Kenapa Memilih Prabowo-Gibran?

oleh -
oleh
Kenapa Memilih Prabowo-Gibran? 1
Pidato Presiden Jokowi tahun 2019 setelah terpilih kembali dan memutuskan kepindahan ibukota negara (IKN).

Oleh : Christian Sidenden (Redaktur senior Dayak News)

Dayak News – Salah satu isu yang menjadi pertaruhan dalam Pemilu Presiden 2024 ini adalah menjamin keberlangsungan pembangunan Ibukota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan.

Meskipun kita tidak dapat lepas dari riak-riak demokrasi yang padat penduduk di Pulau Jawa, di mana sekitar 170 juta jiwa di pulau itu saja. Inilah yang sebenarnya menjadi masalah “dinasti politik”. Karena Indonesia tidak saja dilihat dari sudut satu pulau yang berpopulasi lebih dari separuh jumlah penduduknya.

Saya melihat dinasti politik yang diajukan lewat pencalonan Capres-cawapres Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka itu justru untuk mematahkan dinasti politik yang Jawasentris itu. Bagaimanapun setelah diputuskan untuk berpindah IKN ke Kalimantan, maka ide itu jangan sampai pupus oleh karena ganti presiden ganti program. Inilah yang tak membuat Indonesia maju-maju. Tidak ada jaminan keberlanjutan program sekalipun dari jenis ideologi yang sama misalnya antara presiden yang lalu dengan presiden yang kemudian.

Maka di sinilah, kita sebaiknya menggunakan akal naluri kita, untuk mengedepankan keberlanjutan suatu program ketimbang menawarkan program-program baru maka baru belaka. Konsistensi dan kontinuitas itu yang harus kita utamakan ketika melihat kontestasi di Pemilu 2024.

Apakah semua yang baik dari masa Kepresidenan Jokowi itu tidak dijamin dilanjutkan, selain oleh pasangan Prabowo-Gibran? Bisa saja. Tetapi tidak sekuat sinyal dari pada si calon itu adalah keturunan langsung dari Presiden Jokowi itu. Sebab itulah disain dari munculnya fenomena dinasti politik itu. Yang mau diselamatkan itu adalah legacy atau warisan keberlanjutan dari rezim politik ke rezim politik berikutnya. Hal seperti ini bagus meskipun tidak disukai oleh pola pandang Barat berdemokrasi.

BACA JUGA :  Doa untuk Kesembuhan Sahabat Karib Abdillah Afifuddin

Memang betul bahwa di Amerika Serikat sekalipun keluarga-keluarga politik, seperti Roosevelt, Kennedy dan Bush itu ada. Tetapi di sana itu bukan negara kepulauan yang terpisah oleh lautan. Bentuk federasi negara-negara bagian di Amerika itu memilih gubernur-gubernur untuk urusan federasi. Sedangkan untuk urusan ke luar negeri merupakan urusan Presiden dan menteri-menteri luar negeri dan pertahanan. Jadi di sana ada cabang-cabang kekuasaan baik dibagi kepada internal maupun kepada hubungan eksternal.

Sebagai akibat dari pembagian kekuasaan itu, maka jika saja Capres Prabowo terpilih, urusan luar negeri tentu saja menjadi porsi beliau. Sedangkan urusan dalam negeri menjadi porsi dari Gibran Rakabuming Raka yang menjadi keberlanjutan dari rezim politik yang lalu.

Apakah politik dinasti itu buruk? Tidak juga. Sebab di Indonesia, seperti juga di beberapa negara Asia lainnya, kekuasaan itu juga diselenggarakan dengan semangat kekeluargaan atau dengan kata lain melalui musyawarah untuk mufakat. Memang ini tidak dikenal di Barat.

Politik dinasti itu di Indonesia lebih merupakan penjamin keberlangsungan program rezim melewati waktu berkala demokrasi sistem lima tahunan lewat Pemilu. Sebab yang menjadi ukuran itu adalah popularitas dan kena di hati saja. Itupun sudah terjadi ketika kita memilih calon-calon legislatif dari kalangan artis dan pesohor beberapa kali pemilu ini. Tidak ada kriteria pengalaman politik yang dijadikan dasar memilih mereka itu. Hanya atas dasar suka dan lebih mengenal figur saja. Lalu kenapa ketika Gibran didapuk oleh hal serupa lalu dikatakan buruk atau melanggar norma? Tidak ada pelanggaran norma jika seseorang atau sekelompok orang memilih orang lain atas dasar suka atau ngefans, istilah kerennya. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.