Oleh : Christian Sidenden
Palangka Raya (Dayak News)– Pada hari Sabtu (29/1) lalu, saya berkesempatan untuk melihat daerah Tumbang Jutuh di Kecamatan Rungan, Gunung Mas. Perjalanan menempuh jarak 100-an kilometer ini dari Palangka Raya ditempuh kurang lebih dua jam setengah.
Kondisi jalan dari simpang Pal 45 hingga Tumbang Jutuh sekitar 90 persen dalam keadaan baik. Ada proyek pemeliharaan jalan yang sedang dikerjakan oleh pemborong Adhi Karya dan Kresindo (KSO) yang berlangsung di beberapa titik. Terutama memperbaiki gorong-gorong atau box culvert. Karena bagian itu yang sering kebanjiran dan bisa merusak badan jalan.
Jalan poros Palangka Raya – Tumbang Jutuh ini dikerjakan melalui pagu dana APBN tahun 2020 sebesar Rp253 miliar.

Mengapa saya secara khusus mengamati kondisi jalan raya itu, karena untuk membandingkan dengan jalan raya Palangka Raya – Kuala Kurun yang pernah diprotes warga masyarakat di daerah Sepang karena kerusakannya dianggap keterlaluan. Belum lagi respon pemerintah yang terkesan lamban untuk memperbaiki kerusakan. Semakin lama maka kerusakan jalan semakin parah, pada akhir tahun 2021 lalu.
Apa penyebab utama kerusakan jalan-jalan itu? Sebab di kedua ruas jalan itu memang sering dilewati oleh transportir kelapa sawit maupun batu bara. Berapa beban tonase dari masing-masing transportir itu ketika melewati jalan yang diberikan batas daya hanya sebesar 8 ton dilewati. Ini hitungan yang sudah dikaji secara teknis oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Perhubungan.
Untuk satu transportir kelapa sawit itu bisa mengangkut hingga 12,5 ton per truk. Sedangkan untuk satu transportir batu bara itu bisa mengangkut hingga 20 ton per truk. Karena berat densiti kedua jenis muatan ini berbeda. Tetapi kedua jenis transportir ini jelas melebihi tonase yang disyaratkan oleh daya dukung jalan di atas. Hal ini sudah dibiarkan selama dua tiga tahun belakangan tanpa teguran keras dari pemangku kepentingan dan aparat penegak hukum. Itulah yang terjadi.
Jalan sekuat dan sebaik apapun, jika tanpa pemeliharaan dan pembatasan muatan yang melewatinya, akan tetap bisa rusak kapan saja. Selain memang tidak adanya fasilitas jembatan timbang yang itu bisa membatasi tonase transportir yang lewat. Nampaknya, pemerintah daerah tidak terlalu peduli dengan pentingnya keberadaan jembatan timbang itu.
Jalan yang dibangun itu menggunakan bea pajak dari masyarakat dan juga swasta yang berinvestasi di daerah ini. Oleh karena itu, penggunaan ruas jalan untuk semua kepentingan itu harus dijaga dan sama-sama dipelihara. (Christian Sidenden, wartawan redaktur pada media Dayak News)