Ketahanan Pangan oleh Peladang, Bukan Solusi Palsu Food Estate

oleh -
oleh
Ketahanan Pangan oleh Peladang, Bukan Solusi Palsu Food Estate 1

Palangka Raya (Dayak News) – Pemerintah harus menghentikan dan mengevaluasi proyek food estate di Kalimantan Tengah. Food estate tidak menjawab kebutuhan dan tantangan pemenuhan pangan masyarakat Kalimantan Tengah.

Dalam Press Release yang diterima redaksi Dayak News. Selasa (17/10/2023). Walhi Kalimantan Tengah berpendapat bahwa, Proyek Ini Justru Hanya Memperparah Krisis Ekologis Yang Menjadi Pemicu Kebakaran Hutan Lahan Dan Bencana Polusi Asap, Kegiatan Pertanian Dengan Food Estate Hanya Akan Merusak Ekositem Hutan Dan Gambut Di Kalimantan Tengah.

Produksi beras pada 2022 untuk konsumsi pangan penduduk mencapai 204,29 ribu ton, mengalami penurunan sebanyak 22,14 ribu ton atau 9,78 persen dibandingkan produksi beras di 2021 yang sebesar 226,43 ton. Cita-cita dan narasi ketahanan pangan oleh pemerintah melalaui program strategis nasional food estate tidak menjawab tantangan pangan bagi masyarakat kususnya masyarakt adat terutama wilayah Kalimantan Tengah.

Karena akar masalah ketahanan pangan di Kalimantan tengah adalah perlindungan dan pengakuan pemerintah terhadap lahan pertanian serta praktek pertanian yang dilakukan oleh petani peladang. kondisi hari ini yang menjadi fakta di kampung-kampung adalah semakin banyak lahan pertanian produktif untuk pangan yang beralhi fungsi menjadi lahan perkebunan atau lainya karena di berikan izin kepada investasi lahan skala luas.

Selain itu alih fungsi lahan pertanian juga terjadi karena pembatasan bahkan pelarangan praktek sistem pertanian lokal oleh aturan dan kebijakan pemerintah, hal ini menjadi tantangan utama masyarakat adat terkait pemenuhan dan ketahanan pangan di Kalimantan Tengah.

Berdasrkan data Kementerian Pertanian 2020, tentang satistik lahan pertanian tahun 2015-2019 menyatakan bahwa periode 2015-2017 mengalami penurunan.

Pada 2015 luas lahan untuk pertanian 17.185 hektar, lalu 2016 luas lahan menurun menjadi 15.085 hektar, dan di 2017 semakin menurun sampai 13.850 hektar.Alih-alih menjawab akar masalah ketahanan pangan pemerintah malah datang dengan solusi palsu melalui pengembangan pangan food estate, yang mana sistem pertanian tersebut bertolak belakang dengan kondisi sosial dan lingkungan di kalimantan tengah, fakta dan kondisi di lapangan setelah tiga tahun berjalannya food estate dapat disimpulkan gagal, dan semakin diperparah dengan rencana pengembangan food estate di lokasi-lokasi lainya yang akan semakin mengacam ekosistem hutan,gambut dan lahan masyarakat khususnya masyarakat adat.

Hal ini terbukti dengan kejadian kebakaran hutan dan lahan tahun 2023 dimana lokasi food estate di kabupaten kapuas dan pulang pisau baik intensifikasi dan ekstensifikasi menjadi penyumbang luasan karhutla dan polusi asap di Kalimantan Tengah.

Bayu Herinata Direktur WALHI Kalimantan Tengah mengatakan “hutan yang merupakan sumber penghidupan dan lahan sebagai alat produksi pangan yang dikelola dan dimanfaatkan oleh masyarakat adat khususnya peladang, dirubah menjadi lahan pertanian pangan monokolutur skala luas seperti food estate yang mana sangat berbeda dengan sistem dan pola produksi pangan yang dilakukan selama ini, hal ini hanya akan semakin meminggirkan dan memarjinalkan petani peladang dalam konteks pemenuhan dan ketahanan pangan yang saat ini menjadi tantangan utama mereka.

“Selain itu konsep pengembangan pangan dengan food estate yang tidak sesuai dengan fungsi ekosistem gambut juga berdampak terhadap lingkungan, kerusakan lingkungan semakin besar terjadi pada ekosistem gambut yang menjadi lokasi-lokasi lahan food estate. karena sistem pertanian yang dilaksanakan dalam food estate menyebabkan penurunan sampai kerusakan fungsi gambut yang mengakibatkan karhutla dan polusi udara seperti asap.

Pemerintah harusnya bisa melihat akar masalah dari kerusakan lingkungan yang terjadi di Kalimantan Tengah, bukan karena masyarakat adat khususnya petani yang menyebabkan kerusakan lingkungan seperti karhutla, tapi perusahaan-perusahaan besar yang mengkonversi hutan dan lahan menjadi tanaman monokultur skala luas seperti sawit atau pun hutan tanaman industri” tambahnya.

Setelah bencana kabut asap yang terjadi pada 2015, banyak petani/peladang yang mengalami kriminalisasi karena dituduh menjadi penyebab karhutla dan berujung larangan membakar ladang, seharusnya kearifan lokal masyarakat dilindungi.

“Terkait dengan perlindungan, penting untuk mendukung praktek-praktek yang dilakukan oleh petani, peladang agar dapat terus melakukan aktivitas pertanian ladang mereka, sehingga pemenuhan pangan yang diharapkan, ketahan pangan yang diharapkan oleh pemerintah itu bisa lebih berdampak, atau lebih bisa terwujud dari praktik-praktik ketahanan pangan yang dilakukan” ujarnya.

BACA JUGA :  34 PENDEMO DI JAKARTA DAN BANDUNG REAKTIF COVID 19

“WALHI Kalimantan Tengah mendesak pemerintah, dalam hal ini negara untuk segera melakukan dan mengesahkan, pertama undang undang terkait dengan masyarakat hukum adat, dan yang kedua adalah melakukan pengakuan masyarakat hukum adat melalui aturan yang ada di tingkat daerah, dalam hal ini perda masyarakat hukum adat yang ada di setiap daerah” tegasnya.

Pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat itu bisa mendukung praktik- praktik yang dilakukan oleh masyarakat adat, untuk terus melindungi hutan dan menjalankan sistem pertanian berladang, hal tersebut merupakan salah satu cara untuk memperoleh kedaulatan pangan di Kalimantan Tengah. (PR)

Narahubung : Bayu Herinata – 0822 55115115

Simak berita dan artikel lainnya di Google News

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.