Memburu Keadilan di Tanah Dayak

oleh -
oleh
Memburu Keadilan di Tanah Dayak 1
H. Asang Triasha saat dibebaskan
  • ” Bilamana Saya yang berbuat salah, maka siap dikutuk tujuh turunan.” Sumpah itu sempat terucapkan H. Asang Triasha dalam sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Palangka Raya, Kalimantan Tengah beberapa bulan lalu. Padahal dalam sidang perdata di Pengadilan Negeri Kasongan gugatannya dikabulkan dan mewajibkan 9 kepala desa membayar sisa pekerjaannya. Kini dirinya harus duduk di kursi pesakitan.

Dayak News – Dua tahun lalu di Kecamatan Katingan Hulu, Kabupaten Katingan, puluhan kepala desa nampak berkumpul dalam sebuah ruangan seukuran 8 x 12 meter. Wajah mereka terlihat penuh semangat dan berseri-seri sambil mendengar arahan Camat, Hernadie. Sesekali terdengar Tawa dan sorak Sorai penuh canda tawa.

“Kalau bukan kita yang memulai, masalah jalan lintas menuju kota kecamatan tak akan tuntas,” ungkap camat. Disambut tanggapan peserta yang menyatakan setuju. Usai mendapat saran, peserta mulai membubarkan diri. Keputusan telah disepakati.

Kesulitan sarana transportasi masyarakat desa bagian hulu menuju Kota Kecamatan yakni Tumbang Sanamang menghasilkan kesimpulan membangun jalan tembus. Dana pembangunannya bersumber dari Dana Desa. Tiap-tiap desa wajib mengalokasikan dana sebesar Rp500 juta membuat badan jalan yang melintas desanya.

Ada 11 kepala desa berkompromi dan bersepakat. Bila dihitung dari paling ujung yakni Kiham Batang, Rantau Bahai, Sei Nanjan, Tumbang Kuai, Kuluk Sapangai, Dehes Asem, Tumbang Kabayan, Rangan Kawit, Rantau Puka, Tumbang Salaman dan terakhir Desa Telok Tampang.

Dalam keputusan rapat juga disepakati H. Asang Triasha sebagai kontraktor pelaksana pekerjaan. Salah satu yang menjadi pertimbangan karena yang bersangkutan memiliki alat berat komplit. Disisi lain ia merupakan kontraktor lokal yang sering melaksanakan pembangunan di desa bagian Hulu Sungai Katingan.

BACA JUGA :  MUHAMMADIYAH POTONG HEWAN QURBAN SEBANYAK 12 EKOR SAPI

Pagi itu, Sungai Sanamang yang menjadi anak Sungai Katingan sibuk. Terdengar hiruk pikuk pekerja. Rakit raksasa berpelampung galon berada di sungai yang lebar sekitar 20 meter. Arus air tenang dan pada beberapa tempat nampak bebatuan Secara perlahan sebuah excavator mencoba naik rakit. Bobot alat yang begitu berat membuat sebagian rakit tenggelam, tapi tetap mengapung. Sekali-kali terdengar teriakan pekerja memberi aba-aba. Usai satu alat berhasil menuju seberang, rakit kembali ke tempat awal guna memindahkan buldozer. Menjelang gelap pekerjaan rampung.

Berbekal Surat Perintah Kerja yang ditandatangani camat beserta 11 kepala desa, H. Asang Triasha memulai pekerjaan. Bebukitan mulai diratakan hingga membentuk dataran panjang. Beberapa pepohonan besar ditebang untuk alas jembatan darurat.

Bermodalkan uang muka sejumlah Rp2.078 Milliar kontraktor bekerja selama dua bulan lebih Namun, pandemi Covid-19 melanda negeri sehingga kontrak dengan nilai Rp.5,5 Milliar harus dikurangi.
“Ada pengurangan untuk bantuan sosial warga terdampak Covid-19 sehingga total nilai pekerjaan berkurang,” ungkap Camat Katingan Hulu beberapa waktu lalu.

Meskipun dengan dana minim, H. Asang Triasha berhasil menyelesaikan pekerjaan dengan panjang 43 kilometer tersebut. Tiba waktunya untuk menagih pembayaran. Namun hanya ada dua desa yang telah menuntaskan yakni Desa Tumbang Salaman dan Telok Tampang. Sembilan desa ada yang membayar hingga tahap kedua, tapi menolak melakukan pelunasan. Disinilah pangkal permasalahan terjadi.

“Wajarkan saya menagih hak sebagai pekerja. Jalan sudah tuntas. Semua sumber daya sudah saya kerahkan,” ucap H. Asang Triasha. Kata dia, penggunaan dana yang terbayarkan, jauh dari terbilang untung.

Haripun berganti dan minggu berganti bulan, pembayaran yang selalu dinantikan tak kunjung tiba. Camat Katingan Hulu telah berupaya menagih kepala desa, ada beberapa yang membayar dan menitipkan lewat camat.

BACA JUGA :  PUTUSAN KASASI MENANGKAN H. ASANG TRIASHA TERHADAP 9 KADES

“Titipan uang dari kepala desa memang pernah saya terima dengan maksud untuk membayarkan kepada kontraktor. Hernadie menyatakan tak satupun dana tersebut masuk kantong pribadi.
“Tujuannya untuk menyelesaikan permasalahan antara kepala desa dan kontraktor. Tak ada muatan lainnya,” tandasnya.

Awal Maret 2021, H. Asang Triasha yang merasa belum ada kepastian mencoba mencari keadilan melalui Pengadilan Negeri Kasongan. Gugatan secara perdata telah ia daftarkan terhadap 9 kepala desa di Pengadilan Negeri Kasongan.

“Untuk biaya perkara saja, Saya harus menyetor puluhan juta,” ujarnya. Demi keadilan, dirinya berkeyakinan keberuntungan akan berpihak.

Namun, untung tak dapat diraih, malang tak bisa ditolak. Bermula dari panggilan Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah terhadap camat Katingan Hulu sehubungan pekerjaan jalan tembus yang dikerjakannya. Lebih mengejutkan, Camat Katingan Hulu berstatus tersangka. Saat itu H. Asang Triasha berstatus sebagai saksi.

Hingga camat telah divonis bersalah, putusan Pengadilan Negeri Kasongan mengabulkan gugatan H. Asang Triasha sebagian.

Mengutip Sistem informasi penelusuran perkara Pengadilan Negeri Kasongan, sembilan kepala desa wajib membayar sebesar Rp.1,6 Milliar. Sembilan Kepala Desa tidak puas dan mengajukan banding. Lagi-lagi H. Asang Triasha membuktikan kebenaran dari gugatannya. Putusan Pengadilan Tinggi Palangka Raya menguatkan putusan Pengadilan Negeri Kasongan. Tak puas, kasus itu bergulir di Mahkamah Agung dan masih berproses.

Yang lebih mengejutkan ternyata H. Asang Triasha ditetapkan sebagai tersangka. Perjuangan berat dilalui hingga ke Jakarta menuntut keadilan hingga dijemput Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah sebagai tersangka.

Dalam sidang pengadilan Tipikor beberapa saksi dipanggil. Inspektorat, kepala desa, camat hingga saksi lainnya dihadirkan. Tragisnya dalam putusan tersebut, H. Asang Triasha dinyatakan bersalah dengan hukuman penjara tujuh bulan dan kewajiban mengembalikan dana yang telah digunakan membangun jalan sebesar Rp2 Milliar lebih.

BACA JUGA :  SALAH PROSEDUR, 11 KADES WAJIB KEMBALIKAN DANA DUA MILLIAR LEBIH

“Kami menghormati keputusan pengadilan Tipikor. Tapi tetap mengajukan banding, sebab putusan itu mengabaikan hasil keputusan gugatan perdata,” sebut Rahmadi G. Lentam selaku pengacaranya.

Keadilan akan berpihak kepada yang benar. Secara mengejutkan keputusan Pengadilan Tinggi Kalimantan Tengah membatalkan putusan Pengadilan Tipikor Palangka Raya dan mengkategorikan permasalahan itu bukan menjadi perkara pidana dan masuk dalam ranah perdata. “Mengeluarkan terdakwa dari tahanan. Membebaskannya dari segala tuntutan serta memulihkan harkat dan martabatnya,” bunyi putusan tersebut.

Menanggapi putusan itu, Kejaksaan Negeri Katingan menyatakan kasasi. Keadilan dari tanah Dayak kini bergulir ke tanah Betawi. (Dan)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.