Pilihan Rakyat itu Bukan Dinasti

oleh -
oleh
Pilihan Rakyat itu Bukan Dinasti 1
foto Ilustrasi (ist)

Oleh : Christian Sidenden (Redaktur Senior Dayak News)

Dayak News – Kita sedang menjelang transisi politik nasional yaitu diambil sumpah dan dilantiknya Presiden-Wakil Presiden RI periode 2024-2029. Lalu muncul lagi gambar “Garuda latar Hitam” yang menyerukan “peringatan darurat” 19 Oktober. Entah darurat dalam hal apa dan bagaimana, tidak jelas pula. Memang hak orang untuk menyatakan pendapat dan beraspirasi. Meskipun pendapat dan aspirasi yang bagaimana juga harus jelas.

Kondisi darurat itu bagi negara memiliki kriteria dan diatur melalui keputusan lembaga tinggi negara (Presiden dan DPR). Contohnya ketika kita mengalami masa pandemi Covid-19 sebelumnya. Segala sesuatu langkah kebijakan negara ditujukan untuk menangani permasalahan penanganan wabah.

Terhadap masih menggejalanya anasir-anasir kelompok kritis yang selalu saja memperkarakan ketidakabsahan Presiden dan Wakilnya yang terpilih, juga perlu ditegaskan ulang. Hasil pemilu 2024 itu sudah sah dan telah melewati proses gugatan ke MK pula. Sudah dinyatakan tidak masalah. Otomatis pada tanggal 20 Oktober 2024, presiden dan wakilnya itu harus dilantik dan diambil sumpahnya.

Istilah Dinasti yang Bertentangan dengan Hak Asasi Manusia

Untuk itu perlu lagi dijelaskan ulang soal dinasti politik atau politik dinasti yang kerap dialamatkan pada rezim yang sedang berkuasa. Atau yang sedang akan menjalankan mandat baru pemerintahan di periode lima tahun mendatang.

Menurut kamus Black’s Law Dictionary karya Bryan A. Garner, memberikan pengertian dinasti sebagai Dynasty: a powerful family line that continues for a long time (an Egyptian dynasty), atau a powerful group of individuals who control a particular industry or field and who control their successors (a literary dynasty) (a banking dynasty).

Pengertian dinasti apabila merujuk pada kamus di atas ada dua pengertian, yaitu dinasti adalah garis keluarga yang kuat yang terus untuk waktu yang lama, seperti dinasti Mesir, Arab Saudi atau kelompok kuat dari individu
yang mengendalikan industri tertentu atau lapangan dan yang mengendalikan penerus mereka, seperti dinasti sastra dan dinasti perbankan.

Berdasarkan hal di atas, semua itu tidak melalui pemilihan yang demokratis. Tidak ada pemilu yang memilih Dinasti para Firaun Mesir. Tidak ada pemilihan oleh rakyat dalam penentuan pejabat komisaris di Bank Central Asia (BCA), misalnya. Sebab itu adalah hak khusus dari pemegang mandat, karena kerajaan politik dan kerajaan bisnis itu hanya milik keluarga.

Sedangkan politik dan mekanisme rutin pemilihan dan pergantian pemerintahan di negara ini, melewati pemilihan oleh rakyat. Pemilu baik memilih kepala negara maupun kepala daerah itu melalui suara rakyat saja.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:
33/PUU-XIII/2015, secara substansi telah membatalkan konstitusionalitas Pasal 7 huruf r beserta Penjelasan Pasal 7 huruf r Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, Walikota menjadi Undang-ndang, dan menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Hal ini terkait dengan kepala-kepala daerah waktu itu.

Dalam Pasal 7 huruf r beserta Penjelasan Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 merupakan ketentuan yang mengatur larangan dinasti politik. Berdasarkan Putusan MK tersebut, MK menyatakan Pasal 7 huruf r beserta Penjelasan Pasal 7 huruf r UU Nomor 8 Tahun 2015 bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, yakni bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Apabila kita cermati lebih mendalam alasan yuridis yang diberikan oleh MK dikarenakan bertentangan dengan pasal-pasal hak asasi manusia yang ada dalam UUD Negara RI Tahun 1945.

BACA JUGA :  Fruit Sando, Sarapan Parktis, Enak dan Bergizi yang Viral

Beberapa argumentasi MK adalah sebagai berikut: Pertama, menurut Mahkamah Konstitusi, pembatasan yang termuat dalam rumusan Pasal 7 huruf r dan Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015 tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 dan sekaligus mengandung muatan diskriminasi, dan oleh karena ketentuan a quo adalah bersangkut paut dengan hak bagi setiap warga negara
atas perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan maka ketentuan a quo dengan sendirinya juga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

Secara lebih spesifik, oleh karena hak konstitusional yang terhalangi secara tidak konstitusional oleh ketentuan a quo adalah hak untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah maka telah nyata pula ketentuan a quo melanggar hak konstitusional warga negara untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.

Hal itu studi kasus, ketika waktu itu dilarang oleh Undang-undang untuk kemungkinan pemerintah daerah itu hanya dikuasai oleh keluarga dari kepala-kepala daerah yang sedang menjabat. Sehingga dilarang ikut Pemilu Kepala Daerah bagi calon peserta kandidat memiliki hubungan darah dengan kepala-kepala daerah petahana. Hal itu hubungan keluarga dimaksud baik, saudara kandung, isteri, suami, anak, ponakan, maupun ipar.

Ternyata hal itu dinilai MK dalam putusannya justru bertentangan dengan hak-hak asasi manusia. Sebab hak asasi (untuk dipilih) itu berlaku untuk semua orang tanpa terkecuali.

Sehingga mengingat kembali dari istilah dinasti politik maupun politik dinasti itu tidak dikenal dalam kamus politik negeri ini. Terbukti itu sudah dibatalkan oleh putusan MK. Berarti kalau itu muncul dalam diskursus, hanya berupa gejala bahasa belaka. Tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk menempatkan pemikiran bahwa negara dan daerah sedang dikelola oleh suatu dinasti keluarga tanpa melewati proses rutin politik yaitu melalui pemilihan oleh rakyat.

BACA JUGA :  Membangun Ketahanan melalui Kolaborasi Administrasi dan Psikologi: Studi Kasus La Nina di Kalimantan Selatan

Sebagai tambahan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) periode lalu telah memutuskan bahwa pelantikan dan pengambilan sumpah presiden dan wakilnya itu harus dilandasi dengan satu ketetapan MPR RI. Tidak sekedar berdasar putusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) saja dalam aspek hukumnya.

Pada akhirnya kita harus mau untuk belajar menerima keterpilihan oleh rakyat itu sebagai standar yang umum dan benar di negara demokrasi. Baik itu pemilu memilih kepala negara maupun memilih kepala daerah adalah memberi kesempatan seluas-luasnya rakyat yang memutuskan. Bukan oleh pemaksaan pikiran dari sekelompok orang yang tidak kunjung puas, justru. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.