Pontianak, 11/10/2020 (Dayak News). Berbicara tentang pemberian gelar pahlawan di Indonesia selalu terkait konteks politik apa yang menggejala.
Front TV Pontianak mengadakan Webinar soal kontroversi Sultan Hamid II Raja Pontianak apakah Pengkhianat atau Pahlawan?
Menjadi pembicara dalam Webinar ini antara lain Hidayat Nur Wahid (Wakil Ketua MPR-RI), H. Sutarmidji (Gubernur Kalbar), Syarif Abdullah Alkadrie (Anggota DPR-RI Dapil Kalbar), Anshari Dimyatie (Yayasan Sultan Hamid II), dan JJ Rizal (sejarawan UI). Bertindak selaku moderator Syarifah Rahmaniar.
Sultan Hamid II adalah tokoh yang mendesain Lambang Negara Garuda pada tahun 1950. Sekalipun UUD 1945 tidak berbicara secara khusus tentang Garuda Pancasila itu.
Terlahir di Pontianak tahun 1913 dan wafat di Jakarta tahun 1978. Hamid ikut aktif dalam perundingan antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda seputar pengakuan kedaulatan 1949 dan Konperensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.
Hidayat Nur Wahid menyebut bahwa Lambang Negara Garuda Pancasila itu ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah nomor 43 tahun 1958 oleh Presiden Ir. Sukarno.
Gubernur Kalbar, Sutarmadji mengatakan pihaknya berusaha untuk mengangkat Sultan Hamid II sebagai Pahlawan Nasional karena berdasarkan bukti-bukti sejarah beliau memang mendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Buktinya adalah adanya Lambang Negara Garuda Pancasila itu.
Pengamat sejarah JJ Rizal mengamati bahwa proses pemberian tanda gelar penghargaan di Indonesia itu lebih bernuansa politis. Ciri rezim setiap masa itu mempengaruhi semangat diberi tidaknya gelar pahlawan pada tokoh-tokoh politik tertentu.
Misalnya saja ketika rezim pemerintahan Susilo B. Yudhoyono berkuasa maka persoalan desentralisasi mengemuka. Maka saat itu tokoh-tokoh yang terlibat peristiwa PRRI seperti Mohamad Natsir dan Sjafrudin Prawinagara dijadikan pahlawan nasional. Padahal keduanya di masa Orde Baru dianggap pemberontak.
Rizal berharap ke depan agar tidak saja kajian-kajian akademis terus dilakukan atas sejarah nasional kita. Begitu pula para akademisi dan pecinta ilmu sejarah harus dapat menyajikan literasi sejarah yang menarik untuk dibaca oleh generasi milenial. (CPS/BBU).