Oleh : Christian Sidenden (Redaktur senior Dayak News)
Dayak News – Dulu pada tahun 2012 tidak ada mayoritas warga Indonesia yang kenal siapa itu Joko Widodo (Jokowi). Sampai ketika nama Jokowi muncul di pusaran pencalonan Gubernur DKI Jakarta barulah Jokowi Effect dimulai.
Jokowi Effect atau fenomena Jokowi itu bertahan dari gempuran-gempuran politik dan krisis ekonomi global selama 10 tahun ini. Indonesia berhasil lolos dari ancaman pandemi Covid-19 berkat kepemimpinan Jokowi yang luwes. Begitu pula dengan inisiasi pemindahan IKN Nusantara yang dengan gemilang dimulai oleh Jokowi dan akan pindah efektif 2024 ini.
Ketika kini Jokowi Effect sedang digugat oleh “MK affair” akibat pelolosan perkara 90/PUU-XXI/2023 apakah fenomena itu akan terus berlanjut tak goyah?
Para pengamat dan akademisi seperti Boni Hargens, Ikrar Nusabhakti, dan Denny Siregar merupakan mereka-mereka yang terkesan “terkecoh” dengan Jokowi Effect ini. Mengapa di ujung periode kedua masa Kepresidenan Jokowi, harus muncul rencana sambungan dinasti Jokowi yang dianggap “rakus kekuasaan”? Itulah kekecewaan mereka yang sangat mendambakan reformasi total Indonesia yang demokratis itu.
Benar kata pepatah karena nila setitik rusak susu sebelanga. Segala yang mulia dan unggul dari Jokowi Effect selama ini harus ditaruh di bawah karpet tak lebih dari debu. Apakah begitu kita semua memberi penilaian? Budi dan kesalahan itu harus ditakar, ditimbang di atas neraca yang njomplang begitu?
Itulah sebabnya saya lebih mengajak kita berpikiran lebih luas dari sekedar riak-riak politik dua tiga bulan terakhir. Sementara perjalanan selama 10 tahun belakangan tidak dilihat sebagai suatu keutuhan dan kesatuan fenomena. Saya tidak terlalu berburuk sangka terhadap Presiden Jokowi yang saya anggap sangat berprestasi membawa Indonesia harum dan disegani di tataran global. Jokowi Effect sudah bergema di tingkat relasi negara-negara APEC, G-20, dan ASEAN. Bahkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam lima tahun terakhir menunjukkan peningkatan yang mengagumkan di tengah krisis ekonomi dunia.
Itu hanya bisa terjadi oleh dukungan pengambilan keputusan dari sang Kepala Negara sekaliber Jokowi. Seorang Jawa yang khas berpenampilan sederhana dan murah senyum. Selalu berpembawaan tenang dan tak emosional. Jokowi Effect itu bukan saja dari sudut mutu program kerja Nawacita melainkan juga dari gestur kepemimpinan itu sendiri.
Memang bagi dunia Barat dengan nilai demokrasi mereka, Jokowi yang mendorong Gibran Rakabuming Raka untuk maju dalam Pilpres 2024 mewakili Calon Presiden Prabowo Subianto, dianggap sebagai “undemocratic way” untuk melanggengkan kekuasaan. Tetapi dari nilai-nilai Ketimuran hal seperti itu masih sah-sah saja. Demokrasi Asia Tenggara itu memang masih menganut prinsip kekeluargaan. Perdana Menteri Kerajaan Kamboja Hun Sen juga disetujui dilanjutkan oleh anaknya Hun Manet. Sudahlah, jangan terlalu western minded sehingga segala sesuatu harus diukur menurut penilaian Barat. Apa selalu itu benar?
Bahkan dalam sidang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi semalam, Ketua Prof. Jimly Asshiddiqie juga sudah menjelaskan bahwa kita ini adalah negara republik tetapi bercita rasa kerajaan. Memang benar, sebab dulu waktu Raja Saudi Salman ketika datang berkunjung ke Indonesia, mencari keturunan dari mendiang Presiden Soekarno yaitu Ibu Megawati Soekarnoputri dan cucunya Puan Maharani. Artinya di Asia kita itu memang dianggap oleh sesama warga Asia sebagai kerajaan juga, meskipun tertulis dalam konstitusinya sebagai republik. Jadi apa salahnya kita bercita rasa kerajaan kalau itu toh juga dianggap orang-orang begitu?
Republik Singapura negara pulau mini itu pun juga menganut sistem dinasti politik juga, dari senior Lee Kwan Yeo kepada puteranya Lee Hsien Long sampai kini. Tidak ada yang terlalu drastis sebagai berarti dinasti itu buruk. Demokrasi di Asia Tenggara itu adalah musyawarah untuk mufakat dan bukan voting.
Jokowi Effect tetap kita perlukan untuk terus mengawal republik bercitarasa kerajaan ini ke arah Indonesia Emas 2045 nanti. Tetapi ujiannya adalah apakah dalam Pemilu 2024 nanti sebagian besar rakyat akan setuju atau tidak dengan keberlanjutan itu. Kita tunggu saja. (*)