Pangkalan Bun, 22/6/2020 (Dayak News). Tahun 1984, atas penyertaan Allah, lahir dua bayi kembar di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr.Imanudin Pangkalan Bun, ibukota Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar).
Dengan rencana Allah pula, setelah berhasil melahirkan dua bayi kembar laki-laki, maka perempuan muda bernama Siti Maruyah ini memenuhi panggilanNya, menghadap khadirat Allah Sang Pencipta.
Melalui kehendak Allah pula, satu dari bayi kembar laki-laki itu, bernama Salahudin hanya sempat bertahan tiga bulan. Dia meninggal karena sakit. Masih bisa bertahan hidup hingga saat ini hanya tinggal sebatang kara, hanya Solehudin.
Berbekal ceritera dari pengasuhnya, Solehudin yang hidup sebatang kara, kini tinggal di Pangkalan Bun, Kobar, Kalimantan Tengah (Kalteng) yang punya kerinduan besar terus mencari jejak keluarganya.
Solehudin yang kini juga sebagai jurnalis dalam percakapan dengan Dayak News di Pangkalan Bun, Minggu (28/6/2020) membeberkan, sejak dilahirkan tahun 1984 sampai saat ini dia belum tau dimana orang tuanya berada.
Dikatakan, dari ceritera dia dilahirkan dari sepasang keluarga warga Transmigrasi Pangkalan Lada, Kabupaten Kobar.
Dari ceritera pengasuhnya yang dikutif oleh Solehudin mengatakan, tahun 1980 lalu, ada anggota transmigrasi, SP2 Pangkalan lada Pak Wagidi/Siti Maruyah yang dikarunia dua laki-laki anak kembar. Pada saat itu ibu Siti Maruyah telah melahirkan di RSUD dr. Imanudin Pangkalan Bun,Kobar.
Dua bayi itu diberi Solehudin dan Salahudin, hanya ibu Siti Maruyah meninggal dunia saat melahirkan dua anak kembar.
Suaminya Wagidi, kebingungan, tidak mampu berbuat banyak. Beruntung saat itu tahun 1980, H.Ma’id Badir, Lurah Madurejo bersedia memberi bantuan untuk biaya rumah sakit. Sebagai imbalannya, dua bayi kembar itu menjadi hak H.Ma’id Badir untuk membesarkannya.
Lalu ayah dari anak kembar tersebut pergi pulang ke Pulau Jawa.”Setelah menyerahkan anaknya kepada saya sampai saat ini tidak ada kabar dan berita dari Wagidi,” ucap Solehudin mengutip kembali ceritera hidupnya yang dia ketahui hingga saat ini.
Menurut Solehudin, dia pernah mencari jejak ke desa Pangkalan Lada SP2 tanggal 12 Mei 2016 lalu. Kala itu bertemu dengan seorang bapak yang sudah kakek- kakek dengan rambutnya sudah beruban. Ketika dia tanya, kakek itu balik bertanya.
“Saya numpang bertanya apakah ada orang disini yang bernama Wagidi, lalu kakek itu terkejut dan kakek menjawab kamu siapa?. Saya menjawab, anaknya pak Wagidi yang dilahirkan kembar di RSUD dr.Imanudin. Lalu kakek menangis sambil memeluk saya, seraya berkata, kamu kemana aja dan bapak mu entah kamana. Saya pun gak tahu lagi kabar beritanya, coba kamu cari di Jawa sana, di Ponorogo. Siapa tau ada. Hanya bicara sejenak, saya menjawab iya nanti saya cari kakek, sambil saya menangis,” ucap Solehudin.
Solehudin menambahkan, setelah satu hari usai dia mendatangi kakek itu, dia langsung ke kantor transmigrasi di Pangkalan Bun, Kobar. Saat itu dia bertemu dengan staf transmigrasi kantor menanyakan.
“Maaf pak, saya minta bantuannya, tolong pak carikan data anggota/karyawan transmigrasi yang ada di Pangkalan Lada SP2 di tahun 1980 atas nama Wagidi dan istrinya Siti Maruyah, lalu dia jawab, tidak ada datanya mas. Kalau tahun 1980 mas sudah saya cari,” katanya.
“Lalu saya sempat emosi waktu itu, kenapa bapak berani membawa orang datang ke Kalimantan/Pangkalan Bun dan sekarang bapak bilang tidak tau terus datanya kemana apa kah bapak tidak memikirkan.Saya anaknya, kemana saya harus mencari alamat keluarga saya pak,” kata Solehudin langsung pulang.
Saya yang hidup sebatang kara meminta kepada pemerintah Kobar mau pun pemerintah Provinsi Kalteng, harus kemana saya mencari data keluarga saya karena dari tahun 1984 sampai tahun 2020 ini, saya belum tau di mana alamat mereka. Kemana saya harus mengadunya,sekali lagi saya memohon dan bantu, saya yang cuman hidup sebatang kara ini, tutup Solehudin.(Pr/Den)
Bagaimana cerita pendidikan Solehudin dari SD,SMP sampai SLTA..belum ada keterangannya..??