Dayak News – Setelah dua minggu lebih perhelatan turnamen Piala Dunia 2022 Qatar sejak 21 November lalu, kini ajang ini memasuki putaran 16 besar atau Knock Out – kalah tersingkir atau menang melaju terus ke fase berikutnya.
Dari pengamatan saya, selama fase grup ada beberapa hal yang menjadi perhatian utama yang mempengaruhi suasana dan hasil pertandingan secara umum. Hal pertama adalah digunakannya Video Assistance Referee (VAR) yang katanya diharapkan lebih membantu keputusan wasit-wasit lebih adil dalam menilai setiap potensi pelanggaran.
VAR ini sebenarnya untuk membantu tetapi bukan untuk “menggurui” wasit, karena wasit dalam sepakbola itu sudah dibantu dua hakim garis untuk melihat setiap sudut lapangan dan apa yang terjadi di antara para pemain. Tapi kenyataannya, justru VAR yang tidak berada di lapangan yang justru lebih diandalkan melihat dan memutuskan segala sesuatu. Ini justru tidak memberi pembelajaran dan penegakan sportifitas sebagaimana itu yang menjadi harapan publik pecinta sepakbola.
Salah satu kejadian di mana VAR itu akhirnya mengubah jalannya pertandingan adalah saat laga-laga Jerman kontra Jepang di grup E dan Kroasia kontra Belgia di grup F.
Pernyataan offside atau pelanggaran melewati garis pertahanan lawan itu, harusnya diperhitungkan setelah terjadinya sepakan bola passing dari rekan seorang pemain, terlepas dari pemain “calon” penerima bola passing itu sudah lebih dulu bergerak walaupun belum dalam menerima bola sepakan yang menuju ke arah dia. Itulah fungsi mata kepala wasit dan hakim garisnya yang real melihat langsung setiap posisi pemain di atas lapangan hijau. Ini atas dasar keyakinan hati nurani setiap wasit dan hakim garis secara umum. Jadi nanti setelah diterimanya bola oleh pemain tujuan itulah baru hakim garis yang sudah melihat posisi lebih dulunya pemain penerima bola itu dinyatakan offside. Sejauh dia tidak menerima bola maka tidak ada proses offside yang bisa dinyatakan. Itu yang saya pahami dari aturan offside sejauh ini.
Bagaimanapun, olahraga apapun itu tidak akan bisa memutuskan secara adil 100 persen, itu tidak akan pernah terjadi. Bahkan dalam sepakbola juga itu dipastikan begitu. Tetapi itulah gunanya setiap pertandingan dan perlombaan itu dipimpin oleh wasit atau umpire. Kita tidak akan lagi membahas arti kata wasit itu apa di sini. Selama pertandingan 2×45 menit wasit itulah Tuhan di atas lapangan hijau yang diberikan kewibawaan dan pluit pemimpin pertandingan. Jika itu semua tidak lagi dipercayai lalu untuk apa lagi ada pertandingan olahraga apapun.
Olahraga badminton masih sedikit lebih maju dalam makna penggunaan protes pemain dirugikan. Hanya dua kali saja seorang pemain diperbolehkan untuk mengajukan protes pada putusan cock itu terkena garis atau sudah keluar. Artinya apa? Tidak semua-muanya pemain itu berhak memberikan penilaian atas putusan umpire yang dibantu oleh hakim garisnya. Celaka, jika setiap poin dalam badminton harus melalui proses protes dan melihat video. Itu artinya justru membuat pertandingan jadi lama dan tidak menyajikan keindahannya lagi. Serba protes belaka.
Pada akhirnya sepakbola itu mengapa begitu dicintai oleh ratusan juta manusia di muka bumi ini, bukan karena aturan yang terlalu dipaksakan untuk adil yang semestinya dibiarkan tetap dipimpin oleh wasit dengan batas waktu 90 menit saja. Yang jadi soal justru kalau olahraga itu melulu memercayai teknologi belaka, justru akan dan memang sudah merusak asas sportifitas dan estetika. Itulah yang menjadi catatan saya selama paruh waktu perhelatan Piala Dunia ini. (Christian P. Sidenden, wartawan redaktur olahraga di Dayak News online)