikahan adat Kesultanan Kutaringin yang digelar pada Senin, 14 April 2025, di Istana Kuning, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah.
Pasangan mempelai Tengku Malinda dan Azis Husein menjadi pusat perhatian dalam sebuah acara yang tidak hanya sarat akan nilai sakral pernikahan, tetapi juga penuh dengan simbolisme budaya dan adat istiadat yang telah diwariskan secara turun-temurun oleh Kesultanan Kutaringin.
Prosesi dimulai sejak pagi hari, diawali dengan arak-arakan mempelai pria yang diiringi dengan lantunan Hadrah, menghadirkan suasana khidmat sekaligus meriah. Ketika rombongan tiba di gerbang istana, mereka dihadapkan pada sebuah ritual simbolik: melewati ‘pagar pertahanan Kutamara’ yang dijaga oleh para pendekar dari pihak mempelai wanita.
Bagian paling ikonik dari tradisi ini adalah pemotongan batang pohon pisang yang dipasang di gerbang sebagai simbol penghalang. Pohon tersebut harus ditebas oleh mempelai pria atau wakilnya sebagai bentuk pembuktian atas keberanian, kesungguhan, dan kesiapan memikul tanggung jawab sebagai kepala keluarga.
“Ini bukan hanya sekadar pertunjukan, tapi mengandung makna mendalam. Bahwa setiap lelaki yang hendak menikah harus berani dan siap menanggung tanggung jawab sebagai pemimpin dalam rumah tangga,” tutur salah satu tokoh adat yang hadir.
Bangsal utama Istana Kuning, tempat dilangsungkannya prosesi, kembali menjadi saksi betapa adat dan budaya masih hidup di tengah masyarakat. Menurut Gusti H. Kadran, salah seorang kerabat Kesultanan, bangsal ini memang terbuka bagi masyarakat umum yang ingin melaksanakan hajatan, asalkan tetap menjunjung tinggi tata krama dan adat yang berlaku.
“Bangsal ini terbuka untuk siapa saja yang ingin menggelar resepsi, asalkan menghormati nilai-nilai adat yang berlaku dan mendapatkan persetujuan dari pihak istana,” ujar Gusti H. Kadran kepada awak media.
Para tamu yang hadir juga tampak mengenakan pakaian tradisional dengan motif khas Kesultanan. Mempelai wanita tampil anggun dalam busana adat berwarna keemasan, lengkap dengan hiasan kepala bertatahkan manik-manik dan sulaman tradisional. Sementara mempelai pria mengenakan busana merah dengan songket, mencerminkan kehormatan dan kebesaran budaya lokal.
Antusiasme masyarakat dan tamu undangan yang menyaksikan prosesi ini, khususnya generasi muda, menjadi penanda bahwa adat istiadat masih memiliki tempat di hati mereka. Salah satu pemuda yang hadir, Pahmi, mengungkapkan rasa bangganya bisa menyaksikan langsung prosesi adat Kutamara.
“Saya bangga dengan masih lestarinya adat budaya kesultanan. Jarang-jarang melihat prosesi adat seperti ini di zaman modern. Semoga adat dan budaya seperti ini terus ada dan lestari di Kobar,” ujarnya penuh semangat.
Prosesi adat ini tidak hanya menjadi pelengkap pernikahan, tetapi juga cermin dari kekayaan budaya lokal yang harus dijaga. Di saat banyak budaya tradisional mulai tergerus zaman, masyarakat Kotawaringin Barat menunjukkan bahwa modernitas tidak harus menghapus warisan leluhur.
Sebaliknya, budaya lokal dapat hidup berdampingan dengan perkembangan zaman—menjadi identitas yang menguatkan, bukan membatasi.(GUSTI).