Palangka Raya, 17/9/2020 (Dayak News). Keberadaan proyek food estate yang konon akan dimulai tahun ini, dipertanyakan oleh Simpul Pantau Gambut.
Dalam sebuah diskusi Webinar bertajuk food estate reborn 2020: Untuk Siapa? Kamis siang (17/9/2020) meneropong rencana itu dengan lebih mendalam.
Diskusi dimoderatori oleh Dimas Hartono (Kordinator Simpul Pantau Gambut), dengan para pembicara antara lain
Dr. Agustin Teras Narang (Ketua Komite I DPD-RI),
Soraya Afiff (Dosen Antropologi UI),
Alma Adventa (Pengamat Lingkungan Hidup Kalteng), dan
Muliadi (Yayasan Petak Danum).
Soraya Afiff dan Muliadi menegaskan “keraguan” atas megaproyek ini dengan melihat kebingungan atas siapa penanggungjawab dalam pelaksanaannya. Siapa yang akan mengambil manfaat terbesar dari perjalanan proyek ini?
Sementara Alma lebih melihat pada rehabilitasi eks Proyek Lahan Gambut (PLG) tahun 1995 lalu belum sepenuhnya terjadi. Lahan eks PLG itu masih diserahkan sebagian pada investor perkebunan besar swasta sebab dulu dibiarkan terbengkalai.
Seperti dipaparkan Soraya, untuk jelasnya proyek ini apakah merupakan tanggungjawab langsung dua kementerian (Pertanian dan Pertahanan Nasional) atau diurus oleh sejenis korporasi (BUMN) yang dibentuk khusus.

Lalu bagaimana model ikatan kerja antara korporasi itu dengan masyarakat yang akan bekerja di situ? Hal seperti ini harus terbuka untuk diketahui.
Sedangkan A. Teras Narang memandang proyek ini memang sebagai bagian dari penyiapan penyediaan pangan yang menurut Food and Agriculture Organisation (FAO). Krisis penyediaan pangan dalam keadaan pandemi Covid-19 itu yang menjadi konsern dari pemerintah pusat. Kita perlu berpikir positif atas rencana awal dari Pemprov Kalteng untuk menyiapkan 130 ribu Ha lahan di Kabupaten-kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau.
Soraya mempertanyakan seperti bagaimana pelibatan masyarakat Kalteng yang harusnya memperoleh manfaat dari proyek ini karena diadakan di daerah mereka. Ia menyebut pemerintah pusat harus transparan soal rencana transmigrasi penduduk dari luar Kalteng. Jangan sampai justru masyarakat asli Kalteng itu, seperti dulu, disingkirkan.
Selain itu sempat disinggung agar model padat karya yang khas dari setiap proyek pertanian, bisa diseimbangkan dengan mekanisasi yang lebih menghemat waktu kerja dan biaya.
Proyek sebaik apapun maksud dan tujuannya alangkah lebih baiknya selalu mendengarkan semua pihak sebelum dilaksanakan. Pertimbangan yang masak dan pelibatan semua pengampu kebijakan menjadi kunci suksesnya proyek ini. (CPS)