Film Dirty Vote yang Culas Juga

oleh -
oleh
Film Dirty Vote yang Culas Juga 1
Cover Film Dirty Vote.

Oleh : Christian Sidenden, (Redaktur senior Dayak News online)

Dayak News – Film-film Koboy dan Perang Spionase dibuat oleh pabrik film global Holywood itu gunanya untuk menanamkan di kepala setiap orang, bahwa Amerika itu paling unggul dan paling benar dalam bersikap soal dunia. Tidak terasa semua kita dibuat takjub dengan skenario atau ideologi tersembunyi dari balik layar. Kita enak saja dan merasa terhibur dengan menonton film-film Holywood itu. Sehingga Amerika menggolongkan produksi film-film dari ranah mereka itu sebagai “the soft power”. Artinya, Amerika tidak terlalu besar biaya politik dan militer untuk melawan gerakan anti-demokrasi di mana-mana. Cukup dengan membuat film-film Koboy dan Spionase itu saja, guna menanamkan pesan-pesan yang diinginkan oleh si Paman Sam.

Sebuah film bikinan lokal Indonesia, baru-baru ini juga dirilis. Genre film ini sebenarnya dokumentari. Temanya mengenai dugaan kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif dari penyelenggaraan Pemilu Serentak 2024. Judulnya Dirty Vote (Pemilu Kotor). Film berdurasi lebih dari satu setengah jam ini disutradarai oleh Dandhy Laksono. Mas Dandhy adalah seorang wartawan yang kawakan di Indonesia, tapi bisa membuat film juga.

Film Dirty Vote yang Culas Juga 2
Salah satu adegan film Dirty Vote.

Film Dirty Vote dimaksudkan sebagai suatu pesan moral bagi generasi muda negeri ini. Pesan mengenai kita dewasa ini yang sudah melahirkan pemimpin negara bernama Jokowi (Joko Widodo). Plot film ini awalnya bicara tentang skenario bagaimana sebuah pemilu serentak di Indonesia telah dirancang sebagai suatu kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif. Disainer dari tuduhan kecurangan itu dialamatkan pada seorang Jokowi, yang mengambil keuntungan dari proses Pemilu itu untuk melanggengkan kekuasaannya. Itu gambaran tema dari film ini.

Sekarang, sebagai penonton, kita boleh menilai dan membedah juga apa dan bagaimana maksud film ini. Sebenarnya, saya kurang senang sebuah film dibuat hanya beberapa waktu sebelum Pemilu ini dilaksanakan. Jadinya, film ini ya memang semangatnya justru ingin “mengkritik” Pemilu yang dituduhnya sudah curang. Sedangkan definisi “curang” atau “kotor” itu sendiri seperti apa dan bagaimana, nyaris bisa puluhan bahkan ratusan versi. Tiap-tiap orang memiliki perbedaan dalam melihat Pemilu Serentak ini. Jadi tidak bisa pandangan setiap orang digeneralisasi sedemikian rupa untuk dijadikan suatu pandangan serupa dan seragam. Itu suatu nilai dalam demokrasi juga, yaitu berbeda-beda.

Menurut film ini Pemilu saat ini penuh kecurangan. Dan pelaku kecurangan itu adalah disain dari satu orang, yaitu Jokowi. Begitu mudah dan gampang.

Saya lebih memilih sumber kecurangan yang memang kalau itu benar, justru adalah siapapun yang sudah memilih Jokowi itu menjadi pemimpin kita selama 10 tahun ini. Jujur saja, yang melahirkan Jokowi itu dan yang memuja beliau itulah sumber kecurangan yang dituduhkan itu. Kenapa sih, kita ini selalu berpikir terlambat dan baru ngomong setelah kejadian. Menjadi komentator lebih mudah dari pada menjadi pemain di lapangan. Mengapa tidak berpikir siapa yang sudah mendisain Jokowi itu seperti yang sekarang? Itulah sumber kecurangan itu sebenarnya. Jokowi blusukan sudah bertahun-tahun, keluar masuk kampung dan daerah tertinggal, mengapa tidak pernah mikir itulah cara metode Jokowi mencuri hati dan favoritisme sebagian besar warga negara kita? Koq baru sekarang menuduh Jokowi “curang” – sedangkan telunjuk kita itu menyertakan pula tudingan tiga jari lain kembali ke diri kita. Aneh juga.

Proses demokrasi Pancasila kita yang sudah melahirkan seorang Jokowi. Demokrasi itu pula yang sudah melahirkan presiden-presiden sebelumnya. Tidak pada tempatnya, lalu membantah dan menolak sebuah hasil proses dari bekerjanya demokrasi itu. Curang dan kotor itu hanyalah sebuah definisi dari sekelompok orang, sedangkan selama ini setiap kita sama-sama sudah menikmati hasil dari proses itu. Bahkan justru aneh, jika 150 juta orang memberikan hak suaranya kepada pasangan Capres-cawapres Prabowo Gibran itu dikatakan sebagai licik dan culas. Dari mana kriteria itu? Justru etika itu yang benar jika ada satu orang berkonflik dengan empat orang sekaligus, malahan justru yang satu itu yang potensial sumber konflik. Kenapa malah empat orang lain yang harus dituduh curang atau bahkan jahat? Ini aneh sekali.

Saya pikir justru pikiran kita yang harus dibersihkan. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.