Oleh : Christian Sidenden (Redaktur senior Dayak News)
Kita saat ini sedang mengacaukan pengertian oposisi itu dengan non-koalisi. Dalam tata negara RI tidak mengenal istilah oposisi sebenarnya, karena kita menganut demokrasi presidensial. Biasanya sistem oposisi itu hanya ada dalam sistem demokrasi parlementer (terdiri dari dua atau tiga kelompok pemegang suara terbesar).
Menurut Cambridge Dictionary yang disebut Oposisi itu ialah “disagreement with something, often by speaking or fighting against it, or (esp. in politics) the people or group who are not in power. Suatu ketidaksetujuan atas sesuatu, dengan menegaskan atau menentang hal itu, yang dalam dunia politik misalnya dimaknai sebagai suatu kelompok atau partai yang sedang tak berkuasa.
Istilah koalisi itu di lain pihak, menurut Cambridge Dictionary berarti “the joining together of different political parties or groups for a particular purpose, usually for a limited time, or a government that is formed in this way. Bergabungnya sejumlah partai politik atau kelompok kepentingan yang berbeda untuk suatu maksud tertentu, biasanya untuk suatu periode waktu tertentu saja, sehingga memerintah secara bersama dengan sistem demikian.
Oposisi itu terjadi oleh karena satu atau dua pihak kalah jumlah suara di parlemen dari pihak pemenang. Karena dalam sistem parlementer itu siapa yang menang mengambil semuanya, dalam arti menjadi penguasa. Sedangkan dalam demokrasi presidensial, di mana kepala pemerintahan itu adalah presiden maka dialah pemegang kekuasaan selama satu periode pemerintahan. Sang presiden itu bisa memilih siapa saja pihak yang boleh ikut atau tidak dalam gerbong kekuasaannya. Sedangkan dalam demokrasi presidensial itu Dewan Perwakilan sebagai legislatif merupakan pencerminan keterwakilan rakyat untuk menyuarakan keinginan rakyat – bukan sebagai pelaksana pemerintahan. Jadi pemegang suara fraksi mayoritas di DPR itu tak otomatis sebagai Presiden alias kepala pemerintahan. Inilah bedanya dengan Demokrasi Parlementer di mana pihak pemegang suara terbanyak maka kepadanyalah diberi hak untuk membentuk kabinet. Sedangkan pihak yang kurang suara akan berada di pihak oposisi.
Menanggapi pemahaman Rocky Gerung, yang menyebut Capres Prabowo Subianto itu “tidak tahan menjadi oposisi” dalam masa periode pertama pemerintahan Jokowi, sehingga berubah haluan dalam periode kedua, bukanlah oposisi atau tidak oposisi. Melainkan mengubah koalisi saja. Sebab selama sistem presidensial yang kita anut maka tidak ada oposisi mutlak di negara ini. Lagi pula pihak legislatif yaitu wakil-wakil rakyat di DPR itu bukan pegawai dari presiden melainkan mitra kerja dalam membuat Undang-undang dan menganggarkan biaya dan pendapatan. Jika tidak bermitra maka negara tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. (*)